Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 19 July 2017

KAJIAN – Isra’ Mi’raj dan Salat


islamindonesia.id – KAJIAN – Isra’ Mi’raj dan Salat

 

Perjalanan Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Baitul Maqdis kemudian ke Sidarta Al-Muntaha, bahkan melampauinya serta kembali ke Makkah dalam waktu singkat merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran di turunkan Allah kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Allah meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.

Kelompok dari kaum empiris dan rasionalis mayoritas menggugat, mencela dan mentertawakan fakta terjadinya isra’ mi’raj: bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Rasulullah Saw tidak mengalami gesekan gesekan panas yang dapat merusak siapapun manusia yang  melewati partikel-partikel di jagad angkasa? Kemudian pertanyaan bagaimana mungkin Rasul dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi karena tidak sesuai dengan hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan secara logika. Demikianlah kira-kira pandangan mereka yang menolak peristiwa ini.

Pendekatan yang diambil sahabat Abu Bakar Al Shiddiq dalam menyikapi Isra’ Mi’raj adalah pendekatan imaniy yang tergambar dalam ucapannya “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.” Ini pula lah yang menjadi landasan bagi kita untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan Alquran.

Yang menarik dalam kaitannya dengan peristiwa ini adalah kajian banyak ilmuwan dari pelbagai disiplin ilmu yang menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantarkan atau menyebabkan.Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya. Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti yang dikatakan oleh Al-Biqa’i.Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra’ Mi’raj adalah surat Al-Nahl (lebah).

Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga pada bentuk sarangnya yang persegi enam dan berlubang-lubang, kemudian lubangnya ditutupi oleh selaput halus yang sanggup menghalang udara dan bakteri. Hasil dari lebah berupa madu juga memiliki khasiat sebagai obat bagi banyak penyakit. Keajaiban lainnya merupakan sikap hidup para lebah, baik jantan dan betina yang memiliki disiplin tinggi dibawah pimpinan seekor lebah “ratu”. Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaannya yang enggan dan malu berhubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakat yang jumlahnya dapat mencapat tiga puluh ribu ekor. Belum lagi keajaiban lainnya dari lebah, termasuk bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan sesamanya.

Lebah dipilih Allah Swt untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Lebah juga dipilih sebagai  pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya adalah manusia mu’min, yang menurut Rasulullah diumpamakan sebagai lebah : “Bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu.”

Dari segi lain, dalam sejumlah ayat yang mengantarkan uraian Alquran tentang peristiwa Isra Mi’raj ini adalah penegasan secara berulang tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: “Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS 16: 74); dan “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit” (QS 17:85), dan banyak lagi lainnya. Itulah sebahnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata dan hati semuanya kelak akan dimintai pertanggungjawaban” (QS 17:36).

Apa yang ditegaskan Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika Prancis, yang menyatakan: abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problema kehidupan dengak sajak dan puisi. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa tidak sepenuhnya tahu segalanya walaupun yang disebut materi sekalipun. “Sementara itu, teori Black Holesmenyatakan bahwa “pengetahuan manusia tentang alam hanya mencapai 3% saja, sedangkan 97% selebihnya diluar kemampuan manusia.”

Maka seandainya pengetahuan manusia hingga saat ini tidak mampu dan sampai pada pemahaman atas peristiwa Isra’ Miraj, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara ilmiah menjadi tidak ilmiah lagi. Itulah sebabnya mengapa seorang tokoh eksistensialisme, Kierkegaard, menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu.” Dan itu  pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya.” Dan itu pulalah sebabnya mengapa “oleh-oleh” yang dibawakan Rasul dari perjalanan Isra’ Mi’raj ini adalah kewajiban Salat, sebab salat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.

Salat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuan tetang tata kerja alam raya ini yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Salat juga menggambarkan tata intelegensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Maha Dahsyat dan Maha Mengetahui, Allah Swt.

Kita percaya kepada Isra’ Mi’raj karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di  bawah kekuasaan dan pengaturan Allah Yang Maha Esa. [Sutono, Penggiat Komunitas Islam Damai]

 

Sumber : disarikan dari buku “Membumikan Al-Quran” karya Dr M Quraish Shihab. (Mizan 1992)

 

IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *