Satu Islam Untuk Semua

Friday, 23 March 2018

KISAH – Bukti Betapa Besar Cinta Ayah Tak Ubahnya Cinta Ibu


islamindonesia.id – Bukti Betapa Besar Cinta Ayah Tak Ubahnya Cinta Ibu

 

Seorang ayah tampak sendiri di dalam kamar, beberapa kali terdengar dia terbatuk. Sementara di ruang tamu, seorang ibu sedang mengobrol bersama anak perempuannya.

“Cinta ayahmu kepadamu luar biasa, tetapi lebih banyak disimpan dalam hati karena kau perempuan,” kata si ibu.

Si anak mendengarkan ibunya dengan raut wajah heran.

“Ketika kau melanjutkan kuliah ke Jakarta dan aku bersama ayahmu mengantarmu ke stasiun, kau dan aku saling berpelukan. Ayahmu hanya memandang. Dia bilang juga ingin memelukmu, tapi sebagai laki-laki tak lazim memeluk perempuan di depan banyak orang. Maka dia hanya menjabat tanganmu, lalu berdiri di sana sampai kereta itu menghilang dari pandangan,” lanjut si ibu.

“Ibu memang sering meneleponmu. Tapi tahukah kau, itu selalu ayahmu yang menyuruh dan mengingatkan. Mengapa bukan ayahmu sendiri yang menelpon? Dia bilang, ‘Suaraku tak selembut suaramu, anak kita harus menerima yang terbaik’.”

“Ketika kamu diwisuda, kami duduk di belakang. Ketika kau ke panggung dan kuncir di togamu dipindahkan Rektor, ayahmu mengajak ibu berdiri agar dapat melihatmu lebih jelas. “Alangkah cantiknya anak kita ya Bu,” kata ayahmu sambil menyeka air matanya kala itu.

Mendengar cerita ibu di ruang tamu, dada si anak mendadak sesak, bercampur haru dan rasa bersalah.

Si anak pun membatin: Jujur saja selama ini kepada ibu aku lebih dekat dan perhatianku lebih besar. Sekarang tergambar kembali kasih sayang ayah kepadaku. Aku teringat ketika naik kelas 2 SMP aku minta dibelikan tas. Saat itu ibu bilang, ayah belum punya uang.

Tetapi di sore harinya, ayah pulang membawa tas yang kuminta. Ibu heran. “Tidak jadi ke dokter?” tanya ibu. “Kapan-kapan saja. Nanti minum jahe hangat, batukku ini akan hilang sendiri,” kata ayah waktu itu.

Rupanya biaya ke dokter, ayah gunakan uangnya untuk membeli tasku, membeli kegembiraan hatiku, dengan mengorbankan kesehatannya.

“Dulu setelah prosesi akad nikahmu selesai, ayahmu bergegas masuk ke kamar. Kau tahu apa yang dia lakukan?” tanya ibu kembali menyambung kisah.

Si anak menggeleng. “Ayahmu sujud syukur sambil berdoa untukmu. Air matanya membasahi sajadah. Dia mohon agar Allah melimpahkan kebahagiaan dalam hidupmu. Sekiranya kau dilimpahi kenikmatan, dia mohon tidak membuatmu lupa berzikir kepada-Nya. Sekiranya diberi cobaan, mohon cobaan itu adalah cara Tuhan meningkatkan kualitas hidupmu.”

“Ya. Lama sekali dia bersujud sambil terisak. Ibu mengingatkannya, sudah banyak tamu yang menunggu. Dia lalu keluar dengan senyuman tanpa ada bekas air di pelupuk matanya.”

Mendengar semua kisah itu, air mata si anak tak tertahan lagi, tumpah membasahi pipi.

Dari kamar terdengar ayahnya batuk lagi. Si anak pun lalu bergegas menemui ayah sambil membersihkan air matanya sendiri.

“Kau habis menangis?” tanya si ayah, menatap sisa air di mata anaknya.

“Oh, tidak, Yah!” si anak tertawa renyah.

Untuk mengalihkan perhatian, si anak pun memijat betis lalu pundak ayahnya.

“Pijatanmu enak sekali seperti ibumu,” kata si ayah sambil tersenyum.

Si anak membatin: Aku tahu, begitulah sifat ayah. Meski dirinya sakit, dia tetap ingin menyenangkan hatiku dengan pujian.

Itulah pertama kalinya sepanjang hidup si anak memijat ayahnya. Dilihatnya betapa gembira wajah si ayah. Si anak pun terharu.

“Besok suamiku menyusulku, ambil cuti seminggu seperti aku. Nanti sore ayah kuantar ke dokter,” ajak si anak. Tapi ayahnya menolak. “Ini hanya batuk ringan, nanti akan sembuh sendiri,” katanya.

“Harus ke dokter, aku pulang memang ingin membawa ayah ke dokter, mohon jangan tolak keinginanku,” kata si anak berbohong.

Ayahnya terdiam. Dalam batinnya si anak berbisik: Mungkinkah ayah tahu, bahwa sebenarnya aku pulang hanya ingin berlibur, bukan membawa ayah ke dokter? Tapi biarlah. Toh aku berbohong agar ayah mau kubawa ke dokter.

Saat dibawa ke dokter spesialis, si ayah protes lagi. Dia minta dibawa ke dokter umum yang ongkos berobatnya lebih murah.

Dari hasil pemeriksaan, ayah harus masuk rumah sakit hari itu juga. Maka dibawalah dia ke rumah sakit terbaik di kota itu.

Ibunya bertanya setengah protes. “Dari mana biayanya?”

Si anak tersenyum. “Aku yang akan menanggung seluruh biayanya, Bu. Sejak muda ayah sudah bekerja keras mencari uang untukku. Kini saatnya aku mencari uang untuk ayah. Insya Allah aku bisa! Aku bisa,  Bu!”

Kepada dokter si anak berbisik, “Tolong lakukan yang terbaik untuk ayahku Dok, jangan pertimbangkan berapapun biayanya.” Dokter itu tersenyum.

Tak berapa lama, ayah sembuh dan boleh pulang. Ketika ayah sudah di rumah dan si anak pamit balik ke kota, dia tak hanya menyalami, tetapi merangkul si ayah dengan erat untuk membayar keinginannya di stasiun dulu, seperti cerita ibu.

“Sering-seringlah ayah meneleponku, jangan hanya ibu,” pinta si anak kepada ayahnya. Ibunya hanya mengedipkan mata sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, si anak berpikir: berapa banyak anak yang tidak paham dengan ayahnya sendiri seperti dirinya. Selama ini dia tak paham betapa besar cinta si ayah kepadanya.

Dari pengalaman tak terlupakan itu, di hari-hari berikutnya saat si anak berdoa, perasaannya kini jauh berbeda.

Terbayang dalam benak si anak ketika ayahnya bersujud pada hari pernikahan sampai sajadahnya basah dengan air mata… Ah, betapa besar cinta kasih seorang ayah, tidaklah jauh berbeda dengan cinta kasih seorang ibu.

Sejak itu si anak pun berharap, semoga Allah masih memberikan waktu yang cukup, agar bisa lebih lama lagi membalas kasih ayahnya, memeluk dan menumpahkan cinta kepadanya. Seperti cintanya kepada si ibu.

Rabbighfirlii wa li waalidayya warhamhuma kama rabbayaani shagiira… Ya Allah ampunilah dosaku juga dosa orangtuaku, jagalah mereka seperti mereka merawatku di waktu kecil…

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *