Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 28 May 2016

KISAH NYATA—Menjaga Muruah Ala Tajne


IslamIndonesia.id–Menjaga Muruah Ala Tajne

 

Petuah leluhur yang menyatakan “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” dan “ambillah mutiara meski berada di lumpur kotor”, sudah tak asing di telinga kita. Dengan berpedoman pada petuah luhur itu, pertama kita akan berusaha memilih lebih baik memberi daripada menerima pemberian. Kedua, kita akan berusaha tetap belajar tentang hal-hal baik dan berguna, tanpa harus meributkan darimana dan kepada siapa kita belajar hal-hal baik dan berguna tersebut.

Prinsip pertama itulah yang dilakoni buruh miskin asal desa Kalambeshwar, Distrik Washim, Negara Bagian Maharashta, India, bernama Bapurao Tajne yang kali ini ingin penulis bagi kisahnya di IslamIndonesia. Dan dengan prinsip kedua itu, kita layak belajar kepada Tajne, meski dia tak mengenal kita.

Banyak orang sebelumnya telah mengenal sosok kolosal Dashrath Manjhi, yang terkenal dengan julukan “Lelaki Gunung” dari India. Seperti halnya Tajne, Manjhi juga seroang buruh miskin di Desa Gehlaur, dekat Gaya, Negara Bagian Bihar, India.

Dashrath Manjhi

Semasa hidupnya, Lelaki Gunung itu memahat gunung untuk membuat jalan baru dengan hanya menggunakan sebuah palu dan pahat untuk mempersingkat jalan ke tanah seberang.

Setelah 22 tahun bekerja seorang diri, Manjhi berhasil mengukir jalan sepanjang 360 feet atau sekitar 110 meter dan tinggi 25 feet atau setara  7,6 meter. Dengan upaya gigihnya, pria itu pun berhasil mempersingkat perjalanan antara blok Atri dan Wazirganj di Distrik Gaya, dari 55 km menjadi hanya 15 km. Itulah asal muasal dirinya dijuluki Lelaki Gunung dari India.

Lalu, apakah Tajne sekolosal Manjhi? Mungkin tidak. Namun soal kegigihan, bisa dikata Tajne juga tak kalah jauh dari Manjhi.

Cerita berawal ketika Tajne dan istrinya yang berasal dari kasta rendah Dalit atau Paria, tak hanya dilarang mengambil air oleh sang pemilik sumur yang berkasta lebih tinggi, tapi sekaligus dihina karena sering mengambil air di sumur tersebut.

Maka sejak itu Tajne pun membulatkan tekadnya untuk membuat atau menggali sumur seorang diri. Demi menjaga muruah dan kehormatan dirinya, dia pun tak lagi peduli pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh empat atau lima orang itu mesti dilakoninya sendiri dengan sabar hingga berhari-hari. Yang ada di benaknya saat itu hanyalah: Tajne tak ingin lagi diri dan keluarganya, tak terkecuali seluruh warga di kampungnya terus bergantung hidupnya dari air sumur kasta lain. Meski demikian, dia juga dengan santun dan rendah hati tetap menjaga nama baik si pemilik sumur lama yang selama ini telah berbagi—meski dengan terpaksa, kepada dirinya dan warga di kampungnya.

“Saya tidak ingin menyebut nama pemilik sumur itu karena saya tak ingin hal buruk dibalas dengan keburukan serupa. Namun, saya merasa, mungkin dia merasa berhak menghina kami karena kami dari golongan warga miskin dan kaum Dalit,” ujar Tajne. “Sejak itulah saya pulang ke rumah dengan rasa sedih. Tapi saya juga bertekad takkan pernah mengemis air lagi dari siapapun.”

Tajne pun pergi ke Malegaon, kota terdekat dari kampungnya dan segera membeli peralatan yang dibutuhkan, sebelum mulai menggali sumurnya sendiri.

Meski tak berpengalaman menggali sumur sebelumnya, ia konsisten menyediakan waktu enam jam sehari selama 40 hari untuk menggali sumur sampai menemukan titik air, hanya dengan mengira-ngira keberadaannya sembari tak lupa terus berdoa.

Malang menimpa Tajne. Alih-alih mengapresiasi upayanya, tak seorang pun, bahkan anggota keluarganya sendiri pun yang mau membantunya. Sebaliknya, semua orang bahkan mengira ia sudah gila.

Sadar dirinya dijadikan bahan ejekan dan cemoohan, Tajne bergeming. Ia terus bekerja dan tak menghiraukan apa kata orang.

Sebagai warga biasa, tentu tak ada studi hidrologi untuk memilih tempat pencarian titik air dan lokasi penggalian. Tajne hanya memulainya dengan nalurinya semata.

“Saya hanya berdoa dengan khusyuk kepada Allah sebelum memulai pekerjaan,” katanya.

Dengan peralatan seadanya, tanpa lelah pria itu terus saja bekerja dan tak mau menyerah dengan keadaan. Yang dilakukannya hanya satu: terus menggali sumur. Setelah bekerja selama 14 jam sehari tanpa instirahat selama 40 hari, akhirnya Tajne berhasil menggali sumur sedalam 20 kaki atau setara tujuh meter dengan lebar 8 kaki atau 2,4 meter. Dan ia pun berhasil mendapatkan air di sumurnya itu.

“Saya bersyukur, doa saya telah dikabulkan,” ungkap Tajne. “Sulit rasanya menjelaskan apa yang saya rasakan hari-hari ini. Saya hanya ingin menyediakan air untuk seluruh warga desa kami sehingga Dalit tidak lagi harus mengemis air dari kasta lain,” tambahnya.

Warga desa pun, tak terkecuali istri Tajne sendiri, Sangita menyatakan benar-benar menyesal dan malu karena selama ini telah ikut mengolok-olok suaminya.

“Saya tidak membantunya sedikitpun sampai ia menemukan air. Sekarang seluruh keluarga, sudah mau membantunya memperdalam dan memperlebar sumur,” kata Sangita.

Jaishree, tetangga mereka, dengan nada kagum memuji kegigihan Tajne.

“Sungguh kami sangat berterima kasih kepada Tajne yang telah mendapatkan air bagi kami. Kini kami semua bisa mendapatkan air sepanjang waktu. Sebelumnya, kami harus melakukan perjalanan satu kilometer ke desa lain. Itu pun kerap menjadi sasaran penghinaan orang,”  kisah Jaishree.

Tak berapa lama, kisah kegigihan Tajne pun mulai menuai pengakuan luas. Aktor film India, Nana Patekar sudi berbicara kepada Tajne melalui telepon dan berjanji untuk segera menemui buruh miskin itu di kampungnya. Bahkan ada juga seorang pekerja sosial yang dermawan dari Washim menjanjikan Tajne sejumlah uang sebagai semacam hadiah atas kegigihan dan kemuliaan budinya.

 

EH/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *