Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 31 July 2016

KISAH—Begini Cara “Santun” Abunawas Jewer Kuping Penguasa


IslamIndonesia.id—Begini Cara “Santun” Abunawas Jewer Kuping Penguasa

 

Saat sedang asyik berkeliling kampung di pinggiran Kota Baghdad, Abu Nawas ditangkap oleh sekumpulan warga Badui yang sedang beramai-ramai memasak bubur dalam kuali besar.

“Apa salahku? Untuk apa kalian menangkapku?” tanya Abu Nawas heran campur kaget.

“Diam kau!” hardik salah seorang di antara pemasak bubur yang berdiri tak jauh dari kuali besar yang airnya sedang mendidih itu. “Ketahuilah, siapa pun orang asing yang berani lewat di sini pasti kami tangkap, kami sembelih seperti kambing, dan kami masukkan ke kuali besar sebagai campuran bubur. Untuk makanan kami sehari-hari.”

Sejenak, Abu Nawas bergidik membayangkan dirinya tak lama lagi akan menjadi santapan para Badui kanibal itu. Tapi bukan Abu Nawas namanya kalau dalam kondisi genting macam apapun bakal menyerah begitu saja. Seperti biasa, dia pun memutar otak. Mencari cara bagaimana bisa terlepas dari takdir buruk yang sedang dihadapinya.

“Tunggu,” kata Abu Nawas. “Apa kalian tak lihat kalau badanku kurus? Mana enak dimakan? Dagingku sedikit, tulangku banyak. Tulang, mana enak dimakan?” kelit Abu Nawas. “Kalau kalian mau, gimana kalau besok kubawakan temanku yang gemuk kepada kalian? Dia gemuk, dagingnya banyak. Bisa buat persediaan makan kalian dalam sepekan,” tambahnya meyakinkan. “Kalau kalian setuju, tolong lepaskan aku,” pintanya lagi.

“Baiklah, bawa teman gemukmu segera kemari,” jawab si Badui.

“Ok. Besok pasti kubawa dia kemari,” kata Abu Nawas lalu pamit pergi.

Dalam perjalanan pulang itu, Abu Nawas berpikir keras, mencari-cari siapa kiranya yang pantas dia bawa sebagai tumbal pengganti.

“Oh, aku tahu,” gumamnya. “Tak ada orang lain yang lebih pantas selain Raja. Dia itu kerjanya seharian hanya nyantai di istana sehingga tak tahu kondisi rakyat yang sebenarnya. Bagaimana bisa warga jahat seperti Badui kampung itu bebas berbuat keji, menyembelih orang layaknya kambing, sementara Raja sama sekali tak tahu-menahu? Pantas kalau dia kubawa saja ke kampung Badui itu,” pikir Abu Nawas.

Keesokan harinya, dia pun bergegas ke istana menghadap Raja. Setelah membungkukkan badan tanda penghormatan, Abu Nawas pun menyampaikan maksud kedatangannya.

“Tuanku, untuk menghilangkan penat pikiran, ada baiknya Tuanku melihat pertunjukan seru yang ditonton banyak orang. Kalau Tuanku berkenan, bolehlah hamba mengantar Tuanku kesana,” kata Abu Nawas kepada Raja yang matanya terlihat berbinar tanda tertarik pada ajakan Abu Nawas.

“Oh ya? Kapan pertunjukan itu bakal dimulai?” tanya Raja antusias.

“Lepas Maghrib nanti, Tuanku,” jawab Abu Nawas.

“Baiklah. Lepas Ashar kita berangkat,” sahut Raja.

Singkat cerita, sesampainya di kampung Badui, Abu Nawas membawa Raja ke rumah tukang bubur kanibal itu.

Raja pun heran, “Apa pertunjukannya sudah lama dimulai? Kudengar dari dalam rumah itu, suara orang ramai sekali?”

“Mungkin saja, Tuanku. Hamba juga tak tahu pasti. Coba hamba tengok dulu kesana. Tunggulah Tuanku disini dulu,” kata Abu Nawas.

Kepada si pemilik rumah, Abu Nawas menyampaikan bahwa dirinya telah memenuhi janji. Membawa serta temannya yang berbadan gemuk, yang saat itu sedang menunggu untuk menggantikan posisinya. “Ia sekarang berada di luar. Mari kita jemput dia,” ajak Abu Nawas, keluar bersama si pemilik rumah menemui Raja.

“Ramai suara apa itu?” tanya Raja kepada keduanya. Belum sempat si pemilik rumah menjawab, Abu Nawas lebih dulu berkata, “Itu rumah penjual bubur. Agaknya sangat lezat dan bukan main larisnya. Pembelinya membeludak, saling antri berebut, tak sabar ingin segera makan bubur itu.”

Saat itulah si Badui kanibal, tanpa banyak ngomong segera menangkap Raja dan membawanya ke dalam rumah.

Abu Nawas pun angkat kaki tanpa ba bi bu lagi. Dalam hati ia membatin, “Asal pintar, niscaya Raja bisa membebaskan diri. Kalau ternyata dia bodoh, sudah nasibnya dia mati disembelih rakyatnya sendiri yang jahat itu.”

Raja sontak merasakan ada yang tak beres dengan keadaannya saat itu. Dia kaget sekali saat tahu bahwa dirinya telah sengaja dikorbankan oleh Abu Nawas.

Merasa terancam dicincang seperti kambing, dia pun berujar, ”Untuk dibuat campuran bubur, kalian pasti tahu kalau dagingku tak banyak. Meski gemuk, tapi dagingku lebih banyak mengandung lemak. Lemak itu tak bagus buat kesehatan kalian. Bahkan bisa bahaya kalau kalian memakannya.”

“Lalu, maksudmu?” tanya si Badui.

“Gimana kalau aku bekerja pada kalian saja? Kalian kubuatkan peci istimewa yang kalau dijual bisa berharga mahal. Dalam seminggu, kujamin kalian bakal dapat uang banyak. Cukup untuk menghidupi keluarga kalian bahkan sebulan ke depan,” janji Raja. Dan si Badui pun kontan setuju.

Untuk sementara, Raja pun selamat.

***

Kabar menghilangnya Raja, membuat gempar seisi Kota Baghdad. Ketidakmunculan Raja di Balairung Istana, membuat keluarganya cemas tak terkira. Seluruh rakyat pun digerakkan untuk mencari keberadaan sang Raja ke segenap penjuru negeri. Tak berapa lama, didapat kabar bahwa Harun Al-Rasyid sedang berada di kampung Badui kanibal penjual bubur. Setiap hari kerjanya membuat peci.

Terkuaknya teka-teki posisi Raja itu adalah berkat sebuah peci mewah berhias motif kaligrafi, menyusun kalimat berisi pesan, “Belilah peci ini berapapun harga yang diminta penjualnya. Tengah malam nanti datanglah ke kampung Badui. Tanya penduduk di sana, dimana rumah si penjual peci buatanku ini. Dialah yang telah menyanderaku. Minta Panglimaku membawa pasukan secukupnya.”

Peci itulah yang sehari sebelumnya diberikan Raja kepada si Badui agar dijual kepada keluarga Istana. Raja bilang bahwa peci istimewa yang dibuatnya hanya cocok dipakai kaum bangsawan keluarga kerajaan. Dengan harga seratus Ringgit, si Badui bisa mendadak kaya. Begitu janji Raja.

Si Badui pun sangat senang hatinya mendengar iming-iming janji manis itu. Bergegas dia pergi ke Istana. Dan seperti yang dijanjikan, dia pun berhasil membawa pulang uang seratus Ringgit ke rumahnya. Dia tak sadar bahwa tak lama lagi nyawanya sendiri bakal terancam, atau paling tidak akan bernasib buruk menjadi tawanan kerajaan.

Dengan mudahnya Raja dibebaskan. Sekembalinya ke Istana, dia perintahkan agar Abu Nawas ditangkap hidup-hidup dan dibawa menghadapnya. Raja berniat menghukum berat perbuatan nekad Abu Nawas yang telah membahayakan nyawa sang Raja.

Tengah hari, Abu Nawas ditangkap di rumahnya. Dia tak berkutik saat pasukan kerajaan menangkap dan menggelandangnya menghadap Raja.

Melihat Abu Nawas, wajah Raja mendadak garang. Sorot matanya menyala pertanda murka.

“Hai, Abu Nawas! Ceroboh sekali tindakanmu membahayakan nyawa Rajamu,” hardik Raja. “Untuk itu, hanya hukuman gantung yang pantas untukmu.”

Alih-alih merasa gentar, Abu Nawas justru takzim memberi hormat. “Baiklah, Tuanku. Hamba mengaku salah. Tapi sebelum hukuman dijatuhkan, perkenankan hamba menyampaikan beberapa hal.”

“Baiklah” kata Raja, “Tapi kalau kau berani macam-macam dan coba-coba memperdayaku lagi kali ini, tahu sendiri seperti apa nasibmu.”

“Siap, Tuanku,” sahut Abu Nawas lalu mulai bercerita. Menyampaikan maksud dan latar belakang dari tindakannya itu di hadapan Raja.

“Sesungguhnya, tak ada maksud lain saat hamba membawa Tuanku ke rumah si Badui itu. Hamba hanya ingin Tuanku tahu dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana kondisi masyarakat yang Tuanku pimpin di bawah. Tanpa itu, hamba ragu Tuanku akan percaya begitu saja jika hamba melapor kepada Tuanku. Padahal semua kejadian yang terjadi di negeri ini, hemat hamba, adalah tanggungjawab Tuanku sepenuhnya. Bagaimana nasib tuanku di hadapan Tuhan kelak, kalau dalam hal ini Tuanku lalai?”

Raja pun terdiam mendengar penjelasan Abu Nawas. Tampak raut wajahnya yang sangar berangsur lembut.

“Ampun Tuanku, jika perkataan hamba salah, hukumlah hamba. Tapi jujur saja, hamba hanya ingin Tuanku tak mengalami nasib sengsara kelak di neraka,” lanjut Abu Nawas.

Mendengar penuturan Abu Nawas, musnahlah amarah Raja. Hukuman pun dibatalkan. Diganti hadiah sekantong uang Ringgit ribuan jumlahnya. Abu Nawas pun lega, riang hatinya pamit pulang membawa hadiah tak terduga dari sang Raja.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *