Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 23 February 2017

KAJIAN – Peran Jiwa dalam Menyikapi Kesulitan (Bagian 1)


islamindonesia.id – KAJIAN – Peran Jiwa dalam Menyikapi Kesulitan  (Bagian 1)

 

Di antara pengaruh takwa ialah terbentuknya jalan keluar dan terbentangnya kemudahan dalam menghadapi berbagai urusan dan kesulitan. Pada surah ath-Thalaq ayat kedua, Allah berfirman: Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan membukakan jalan keluar baginya.

Memperkuat maksud ayat di atas, pada dua ayat setelahnya Allah berfirman: Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memudahkan urusannya.

Kedua ayat tersebut secara gamblang menegaskan terbukanya jalan keluar dan kemudahan menghadapi kesulitan sebagai pengaruh lain dari ketakwaan manusia kepada Allah.

Lantas, apa sesungguhnya hubungan takwa yang merupakan keistimewaan jiwa dan kebijakan moral dengan kemudahan menghadapi berbagai urusan dan kesulitan? Apa peran jiwa dalam menyelesaikan urusan dan memudahkan kesulitan manusia? Apa saja jenis urusan dan kesulitan manusia? Dan apa jenis urusan dan kesulitan jiwa berbeda dengan jenis urusan dan kesulitan lainnya?

Untuk menjawabnya, pertama sekali perlulah kiranya kita mengetahui adanya dua jenis urusan dan kesulitan yang umumnya dihadapi manusia:

– Urusan dan kesulitan yang tidak langsung berkaitan dengan kehendak dan keinginan manusia seperti bencana-bencana alam; serta

– Urusan dan kesulitan yang secara langsung berkaitan dengan dan ditimbulkan oleh keinginan dan kehendak manusia seperti lazimnya masalah-masalah personal, sosial dan moral.

Pembagian di atas sesungguhnya tidakah hakiki, lantaran segala macam kesulitan dan keburukan pada hakikatnya juga berasal dari ulah manusia. Dan ketidaktahuan manusia akan sebab-musabab kesulitan bukanlah bukti bahwa ia tidak melakukan sesuatu yang membuatnya terperosok dalam kesulitan. Buktinya, untuk puluhan dekade lamanya, efek rumah kaca tidak diketahui atau setidaknya tidak disadari sebagai penyebab timbulnya begitu banyak bencana alam.

Selain itu, pada sisi lain, fenomena bencana alam yang kita anggap sebagai kesulitan, dari perspektif tata surya, sebetulnya justru merupakan fenomena berjalannya sistem. Keluarnya lahar dari gunung berapi ialah fungsi “pembuangan panas bumi” yang berjalan secara otomatis.

Sebaliknya, kegagalan fungsi pembuangan itu akan berakibat pada kehancuran bumi yang menyeluruh. Oleh karena itu, bencana-bencana alam sebenarnya tidak lebih dari berjalannya berbagai fungsi sistem tata surya.

Oleh sebab itu, masalah sebenarnya terletak pada urusan dan kesulitan yang secara langsung berkaitan dengan keinginan dan tindakan manusia. Karena, seperti yang sudah umum diketahui, pokok kesulitan dan musibah yang datang menghantam manusia dan membuat hidupnya menjadi susah dan sengsara, adalah jenis kesulitan dan musibah yang bersifat moral, spiritual, mental dan sosial yang seluruhnya berasal dari ulah individu maupun masyarakat manusia itu sendiri.

Manusia adalah asal muasal dari berbagai kesulitannya sendiri. Dialah sebab sekaligus penanggung derita tindakan-tindakannya dan penentu nasibnya sendiri. Tetapi, apakah esensi dan hakikat manusia itu? Seperti halnya para filosof, para sufi yakin bahwa esensi dan hakikat manusia adalah jiwa atau ruhnya. Itulah rumah dan kediaman abadi manusia. Sementara raga hanyalah sisi material yang menghubungkan manusia dengan ruang dan waktu yang berperan menjadi wadah sekaigus ukuran pergerakan jiwanya.

Lagi-lagi seperti halnya para filosof, para sufi juga percaya bahwa jiwalah yang “mendefinisikan” kebaikan dan keburukan, keindahan dan kejelekan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kemudahan dan kesulitan manusia.

Dalam sebuah hadis terkenal disebutkan, “kalau seseorang meyakini bahwa batu bisa bermanfaat untuknya, niscaya batu itu akan benar-benar bermanfaat untuknya.”

Mengenai hal yang sama, filosof Roma abad pertama, Epictecus, mengatakan: “Manusia terganggu bukan oleh benda-benda (kasat-mata di sekelilingnya), melainkan oleh pendapatnya tentang benda-benda tersebut.”

Pendapat tentang benda-benda dan alam semesta terjelma hanya dalam pikiran dan jiwa manusia. Oleh sebab itu, keadaan jiwa sangat menentukan keseluruhan hidup manusia.

Apa yang terjadi di dalam jiwa akan secara langsung berdampak pada apa yang kita rasakan, sedemikian sehingga apa yang tampak secara lahiriah sebagai menyenangkan bisa-bisa terasa menyedihkan hanya lantaran keadaan jiwa kita yang sedang kacau dan demikian pula sebaliknya.[]

 

bersambung…

 

MK/YS/islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *