Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 09 January 2014

Apakah Nasionalisme Itu Bid’ah?


123ArtistImages/Photos.com

Beberapa hari belakangan ini, wacana tentang Nasionalisme dan konsep negara-bangsa kembali mencuat, utamanya di media sosial Twitter, setelah dalam twitnya Ustadz Felix Siauw menyatakan, “membela nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya. Membela Islam, jelas panduannya, jelas contoh tauladannya.”

Budhyo Nugroho yang sepertinya mengamati polemik di twitter itu melalui akunnya @trosoboy lantas menanyakan kepada Haidar Bagir tentang konsep Nasionalisme tersebut, yang ternyata sudah pernah memberikan kultwit tentang itu pada Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 2013 lalu.

Redaksi Islam Indonesia mencoba merangkum kultwit yang juga sudah diupload dalam sebuah chirpstory tersebut, sekadar untuk memperkaya perspektif kita tentang pandangan Islam terhadap Nasionalisme dan konsep negara-bangsa. Berikut rangkuman kultwit melalui @Haidar_Bagir tersebut:   

Pertanyaannya sederhana: Apakah Islam membenarkan nasionalisme dan gagasan negara-bangsa atau tidak? Atau gagasan negara-bangsa itu bid’ah dan sebagai gantinya kita harus mengembangkan gagasan khilafah universal melampaui itu semua?

Alquran memang menyebut misi nubuwah sebagai menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Benar. Itu memang tujuan akhir risalah Islam. Tetapi, gagasan nasionalisme, yang tidak chauvinistik dan negara-bangsa bisa dilihat sebagai sarana pendekatan untuk mencapai tujuan itu.

Bukankah Allah juga mengajarkan:

“Jauhkan dirimu dan keluargamu dari neraka” (QS. 6:66)

Kenapa cuma diri dan keluarga, bukan semesta alam? Karena “alam yang terahmati” itu tujuan, sedangkan mulai dari diri dan keluarga itu merupakan sarana. Tentu tidak realistis kalau berniat mengurus alam tanpa penahapan-penahapan. Dalam manajemen, ada perencanaan jangka pendek dan panjang, segmentasi dan positioning, pengembangan model, dan pilot project, dan sebagainya.

Menurut Ibn Khaldun, manajemen masyarakat dan pembentukan peradaban (‘umran) membutuhkan semacam nasionalisme  yang  disebutnya  ‘ashabiyah. Ashabiyah yg dimaksud adalah kohesi sosial yang terbentuk dalam kabilah-kabilah atau klan-klan. Menurut Khaldun, inilah jaminan survival masyarakat manusia. Gagasan ashabiyah inilah sumber gagasan nasionalisme. Hanya dengan ashabiyah, kelompok-kelompok masyarakat  bisa menjadi kuat dan menjamin non-agresi.

Gagasan negara-bangsa melahirkan kohesi sosial-primordial: mewujudkan kerjasama, mencegah kecendrungan agresi, dan mendukung manajamen masyarakat. Yang harus dihindari adalah chauvinisme atau jingoisme yang didorong ego kelompok sehingga mengabaikan atau malah melanggar kelompok lain.

Mukadimah Konstitusi kita dengan bijak menyebut Persatuan Indonesia, yang malah lebih pas ketimbang nasionalisme dan, pada saat yang sama, dalam satu tarikan napas menyatakan  “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….”

Di sini gagasan negara-bangsa dan nasionalisme bertemu kemanusiaan universal (rahmatan lil ‘alamin). Ini nasionalisme yang benar. Hal ini mengambil bentuk partisipasi dalam organisasi-organisasi  internasional dan ketaatan kepada aturan-aturan kerjasama antarnegara secara adil & bermartabat.

Lalu, haruskah sebuah negara terdiri dari satu  agama saja? Piagam Madinah susunan Rasulullah Muhammad Saw. memperlihatkan sebaliknya. Ia adalah konstitusi yang mengatur koeksistensi dan kerjasama secara damai antara penduduk Madinah dari berbagai suku dan agama dengan diikat aturan yang dsepakati bersama.

Salah satu cuplikan Piagam Madinah menyatakan, “Yahudi Bani Auf adalah satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi mereka agama mereka, dan bagi Muslim agama mereka pula ….”

Selain itu, aturan Islam diberlakukan Nabi hanya di hadapan masyarakat Muslim. Nonmuslim tidak digolongkan sebagai mukallaf (bukan obyek hukum Islam).

Karenanya mari syukuri anugerah NKRI, yang pluralistik, serta memiliki Pancasila dan Konstitusi yang saksama dan dihuni oleh penduduknya yang berbudaya. Kita tentu tak lupa firmanNya:

“Jika Allah mau, kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah ingin menguji kamu atas pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam kebajikan.” (QS 5:48)

Maka mari berlomba dalam kebajikan. Mari bersama-sama berjihad mempertahankan NKRI dari siapa saja yang akan membasmi keharmonisan dan keberagaman masyarakat dan budayanya. WalLah al-Musta’an. []

(Dirangkum dari kultwit @Haidar_Bagir pada Peringatan Kemerdekaan RI ke-68, 17 Agustus 2013).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *