Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 08 January 2022

Imam Baqir Cucu Rasul Termulia dan Shaykh Bashir Alim Terkemuka yang Tetap Bekerja Keras Demi Penuhi Kebutuhan Keluarga


islamindonesia.id – Di antara salah satu anjuran Islam yang sangat ditekankan kepada umatnya adalah usaha sungguh-sungguh (jihad) dan kerja keras untuk mencapai keinginan dan cita-cita.

Di samping itu, Islam juga mengajarkan agar manusia sebagai hamba Allah mampu menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan urusan akhirat mereka. Sehingga, aktivitas mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia yang bersifat sementara, seyogianya juga seimbang dengan aktivitas ibadah untuk menggapai kebahagiaan abadi kelak di akhirat.

Khusus untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan dunia itulah diperlukan syarat berupa usaha sungguh-sungguh dan kerja keras diiringi pengorbanan dan doa.

Seperti disebut dalam banyak riwayat, ihwal usaha dan kerja keras ini telah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w dan para sahabat.

Sejarah pun mencatat bahwa Rasulullah s.a.w sendiri juga bekerja keras dengan cara berdagang semenjak beliau masih muda, bahkan dengan cara melakukan perjalanan dalam rangka mengembangkan bisnisnya hingga ke luar negeri untuk bekerja membantu perekonomian sang paman yang mengasuh beliau, Sayyidina Abu Thalib.

Sebaliknya, Islam mengecam sahabat Nabi yang hanya mementingkan akhirat saja dan membiarkan keluarganya telantar. Contoh ini dapat ditemukan dalam sebuah hadis yang mengisahkan bahwa ada seorang sahabat yang ingin meninggalkan urusan dunia agar lebih khusyuk beribadah. Sahabat tersebut berniat terus-menerus berpuasa dan beribadah sepanjang hari.

Mendengar berita tersebut, Rasulullah bersabda bahwa orang-orang yang sama sekali meninggalkan urusan dunia dengan alasan untuk lebih mengutamakan urusan akhirat, bukan termasuk golongan beliau.

Teladan dalam bekerja keras pun dapat dijumpai dalam kisah cucu Rasulullah yang bernama Imam Muhammad al-Baqir.

Alkisah, pada suatu siang yang terik, Imam Baqir tampak sedang bekerja keras di ladangnya.

Pada saat itulah, seseorang bernama Muhammad bin Munzir merasa aneh dan tak terima melihat Imam Baqir sedang berpanas-panasan di bawah terik matahari dan setelah kelelahan kemudian beristirahat dengan dua orang yang membantunya bekerja.

Muhammad bin Munzir pun kemudian menegur Imam Baqir, bahwa cucu Rasulullah itu tidak perlu bekerja keras dan tidak pantas mementingkan urusan duniawi lantaran beliau adalah seorang alim yang terkemuka.

Kepada Imam Baqir, Muhammad bin Munzir lebih jauh berkomentar, “Apa yang akan Anda lakukan bila sang maut datang menjemput Anda sementara Anda sedang sibuk mengejar urusan duniawi?”

Menanggapi “protes” dan sindiran Muhammad bin Munzir, Imam Baqir pun dengan tenang berkata, “Biarkanlah sang maut datang menjemputku sementara aku beribadah kepada Allah SWT. Karena aku bekerja memang untuk menutupi keperluanku dan keperluan keluargaku.”

Maksud Imam Baqir adalah bahwa bekerja keras demi mendapatkan penghasilan dengan tujuan untuk membantu diri dan keluarga merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, dan aktivitas itu pun tergolong ibadah dalam pandangan Allah SWT. Artinya, Islam tidak suka melihat kita menjatuhkan martabat diri dengan bermalas-malasan dan meminta-minta kepada orang lain.

Muhammad bin Munzir yang kemudian tersadar dengan apa yang disampaikan Imam Baqir, mengaku malu atas komentarnya yang tidak pantas tersebut dan berkata, “Anda benar. Aku tadinya ingin memperingatkan Anda, tetapi justru Andalah yang akhirnya menyadarkanku.”

Apa yang ditegaskan Imam Baqir tersebut adalah sebuah catatan penting bahwa bekerja keras untuk mencari nafkah dan memperoleh pendapatan yang cukup, merupakan kewajiban yang telah dititahkan oleh Allah SWT kepada setiap Muslim.

Imam Baqir lebih lanjut berkata, “Barang siapa yang bekerja untuk memperoleh pendapatan, ia akan semakin mendapatkan kemudahan, bebannya akan menjadi ringan dan keluarganya pun akan terbebas dari kemalangan dan kerisauan.”

Imam Baqir, cucu Rasulullah termulia, yang juga merupakan seorang alim terkemuka pada zamannya, tidak menyukai kemalasan apa pun bentuknya.

Untuk itu, beliau menentang setiap bentuk kemalasan dan mengingatkan, “Berhati-hatilah dari sikap malas dan rasa jenuh, lantaran keduanya merupakan kunci segala kejahatan.”

Imam Baqir juga mencela siapa pun yang hidupnya bersandar kepada sedekah orang sebagai mata pencaharian mereka. Terkait hal ini beliau berkata, “Aku benci kepada orang yang tidak punya pekerjaan, yang hanya berlaku santai dan berpangku tangan sembari berkata, ‘Wahai Tuhanku, berikanlah aku ini, berikanlah itu’. Ia meminta agar Allah berbuat baik kepadanya (tanpa dirinya berbuat apa-apa) sementara seekor semut kecil pun keluar dari sarangnya guna mencari nafkah untuk penghidupannya.”

Serupa dengan apa yang dilakukan oleh Imam Baqir di masa lalu, di masa kita sekarang pun ternyata ada seorang ulama terkemuka yang demi memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sehari-hari, tetap bekerja keras dengan berjualan air di pasar.

Kisah ulama teladan ini sebagaimana disampaikan oleh cendekiawan Muslim Haidar Bagir lewat cuitannya beberapa hari yang lalu, dengan menyertakan sebuah foto.

“Konon ini adalah foto ulama terkemuka Mauritania, Shaykh Bashir Badali Al-Syinqithi, yang sedang menjalankan aktivitas hariannya mencari nafkah: menjual air di pasar. Mungkin sang Shaykh berpandangan bahwa ulama tak seharusnya hidup makmur dari dakwahnya. Apa pendapatmu?” tanya akun @Haidar_Bagir di akhir tweet-nya.

Menjawab pertanyaan tersebut, salah seorang netizen berkomentar, “Hadratusy Syaikh Mbah Hasyim Asy’ari adalah petani. Beliau boleh dibilang adalah petani yang kaya. Dan dari hasil sawahnya itu beliau menghidupi Pesantren dan para santrinya.”

Mengakhiri tanggapannya, akun itu kemudian mengutip kata-kata dari KH. Hasyim Asy’ari, “Tidak boleh ada santriku yang tidak makan…”

“Di saat banyak orang disibukkan dengan bagaimana penilaian orang lain atas apa yang sedang dikerjakannya, orang-orang seperti Shaykh Bashir hanya disibukkan dengan satu hal, pekerjaan yang halal, tak peduli serendah apa pekerjaan itu di mata manusia”, balas netizen lainnya, lalu melanjutkan, “Sayyiduna Al-Imam Al-A’dzom Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Pengarang Simthudduror) pernah mengutip sebuah syair,
إن حزت علما فاتخذ حرفة
تصـون مـاء الوجه لا يـبذل
ولا تشنـه أن تــرى ســائــلا
فشأن أهل العلم أن يسـألوا
Jika engkau menjadi orang alim, bekerjalah untuk menjaga harga dirimu. Karena harga diri –seorang alim– tidak dihinakan –hanya demi dunia. Jangan hinakan harga dirimu dengan meminta-minta, karena orang alim itu diminta, bukan meminta”.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *