Satu Islam Untuk Semua

Monday, 01 May 2017

KAJIAN – Mengapa Terjadi Gap Antara Islam dan Perilaku Umatnya? (Bagian 2)


Islamindonesia.id–KAJIAN – Mengapa Terjadi Gap Antara Islam dan Perilaku Umatnya? (Bagian 2)

 

Pada kajian sebelumnya kita telah membahas pilihan jawaban pertama terhadap masalah timbulnya gap antara Islam dan penganutnya atau yang secara sederhana dapat kita sebut sebagai interaksi negatif di antara keduanya. Kajian kali ini akan membahas sejumlah pilihan jawaban lain yang dapat menjelaskan masalah di atas.

Kedua, Islam telah disebarkan oleh mereka yang tidak selalu menerapkannya

Akibat dari masalah di poin pertama, timbullah konsekuensi dimana Islam saat ini disebarkan oleh orang-orang yang menjalankannya secara “setengah-tengah”, atau tidak kaffah. Malah mungkin mereka mengajarkan Islam dengan lidah mereka, tapi membunuhnya dengan tangan mereka. Di genggaman mereka Islam menjadi agama yang enak didengar, tapi sulit dijalankan–untuk tidak mengatakan tidak enak didengar sekaligus mustahil dijalankan. Mereka menyodorkan Islam sebagai lembaran-lembaran ajaran yang puitis, idealis, eksotik, tapi sama sekali tidak mungkin diterapkan. Mereka bertutur begitu indah dan memukau tentang Allah, akhlak, surga-nereka, dan yang lainnya. Tetapi di lain pihak, begitu gampangnya mereka merampas hak orang, berdusta, menjegal sesama, menjejak bawahan, dan yang lainnya. Atau seperti yang kita saksikan hari-hari ini, mereka menampilkan Islam yang keras, intoleran, brutal, irasional dan biadab sehingga siapa saja yang waras dan berakal sehat takkan sudi menjalankan agama seperti itu.

Ketiga, Islam telah melalui distorsi yang serius

Betapa banyak “penyebar” dan pembawa bendera Islam justru getol memanipulasi dan mengeksploitir otoritas keagamaannya untuk kepentingan jangka pendek mereka di bidang ekonomi maupun politik. Anda dapat melihat fenomena tersebut serentak setelah masa Khulafa Rasyidin hingga dewasa ini. Pergumulan dan perebutan kekuasaan terjadi begitu sengit dan keluar dari rambu-rambu moral Islam itu sendiri. Menyeret Islam ke dalam lumpur politik telah menyebabkan agama suci ini ikut ternoda. Para aktor yang saling berebut kekuasaan telah menjadikan Islam sebagai legitimasinya. Dalam rangka perebutan itu, tak pelak lagi, masing-masing kubu melakukan distorsi dan justifikasi semaunya sendiri, sedemikian rupa hingga Islam yang sejati direkayasa agar dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka.

Keempat, Timbulnya faktor-faktor yang terus-menerus memperlemah pengaruh Islam

Agama, yang dalam hal ini adalah Islam, sama seperti juga hal lain: memiliki pengaruh (aksi atau efek) dan reaksi. Pengaruh agama meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Agama yang mengaku sebagai sistem hidup dan berperan dalam kehidupan nyata ini tentunya mempunyai pengaruh yang multidimensional.

Agama dapat diumpamakan dengan air. Air mampu memberikan berbagai berkah bagi manusia. Ia dapat menumbuhkan padi, tebu, jagung, dan beragam tanaman lainnya sekaligus juga menyembuhkan penyakit, menghilangkan dahaga, membersihkan kotoran, menjadi sumber energi dan bermacam-macam pengaruh dan aksi lain. Namun demikian, siapa saja yang ingin memanfaatkan air itu mesti pula mempersiapkan sarana dan prasarananya. Petani yang ingin menafaatkan air, misalnya, mesti pula mempersiapkan lahan yang cocok untuk pengairan. Lahan yang tandus tidak akan mampu menumbuhkan bibit-bibit tanaman yang ditaburkan si petani.

Dalam ilustrasi di atas, kita menemukan bahwa ketandusan tanah dapat memperlemah pengaruh air bagi pertumbuhan tanaman. Misal lainnya adalah aksi obat bagi pasien yang telah dikemukakan pada kajian sebelumnya. Perlu diingat bahwa kedua contoh ini hanya menjelaskan beberapa aspek dari aksi dan reaksi antara manusia dan agama.

Pada sisi aktifnya, secara teori, Islam memberi berbagai pengaruh pada manusia. Ia mengklaim dapat mengaktualisasikan segenap potensi luhur manusia. Namun demikian, manusia yang hendak menerima aksi dan pengaruh positif ini bukanlah benda mati yang pasif. Manusia – dengan satu dan lain cara – akan bereaksi terhadapnya. Demikianlah seterusnya hingga di antara manusia dan Islam timbul suatu interaksi. Jika interaksi itu bersifat positif, maka orang itu akan menjadi Muslim yang sebenarnya; sebaliknya, jika interaksi itu negatif, maka orang itu akan menjadi “Muslim” formal dengan sifat-sifat munafik, zalim dan sifat-sifat buruk lain.

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *