Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 06 May 2020

Kisah – Getir Cinta di Panggung Pandemi


islamindonesia.id – Getir Cinta di Panggung Pandemi

Getir Cinta di Panggung Pandemi

Oleh A. Fauzi Yahya | Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, tinggal di Bandung

Pandemi COVID-19 menyisipkan beragam kisah derita dan kepahlawanan. Di antara cerita lara adalah keterpisahan getir sepasang kekasih yang tak punya apapun dalam hidup kecuali kedalaman cinta.  Kisah menyayat hati ini hampir saja senyap tertelan kebisingan kontroversi politik atasi  pandemi.

Dokter Simone V. Benatti, ahli penyakit infeksi rumah sakit Papa Giovanni XXIII Bergamo-Itali tak membiarkan kisah kasih tak terperi ini menguap begitu saja. Dalam jurnal medis terkemuka  Annals of Internal Medicine edisi akhir Maret 2020, dr. Benatti mengguratkan kisah tersebut dengan “tinta air mata”.

Cerita bermula saat sang dokter menelpon perempuan renta untuk mengabarkan keadaan suaminya.

Perempuan itu segera mengangkat gagang telpon begitu nada dering terdengar. Dia seakan telah menunggu di samping telpon, menanti kabar dari rumah sakit.

“Selamat pagi dokter,” ujar perempuan tua itu dengan suara yang terdengar serak namun tenang.

“Ya, kami menelepon untuk memberitakan tentang Tuan Rota. Apakah Nyonya istrinya?” tanyaku.

“Ya dokter. Aku istrinya.”

Terbayang dalam pikiranku, perempuan itu sedang berdiri menerima telepon di sebuah rumah tua yang teduh. Seandainya aku bisa menatap wajah perempuan ini.

“Begini Nyonya Rota. Keadaan lebih kurang sama dengan berita kemarin. Situasinya tidak baik. Usia beliau sudah begitu lanjut. Infeksi ini sangat buruk bagi orang tua.

“Selain itu, suami nyonya menderita penyakit alzheimer (pikun). Beliau sekarang menolak makan. Kemampuan kami terbatas untuk berbuat lebih jauh lagi. Kami harap, nyonya bisa mengerti,” jelasku.

“Dokter, itu terjadi karena aku  tidak berada di sisinya,” tukas Ny Rota.

“Dia butuh kehadiranku. Kami telah menikah 55 tahun. Benarlah kata keponakanku saat kami membawanya ke rumah sakit. Kata dia, suamiku akan menyerah hidup bila ditinggal sendirian. Sangkaan keponakanku itu akhirnya terjadi,” ungkapnya dengan nada menyesal.

“Apakah Nyonya punya anak?” tanyaku.

Dia menjawab, “Tidak dokter. Kami hidup berdua saja selama ini. Namun kami punya banyak keponakan.”

“Dokter, bolehkah aku meminta bantuan?” tanya perempuan itu dengan nada mendesak.

“Tolong katakan begini kepadanya, ‘Pietro, aku mendapat pesan dari Bigi bahwa dia mencintaimu namun dia tak diizinkan mendampingimu.’

“Bigi itu nama panggilanku,” jelasnya.

“Beritahu itu saja dokter. Tolong jangan lupa sebut kata ‘Bigi’ ya! Aku yakin kata itu akan bermanfaat. Dia akan paham,” tegas perempuan itu.

Aku berusaha melanjutkan komunikasi namun suaraku tersendat, tak mampu lagi keluar. Nyonya Rota juga terdiam. Dalam beberapa detik keheningan, kami berdua seolah tiba di sebuah ujung garis, situasi yang begitu pelik.

Satu sisi kami berhadapan dengan aturan pembatasan pandemi. Sepasang suami istri yang telah berbagi hidup hampir sepanjang waktu, termasuk tahun-tahun terakhir saat ingatan suami mulai pudar.

Kini mereka akan terpisah selamanya dalam jam-jam yang menentukan. Mereka tak punya waktu bersama lagi, walau sekedar saling menggenggam tangan. Nyonya Rota sendiri mungkin telah terinfeksi virus corona. 

Di sisi lain, seorang lelaki renta dan pikun tanpa kemungkinan pulih dari penyakit pneumonia (radang paru) dan komplikasi penyerta tengah terbaring sendirian di tempat asing.

Dia dikelilingi banyak orang yang tak dia kenal yang menutup hampir seluruh wajahnya, bersarung tangan dan berpakaian khusus. Para petugas medis itu sedang berjuang mengobati sang lelaki tua namun sesungguhnya mereka ragu akan manfaat terapi yang tengah diberikan.

Aku ingin berterus terang ke Ny Rota bahwa suaminya sudah tidak lagi mampu merespon suara. Dia sudah mendekati jam-jam akhir hayat. Namun kuputuskan membiarkan perempuan itu percaya bahwa pesan cintanya akan tersampaikan.

Nyonya Rota tampak masih ingin bicara lagi, tetapi karena  khawatir kehilangan kontrol emosi, aku  mencoba mengakhiri komunikasi.

“Terimakasih dokter. Anda telah memberiku waktu bicara. Aku sendirian sekarang,” kata dia mengakhiri pembicaraan.

“Jangan berkata demikian, Nyonya. Ini adalah tugas kami,” sahutku.

Derita Keterpisahan

Dokter Benetti telah mengungkap dampak pandemi memilukan yang selama ini tersembunyi, yaitu keterisolasian insan-insan yang saling mencinta.  Keterpisahan akibat infeksi COVID-19 terjadi begitu mendadak.  

Penderita mengalami sesak napas berat sehingga  harus segera dirawat tetapi  tak boleh dijenguk. Sanak keluarga harus mengisolasi diri di rumah, karena mereka juga memiliki potensi telah terinfeksi.

Mereka menunggu kabar dari rumah sakit tentang nasib anggota keluarga yang dicintai. Perasaan keluarga teraduk berkecamuk antara rasa sayang, rasa bersalah, dan kegetiran. Mereka diam dalam menanti kabar nasib sang terkasih.

Saat meninggal pun, penderita COVID-19 kerap terasingkan. Hanya petugas berpakaian hazmat yang memakamkannya. Keluarga hanya bisa berurai air mata duka, namun tak dapat mengantar, tersisolasi mandiri di rumah.

Tak semua keluarga sanggup menahan derita keterpisahan demikian. Beberapa waktu lalu diberitakan dari kabupaten Kolaka-Sulawesi Tenggara, adanya jenazah pasien dalam pengawasan (PDP) yang dibawa pulang oleh keluarga dari rumah sakit.

Jenazah terduga COVID-19 yang telah dibungkus sesuai SOP untuk memutus mata rantai virus itu dibuka kembali oleh keluarga. Tampak para kerabat mencium dan memeluk jenazah di atas pembaringan.  

Mereka seakan lebih sanggup menahan derita terinfeksi virus Corona ketimbang menahan duka tak menyaksikan wajah keluarga terkasih sebelum dimakamkan.

Makna Cinta

Fenomena keterasingan dalam derita pandemi ini tak pelak memicu perenungan. Sejarah selama berabad-abad telah membuktikan, bahwa pada saat ilmu dan teknologi kedokteran gagal menyembuhkan penyakit, namun pelayanan medis tetap mampu tampil memuliakan manusia baik dengan tatapan wajah, sentuhan tangan, terapi komunikasi, mau pun meredakan rasa sakit.  

Tetapi virus Corona ternyata tak sekedar menyerang saluran nafas, melainkan juga  seolah merobek pertautan temali kasih manusia.

Kisah Laila-Majnun terasa menemukan panggungnya dalam situasi pandemi COVID-19 yang menampilkan kembali drama lara keterpisahan.

Dengan derai air mata kerinduan Laila bersurat kepada Majnun:

“Sayang, aku telah berusaha sekuat daya merasakan beban laramu. Aku begitu menyesal dengan keterpisahan ini. Kebersamaan itu terasa mustahil. Namun apakah kehadiranku itu begitu penting, sayang? Bukankah kita telah satu jiwa walau raga terpisah.  Jiwaku melekat bersamamu.”

Bak pembuka daun jendela agar Majnun menghirup makna derita keterpisahan, Laila meneruskan bait surat dengan kalimat:

“Wahai pujaan hatiku, janganlah engkau mengeluh kesepian. Jangan bersikap demikian kasihku. Ingatlah Dia yang menciptakanmu. Ingatlah Tuhan adalah Kawan abadi  bagi mereka yang terasing.” []

PH/IslamIndonesia/Dikutip dari Kompas.id/ Foto utama: Lukisan karya Shri Vitthal Das Rathore. Judul: Laila Majnu. Sumber: Exotic India

One response to “Kisah – Getir Cinta di Panggung Pandemi”

  1. mustansyir, Rizal says:

    Cerita yg sangat menyentuh sekaligus membuktikan bhw cinta dan kasih sayang itu tak tergantikan dan tak ternilai. Keterasingan mrpkn bentuk keterpelantingan mns sbg mahluk sosial yg gagal mengekspresikan jati dirinya kpd pihak lain, suami, isteri, keluarga, tetangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *