Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 24 May 2016

KISAH NYATA—Tulus itu Banyak Sabar dan Sedikit Abai


IslamIndonesia.id—Tulus itu Banyak Sabar dan Sedikit Abai

Sebab kisah ini tentang ketulusan, mungkin lebih baik bila semuanya disamarkan saja. Inilah sepenggal cerita tentang hidup dan ketulusan seorang kiai kharismatik di kota J.

Semasa hidupnya, seperti kiai sepuh lainnya, dia jadi pujaan dan panutan banyak orang. Murid-muridnya menggambarkan dia pernah cukup lama di perpolitikan dua orde, sebelum kemudian membatasi perjuangannya di jalur dakwah dan pendidikan. Dia punya beberapa pesantren dengan ribuan murid dari hampir seluruh pelosok Indonesia. Tanpa lelah, dia menularkan semangat, tekad dan segudang pengalaman hidupnya ke seluruh santrinya, hingga menginspirasi beberapa generasi sesudahnya.

Orang-orang yang mengenalnya mengenang bahwa hampir semua kalangan pernah merasakan manfaat kehadirannya, keyakinannya, ketegasannya, keberaniannya, ketulusannya dan juga, tentu saja, bantuan-bantuannya. Dari yang pernah mengenalinya dari dekat, banyak yang mengambil manfaat dari petuah-petuahnya. Banyak juga yang menemukan semangat hidup baru selepas melahap karya-karyanya dan pelbagai ceramahnya tentang agama dan pergumulan hidup, manis dan getirnya.

Menurut banyak cerita, saat dia meninggal, ribuan orang dari berbagai kota datang melayat. Iring-iringan keranda jenazahnya menganakular hingga belasan kilometer. Semuanya larut dalam duka.

Sepeninggalnya, banyak muridnya yang merana, seperti ayam kehilangan induk. Mereka kian merana sebab sang ulama pergi tanpa wasiat apapun. Kekayaan terbesarnya, bila layak disebut sebagai ‘kekayaan’, tak lebih dari pesantren yang dia dirikan bertahun-tahun sebelumnya.

Uniknya, dia tak menjadikan pesantren itu sebagai warisan untuk anak cucu atau keluarganya. Bagi sang kiai, diri dan semua yang dia hasilkan semasa hidupnya, adalah wakaf untuk umat. Dia mematri dirinya sebagai samudera yang semua orang berhak untuk memanfaatkannya. Inilah sikap yang digambarkan murid-muridnya, setelah lama larut dalam perenungan, sebagai “warisan tentang sikap tulus yang gemilang”.

Menurut sejumlah kabar, sikap tulus itu menitis ke keluarga sang kiai. Putra-putrinya sama sekali tak pernah mau mengklaim apapun atas jerih payah sang ayah, termasuk atas harta pesantren dan sekolah. Kabarnya, mereka bahkan menampik apapun yang ujungnya adalah mereka bakal menjadi pemegang warisan sang kiai.

Beberapa putranya dikabarkan bahkan sengaja menjauh dan menghindar dari mengambil manfaat dari mereka yang ingin menunjukkan bakti pada sang kiai dengan pelayanan khusus. Sedemikian, menurut sejumlah murid, hingga muncul syakwasangka kalau putra-putri kiai itu seperti tak peduli dengan semua peninggalan orangtua mereka.

Ya, begitulah hidup. Manusia tak selalu dapat menangkap kebaikan atau setidaknya usaha baik seseorang. Sang kiai jelas ingin mengajarkan ketulusan, dan dia ingin seluruh keluarganya menjaga ketulusan itu untuk selamanya–apapun resikonya.

Akan halnya ada sejumlah orang yang gagal memahami maksud besar di balik semua itu, ya apa mau dikata; memang seperti itulah ujian ketulusan. Toh, seperti tersurat dalam takdir sejarah, bahan utama ketulusan adalah kesabaran, dan bumbu penyedapnya adalah abai atas hasil-hasil perbuatan. Tulus tak mungkin mekar tanpa kesabaran, dan tak mungkin terwujud bila orang terlampau peka pada penilaian orang.

Ya, ketulusan itu perlu kesenyapan, dan juga perlu penyembunyian. Lebih sempurna lagi bila sudah sampai pada peniadaan. []

AA/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *