Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 06 May 2017

KAJIAN – Kehidupan dan Kematian dalam Dunia Tasawuf (Bagian 1)


islamindonesia.id – KAJIAN – Kehidupan dan Kematian dalam Dunia Tasawuf (Bagian 1)

 

Kehidupan yang merupakan manifestasi jiwa manusia di alam wujud adalah sebuah kebenaran yang sangat jelas. Lebih jelas daripada tumbuh-tumbuhan dan entitas-entitas lainnya dalam memperlihatkan kesempurnaan Tuhan.

Ini akan bisa terjadi jika kebenaran tidak didistorsikan oleh manusia itu sendiri yang berpandangan anti-kehidupan dan anti-jiwa. Namun melalui pencapaian tasawuf yang dihasilkan oleh penyucian jiwa serta penerapan akhlak serta disiplin-disiplin Tuhan, jiwa manusia akan siap untuk menerima Cahaya Tuhan.

Dari sudut pandang tasawuf, “kematian” tidaklah berarti apa-apa selain daripada percikan air (yang membentuk tubuh materi) dan bergabung dengan samudra keagungan Tuhan. Kehidupan dan kematian seorang, yang memupuk kepribadiannya dengan berlomba melakukan perbuatan baik, menjadi milik Tuhan.

Dalam sudut pandang tasawuf positif ini, Islam membela orientasi jiwa melawan orang-orang yang menganggap kehidupan hanya sebagai fenomena alamiah belaka. Jika para filsuf dan orang-orang terpelajar memberikan banyak perhatian kepada kehidupan dan jiwa seperti yang Islam pandang, maka sejarah manusia akan menentukan jalan yang lebih logis.

Namun sayangnya, tiga kecenderungan penting telah membuat manusia tidak memahami keagungan jiwanya.

1 – Observasi (empiris) terhadap jiwa dan makhluk hidup yang berulang-ulang telah mengurangi nilai penting jiwa manusia.

2 – Manifestasi sifat-sifat negatif dan tercela oleh manusia serta munculnya para penjahat yang mengerikan dan para pengkhianat di dunia.

3 – Pare elite serakah yang menganggap semua manusia sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan mereka belaka.

Untuk mengapresiasi pentingnya dan agungnya jiwa manusia, kita seharusnya tidak merasa puas dengan gagasan-gagasan dan teori-teori yang diungkapkan oleh kebanyakan psikolog profesional kontemporer yang memberikan makna lebih kepada perilaku daripada psikologi.

Tentu saja kita harus mengambil dua jalan untuk mengenal jiwa manusia:

a. Observasi (intuisi) langsung terhadap jiwa manusia. Ini bisa dilakukan oleh semua orang dengan hanya melihat ke dalam hati manusia. Pengetahuan langsung (kesadaran-diri) adalah salah satu anugerah Tuhan bagi umat manusia. Pemanfaatan dan penerapan anugerah ini bergantung kepada talenta dan kondisi lain.

b. Perhatian yang bersih terhadap persepsi dan akibat-akibat mental yang diperoleh oleh orang-orang yang berpandangan bersih. Yakni mereka yang secara langsung telah mencapai intuisi betin melalui kesadaran logis dan penalaran murni serta memperoleh informasi khusus tentang jiwa mereka.

Kita seharusnya bertanya kepada diri kita sendiri; persepsi batin apa yang ada di dalam diri sufi seperti Rumi, yang telah menghasilkan 1.600 ungkapan brilian tentang jiwa dalam Matsnawi.

“Betapa cantiknya mempelai yang tersembunyi di dalam jiwa. Disebabkan kehadirannya, duniapun mewangi, indah dan penuh warna seperti tangan-tangan sang mempelai.”

Di sini, Rumi menunjukan kreativitas mental manusia yang mampu melihat dunia serba indah; sesungguhnya adalah jiwa manusia yang memiliki kekuatan untuk memutlakkan segala sesuatu di alam semesta.

Jiwa dapat mencapai kedudukan tinggi itu seperti itu dan menjadi jiwa bagi dunia, “Kerugian terbesar adalah perpisahan makhluk hidup yang merupakan jiwa dunia dari dirinya. Hal paling tidak menyenangkan adalah tidak mengetahui di mana jiwa kita.”

Manusia malang adalah dia yang mencintai benda-benda fisik, bentuk-bentuk dan tampilan-tampilan lahiriah. Sungguh kematian akan merampas segala sesuatu darinya. Jadi cobalah untuk mecintai jiwa yang anda dapat temukan di manapun Anda inginkan.

“Aku bertemu dengan seorang pemuda miskin di jalanan dengan topi usang dan pakaian bekas dengan sebuah lubang di kerah bajunya, air yang merembes masuk ke dalam sepatunya, tetapi ada bintang di dalam jiwanya.

Ada kondisi-kondisi tertentu bagi manusia di mana jiwanya tengah sujud dalam kondisi apapun tubuhnya berada.

Karenanya, kita seharusnya tahu bahwa jiwa yang tercerahkan di dunia ini tidak akan pernah mati (sirna). Inilah kebenaran yang disebutkan dalam sumber-sumber Islam, “Kami menciptakan kamu untuk bereksistensi bukan untuk kematian.”[]

Bersambung…

 

YS/MTJ/islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *