Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 28 February 2023

Baju Bau Abu Nawas


islamindonesia.id – Suatu ketika Abu Nawas melakukan kesalahan yang membuat Baginda Raja sangat murka. Baginda Raja memerintahkan beberapa prajurit istana untuk segera menangkap Abu Nawas.

Sementara Abu Nawas yang sedang berada di rumah memberitahukan kepada istrinya. “Wahai istriku, sepertinya aku harus meninggalkan kampung halaman untuk beberapa waktu,” ucap dia kepada istrinya.

“Ada masalah apalagi wahai suamiku? Kenapa engkau terlihat ketakutan?” tanya sang istri yang sangat khawatir.

“Aku telah membuat kesalahan yang membuat Baginda Raja murka. Aku yakin tidak lama lagi pasukan istana datang kemari untuk menangkapku,” jawab Abu Nawas.

Kemudian Abu Nawas mengemas bajunya ke dalam tas dan segera pergi meninggalkan rumah. Ternyata dugaan dia benar, selepas kepergiannya beberapa prajurit istana datang menggeledah rumah Abu Nawas.

“Mana Abu Nawas?” tanya salah satu prajurit kepada istri Abu Nawas.

“Dia sudah pergi meninggalkan kampung ini,” jawab istri Abu Nawas.

Para prajurit pun langsung balik ke istana menghadap Baginda Raja.

“Mana Abu Nawas?” tanya Baginda Raja.

“Ampun Paduka yang mulia, Abu Nawas sudah tidak ada di rumahnya. Kata istrinya, dia sudah meninggalkan kampung ini,” jawab salah satu prajurit.

“Kurang ajar! Dia coba menghindari hukuman,” pikir Baginda Raja.

Sementara Abu Nawas mulai mengembara dan berpindah-pindah tempat dari kampung satu ke kampung yang lain.

Suatu ketika dalam pengembaraannya, Abu Nawas melintasi sebuah dusun yang sedang dilanda musim kemarau.

Abu Nawas yang mengenakan jubah dan sorban layaknya ulama besar sempat membuat perhatian warga, mereka mengira Allah SWT telah mengirim seorang waliyullah untuk menolong dusunnya yang sedang mengalami musim kemarau.

Para warga pun segera mengerumuni Abu Nawas. “Assalamualaikum, Syekh. Sudilah kiranya Tuan Syekh mampir sebentar di rumah kami,” minta Kepala Dusun.

Abu Nawas pun sudah menolaknya. Namun karena para warga memaksa, ia pun mau tidak mau menerima ajakan mereka ke rumah Kepala Dusun.

Abu Nawas dijamu berbagai macam hidangan dan diperlakukan istimewa layaknya raja. “Apa yang membuat kalian memperlakukanku sedemikian istimewa, padahal kalian tidak mengenalku?” tanya Abu Nawas.

“Begini, Tuan Syekh. Dari penampilan Tuan, kami yakin kalau Tuan adalah ulama besar yang dikirim Allah untuk membantu desa kami,” jawab Kepala Dusun.

“Memangnya apa yang menimpa desa kalian?” tanya Abu Nawas lagi.

“Sudah berbulan-bulan desa kami mengalami musim kemarau. Tanaman-tanaman mati, air persediaan kami tinggal beberapa ember. Doakanlah desa kami, wahai Tuan Syekh, agar desa kami dicurahi hujan,” jelas Kepala Dusun.

Abu Nawas terdiam mendengar keluhan mereka. Ia juga berbulan-bulan tidak mandi dan bajunya sudah lama tidak dicuci, padahal tujuannya ke sini untuk menumpang mandi.

Tak berapa lama muncullah ide cemerlang di otaknya. “Baiklah aku akan memanjatkan doa kepada Allah supaya desa kalian dicurahi hujan, tapi ada syaratnya,” ujar Abu Nawas.

“Apa itu syaratnya, Tuan Syekh? Kami bersedia melakukannya,” balas Kepala Dusun.

“Syaratnya adalah kumpulkan semua air persediaan kalian dan taruh di tengah lapangan,” perintah Abu Nawas.

Para warga pun membawa air terakhir yang mereka miliki. Total air yang terkumpul hanya dua ember. Kemudian air tersebut ditaruh di tengah lapangan.

Abu Nawas melepas bajunya dan mencucinya dengan air di ember pertama. Sedangkan air di ember kedua, dia gunakan untuk mandi. Melihat hal itu, para warga pun menjadi terkejut.

“Wahai, Tuan Syekh. Itu air terakhir persediaan kami yang rencananya untuk minum anak-anak kami,” ucap salah satu warga.

Perbuatan Abu Nawas ini tentunya mengundang reaksi kemarahan warga. Ada yang mencemooh, ada yang membentak, ada pula yang menghujat. Namun di tengah kegaduhan itu, Abu Nawas dengan tenang mengangkat bajunya yang dicuci, lalu menjemurnya, dan perkataan mereka tidak dihiraukan.

Para warga bertambah emosi sehingga hendak memukulinya. Tapi niat mereka langsung terhenti karena tiba-tiba terdengar suara guntur yang disusul hujan lebat, penduduk pun lupa dengan marahnya.

Bahkan sebaliknya, mereka berebutan mencium tangan Abu Nawas dan mulai berteriak kegirangan menyambut datangnya hujan yang sudah lama ditunggu.

Saat itu sang Kepala Dusun menghampiri Abu Nawas. “Tuan Syekh, sebenarnya doa apa yang Tuan panjatkan sehingga langit berkenan menurunkan hujan?” tanya Kepala Dusun.

Dengan polosnya Abu Nawas menjawab, “Begini, doaku biasa saja, tapi jubahku ini tinggal satu dan tidak pernah dicuci selama berbulan-bulan. Bila aku menjemurnya pasti hujan akan turun deras, mungkin karena langit tidak tahan dengan bau jubahku,” celetuk Abu Nawas.

Mendengar hal itu sontak para warga langsung tertawa terpingkal-pingkal. Sejak saat itu Abu Nawas mulai menetap di sana sembari menunggu kemarahan Baginda Raja reda.

Hikmah: Meskipun terbukti bahwa usaha dan doanya telah dikabulkan oleh Allah, namun Abu Nawas tidak menunjukkan sikap sombong. Sebaliknya, ia justru mengalihkan perhatian para penduduk desa yang bertanya kepadanya dengan nada penuh kagum, lewat jawaban berupa celoteh lucunya yang menghibur.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *