Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 16 February 2020

Abbad bin Bisyr, Sahabat yang Tidak Menghentikan Salatnya Walau Tertembak Panah


islamindonesia.id – Abbad bin Bisyr, Sahabat yang Tidak Menghentikan Salatnya Walau Tertembak Panah

Jabir bin Abdullah meriwayatkan, suatu waktu mereka menemani Rasulullah SAW ke sebuah tempat yang bernama Nakhl pada waktu pertempuran Zaturriqa. Kebetulan salah seorang Muslim membunuh (atau menangkap) istri salah seorang Musyrikin.

Suami wanita itu sedang pergi dan baru kembali setelah Rasulullah meninggalkan (tempat itu). Ketika dia diberitahu tentang apa yang telah terjadi, dia bersumpah bahwa dia tidak akan pernah beristirahat sampai dia menumpahkan darah para sahabat Rasulullah. Karena itu dia berangkat untuk mengikuti jejak Rasulullah.

Ketika Rasulullah mendirikan kemah, beliau bertanya, “Siapa yang akan berjaga untuk kita malam ini?”

Seorang sukarelawan dari Kaum Muhajirin dan seorang lainnya dari Kaum Anshar berdiri dan berkata, “Kami akan melakukannya, wahai Rasulullah!”

Rasulullah memberi mereka perintah untuk berjaga-jaga di mulut lembah. Dua sukarelawan itu adalah Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr.

Ketika dua orang itu mencapai mulut lembah, sang Anshar (Abbad) berkata kepada sang Muhajirin (Ammar), “Pada bagian malam mana engkau ingin beristirahat (untuk bergantian berjaga)? Apakah pada malam bagian pertama atau yang kedua?”

Sang Muhajirin menjawab, “Aku akan istirahat pada malam bagian pertama.”

Sang Muhajirin kemudian berbaring untuk tidur, sementara sang Anshar berdiri untuk melakukan salat.

Kemudian, pria itu (yang bersumpah untuk menumpahkan darah kaum Muslim) tiba di sana dan ketika dia melihat bayangan seseorang, dia menyangka sang Anshar sedang mengintai dan segera menembakkan panah yang mengenai sang Anshar.

Sang Anshar melepaskan panah dari tubuhnya, melemparkannya ke samping dan terus berdiri (dalam salat). Orang Musyrik itu menembakkan panah lain yang juga mengenai sang Anshar. Sang Anshar  melepaskan lagi panah ini dari tubuhnya, melemparkannya ke samping dan terus berdiri (dalam salat).

Ketika orang Musyrik itu menembakkan panah ketiga yang juga mengenai sang Anshar, sang Anshar melepaskan panah dari tubuhnya, melemparkannya ke samping dan kemudian menyelesaikan ruku dan sajadah-nya (dan salatnya).

Dia kemudian membangunkan sahabatnya, berkata, “Bangunlah karena aku telah terluka.”

Sang Muhajirin bangkit dan ketika orang Musyrikin itu melihat mereka berdua, dia menyadari bahwa mereka (Muslimin) telah diberi tanda bahaya (tentang kedatangannya) dan dia melarikan diri.

Ketika sang Muhajirin melihat darah pada sang Anshar, dia berseru, “Subhanallah! Mengapa engkau tidak membangunkanku ketika dia menembakmu pertama kali?”

Sang Anshar menjawab, “Aku sudah mulai membaca sebuah surat dan tidak suka untuk memotongnya sebelum menyelesaikannya. Tetapi bagaimanapun, ketika penembakkan itu berlanjut, aku melanjutkan ruku (menyelesaikan salatku) dan memberitahumu.

“Aku bersumpah demi Allah, bahwa ini bukan karena untuk menempatkan bahaya (kerugian) pada mulut (lembah) tempat melintas yang diperintahkan oleh Rasulullah kepadaku untuk dijaga, aku akan menyerahkan hidupku ketimbang harus memotong surat (yang dibaca dalam salat).”

*Dikutip dari al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (Vol 4, hlm 85)

PH/IslamIndonesia/Foto: Unknown/Google

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *