Satu Islam Untuk Semua

Friday, 08 May 2020

RESENSI – Ilmu Sosial Profetik Bertanya


32 tahun lalu, perdebatan soal kalam klasik meletus di sebuah ruang seminar Yogyakarta. Walhasil, acara yang digelar dua hari di Kaliurang itu membelah peserta seminar menjadi dua kubu.

Kubu pertama kekeh mempertahankan teologi klasik, sementara kubu kedua menginginkan reorentasi pemahaman keagamaan. Pandangan pertama bertahan dengan refleksi yang normatif sedangkan pandangan kedua menyuarakan refleksi yang aktual dan empiris.

Kelompok kedua bahkan menyatakan perlu adanya rumusan suatu teologi baru yang disebut teologi transformatif. Gagasan yang dicetuskan oleh intelektual Moeslim Abdurahman ini kemudian dianggap sebagai kritik tajam terhadap teologi-teologi tradisional yang perlu dirombak.

Seorang budayawan dari Bantul, Kuntowijoyo, kemudian mengabadikan seminar yang bersilang jalan itu. Melalui buku, Paradigma Islam, Kuntowijoyo memberikan tanggapannya dan mencoba membangun jembatan untuk mempertemukan kedua kelompok itu. Menurutnya, kedua kubu terjatuh dalam perdebatan semantik.

Kuntowijoyo berpendapat lingkungan kita ‘belum’ bisa menerima gagasan pembaruan teologi. Hal ini lantaran sebagian masyarakat muslim memahami teologi mengadung unsur yang sakral, yaitu doktrin tauhid.

Dengan demikian, mereka tentu memandang aneh terhadap orang yang mengaku mulim tapi ingin memperbaharui teologi. Menurut kubu ini, pembaruan justru melahirkan masalah teologis. Oleh karena itu, masalah teologi tidak boleh diutak-atik.

“Di sinilah, titik tolak kesalahpahaman terjadi. Para pengajur pembaruan teologi jelas tidak bermaksud seperti itu,” kata Kuntowijoyo.

Alumni bidang sejarah Universitas Colombia Amerika Serikat ini pun melayangkan kritik pada ‘teologi transformatif’ yang digagas Moeslim Abdurahman. Kuntowijoyo memahami maksud gagasan itu namun ide ini tidak tepat membawa-bawa nomenklatur teologi.

Istilah teologi tak perlu digunakan jika tujuannya rekayasa sosial dengan jalan mengaloborasi ajaran-ajaran agama ke dalam suatu bentuk teori sosial. Menurut Kuntowijoyo, gagasan itu sebenarnya masih bernaung di bawah ilmu sosial transformatif. Dengan perangkat ilmu sosial, seorang muslim dapat melakukan rekayasa tranformasi sosial melalui bahasa yang objektif.

Tapi sebenarnya ada masalah yang lebih mendasar daripada itu. Kuntowijoyo kemudian mengajukan pertanyaan filosofis: ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa?

Beranjak dari pertanyaan ini kemudian Kuntowijoyo menawarkan ilmu sosial profetik. Pada bab 18 dari bukunya Paradigma Islam, Kuntowijoyo menjelaskan khusus mengenai tawarannya ini.

Buku setebal 665 halaman ini sebenarnya merupakan kumpulan gagasan Kuntowijoyo yang bersekaran di berbagai makalah, transkrip ceramah, hingga hasil wawancara. Adalah AE Priyono, intelektual muda jebolan LP3ES, yang berinisiatif mengumpulkan dan mengeditnya sebelum diterbitkan oleh Mizan sejak dicetak kali pertama.

Kuntowijoyo memiliki landasan historis berbicara tentang gagasannya itu. Dari landasan itu, ia memberikan refleksi empiris terkait cita-cita gerakan sosial. Pemikirannya itu tertuang bab demi bab dengan gaya penulisan yang padat-elegan dan dengan diksi terjaga.

Ekonom Indonesia Dawam Rahardjo menyambut terbitnya Paradgima Islam. Ilmu sosial profetik, kata Dawam, lahir ketika ilmu-ilmu sosial akademis mengalami kemandekan. Di sisi lain agama menjadi rutinitas yang melembaga bahkan menjadi kekuatan konservatif. Di awal buku ini, Dawam menulis 14 halaman sebagai pengantar sebelum menyelami kedalaman pemikiran Kuntowijoyo.

Tak lama setelah buku ini terbit, kata AE, Kuntowijoyo seperti mengalami pengasingan diri dari pubik. Pada 1992, virus menyerang otak Kuntowijoyo hingga membuatnya lumpuh dan hanya bisa terbaring untuk perawatan.

Kuntowijoyo kemudian sempat membaik dan menulis kembali. Tapi akhirnya, pemikir yang menutup pengabdiannya di UGM sebagai guru besar ilmu budaya ini wafat pada 22 Februari 2005. Saat itu usianya mencapai 61 tahun. Tiga belas tahun kemudian Dawam Rahardjo pergi menyusul Kuntowijoyo lalu diikuti oleh AE Priyono pada bulan lalu, tepatnya 12 April 2020.

Ketiga sosok ini boleh pergi tapi mereka – mengutip Pramoedya Ananta Toer – telah bekerja untuk keabadian. Mereka telah berjasa dalam karya intelektual bernama Paradigma Islam.

***

Buku: Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi

Penulis: Kuntowijoyo

Editor: AE Priyono

Pengantar: Prof. M. Dawam Rahardjo

Penerbit: Mizan, 2008 (cetakan pertama edisi baru)

***

YS/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *