Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 21 October 2017

KAJIAN – Kebijaksanaan di Balik Kesulitan


islamindonesia.id – KAJIAN – Kebijaksanaan di Balik Kesulitan

 

Salah satu prinsip yang amat penting di balik kesulitan dan kesusahan yang ditanggung manusia ialah perkembangan bakat dan aktualisasi potensinya yang tersembunyi, supaya dengan demikian ia mencapai kesempurnaan yang pantas.

Misalnya, sebagaimana pertumbuhan dan kekuatan fisik terjadi dalam latihan-latihan berat, dan orang yang ingin mendapatkan kekuatan fisik yang lebih besar harus berlatih lebih banyak dan lebih keras, demikian pula pertumbuhan dan kesempurnaan ruhani diperoleh dengan memasuki dan menanggung kesulitan dan kesukaran. Dengan sarana itu, bakat manusia yang dikaruniakan Tuhan berubah menjadi realitas.

Dalam bahasa Al Qur’an, mempersiapkan lahan bagi praktik keruhaniaan disebut “ujian”. Ibtila, imtihan, fitnah, dan ungkapan-ungkapan lain semacam itu yang lebih ditunjukkan dalam Al Qur’an menunjukan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada manusia adalah karena perencanaan dan takdir Ilahi.

Kenyataannya, apa yang disebut “ujian” dalam bahasa Al Qur’an adalah juga pembinaan. Dalam hal ini, kita dapat menamakan dunia sebagai tempat pembinaan, di samping tempat pengujian. Karena, bakat-bakat manusia di bina di dunia ini dan kemampuan potensialnya diwujudkan. Dalam riwayat dikatakan bahwa Allah Yang Mahakuasa menguji kaum mukmin dengan kesukaran dan kesulitan, sebagaimana ibu membersarkan anaknya dengan menyusukannya.

Namun, di antara pengertian di atas, Al Qur’an telah menunjukan suatu fakta lain sehubungan dengan ujian Ilahi ini, yakni bahwa apabila seseorang melewati ujiannya dengan baik dan terbina dengan pantas di tempat pembinaan ini serta beroleh angka-angka prestasi yang baik, maka selain mencapai tingkat kesempurnaan dan pertumbuhan ruhani tertentu, ia juga menjadi model bagi orang lain dan mencapai kedudukan kepemimpinan.

Jadi, salah satu tujuan di balik ujian-ujian yang berupa kesukaran dan kesulitan itu ialah supaya di antara manusia muncul individu-individu yang akan menjadi teladan bagi orang lain.

Tujuan Ilahi dalam mengajukan kesukaran dan menguji manusia itu dapat digambarkan dalam tiga bentuk. Pertama, agar orang yang menonjol tumbuh dalam masyarakat dan mendapatkan kedudukan tinggi, dan orang lain mengikutinya. Menjadi teladan ini mempunyai banyak tingkatan. Tingkatnya yang lebih tinggi adalah tingkat kemuliaan para nabi (as), misal tingkat yang telah dianugerahkan Allah Yang Mahakuasa kepada Nabi Ibrahim, seperti disebutkan pada ayat:

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan) lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’” (QS. 2: 124)

Allah Yang Mahakuasa, setelah mengaruniakan kedudukan nubuwwah (kenabian), risalah (kerasulan), dan khullat (menjadi sahabat [khalil] Allah) kepada Nabi Ibrahim (as), ketika hendak menganugerahkan kedudukan yang lebih tinggi  kepadanya, mengujinya dahulu. Mula-mula Ibrahim (as) ditimpai dengan api oleh orang-orang Namrud. Ini adalah satu tahap ujian. Setelah lulus dari itu dengan hasil baik, ia mencapai kesiapan untuk menerima kedudukan kepemimpinan.

Dalam riwayat dikatakan bahwa ketika Ibrahim (as) dimasukan ke dalam api, Jibril datang kepadanya lalu mengatakan, “Apakah engkau menghendaki pertolongan?”

Ibrahim (as) menjawab, “Saya memerlukan pertolongan. Setiap makhluk, setiap wujud, pasti membutuhkan dan memerlukan. Tetapi, bukan dari Anda.”

Ini ujian pertama bagi Ibrahim (as), apakah dalam kesukaran semacam itu ia akan memohon pertolongan bahkan kepada Jibril ataukah tidak.

Pada tahap selanjutnya, Ibrahim (as) disuruh Allah untuk membawa istrinya Hajar (as) dan putranya yang tercinta Isma’il (as) ke gurun gersang di padang pasir Hijaz, di Makkah. Sesuai dengan perintah Allah itu, Ibrahim (as) pun membawa keluarganya berpindah ke tanah itu, meninggalkan mereka disana, dan menanggung pahitnya perpisahan dengan tabah demi keridaan Allah Yang Mahakuasa.

Ujian ketiga, yang tersukar dari semuanya, ialah ujian yang diterima Ibrahim (as) ketika ia telah lemah di hari tua – saat kemampuan fisiknya telah merosot, Allah Yang Mahakuasa mengaruniainya seorang putra, yaitu Isma’il; tentunya beliau sangat senang akan anak itu; beliau menemaninya dan bermain dengannya. Ibrahim diperintah Allah Yang Mahakuasa untuk menyembelih dengan tangannya sendiri putranya yang sangat cakap, sempurna, dan amat berarti itu. Ini ujian yang sangat sukar dan sangat berat. Tetapi, tanpa ragu, Ibrahim (as) memberitahukan kepada putranya tentang perintah itu. Isma’il pun menyambut:

“… Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. “ (QS. 37: 102)

Disinilah orang yang telah menanggung kesukaran dengan sabar dan menyerahkan semua yang dipunyainya pada jalan Allah harus menjadi imam dan teladan bagi orang lain. Seperti itu pula, beberapa nabi besar lain, setelah menanggung kesulitan tertentu, mencapai kedudukan kepemimpinan, yang telah ditunjukkan secara singkat pada ayat berikut,

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu para imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar….” (QS. 32: 24)

 

MTY/YS/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *