Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 17 May 2022

Kajian – Identitas Arab itu Ilusi: Sebuah Tanggapan


islamindonesia.id – Identitas Arab itu Ilusi: Sebuah Tanggapan

Belum lama ini Penerbit Mizan menerbitkan sebuah buku yang berjudul Identitas Arab itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia! karangan Musa Kazhim Alhabsyi. Buku ini mendapatkan respon yang cukup meriah terutama karena belakangan wacana tentang habib menjadi sorotan secara nasional.

Adapun poin-poin penting yang dijabarkan di dalam buku, yang menarik untuk ditanggapi dan dikaji, di antaranya adalah sebagai berikut ini:

1. Secara logis, istilah “identitas” bermakna kesamaan/atau keberlekatan penuh secara substansial apa yang dianggap identitas dengan siapa yang dianggap mempunyai identitas tersebut, dan bukan sekadar tampilan yang bersifat aksidental.

2. Buku “Identitas Arab itu Ilusi” berbicara tentang hakikat identitas, yang substansial (wujudi), bukan yang aksidental dan dipaksakan berdasar kesepakatan manusia secara superfisial, termasuk kesamaan wilayah tinggal, atau kemiripan fisiologi/morfologi tubuh dan sebagainya. Karena jika itu dasarnya, orang Sunda bisa disebut Jawa karena tinggal di Pulau Jawa dan seterusnya, meski bahasa dan budayanya berbeda-beda. Orang Mauritania dan Arab bisa sama-sama disebut Arab, karena adanya kemiripan fisiologi tubuh, meski bahasa dan budayanya berbeda. Ya, mungkin aspek budaya inilah yang paling kuat untuk dirujuk sebagai referensi identitas yang dekat kepada makna identitas yang substansial-eksistensial tersebut.

3. Tapi, dalam kasus budaya Arab, ada hal yang lebih subtil yang perlu dicermati lebih jauh. Ya, dalam kasus identitas Arab, identitas budaya itu masih harus dipilah-pilah lagi ke dalam sub-subbudaya. Ada Arab ‘Arabiy, ada pula Arab A’raby. Dan faktor paling mendasar yang menentukan pengelompokan ini adalah kefasihan bahasa tutur yang dipakai. Yakni bahasa Arab fush-hah. Jadi tak ada identitas tunggal Arab, bahkan dalam kesamaan—setidaknya, sebagian aspek—budayanya.

4. Sudah tentu bisa saja, untuk keperluan praktis –yang bersikap netral nilai, yakni untuk klasifikasi, statistik, dan sebagainya—orang-orang yang berasal dari negeri Arab atau memiliki fisiologi Arab itu bisa dikelompokkan jadi satu bagian. Maka, harus dibedakan penggunaan istilah “identitas” oleh penulis dalam buku Identitas Arab itu Ilusi dalam maknanya yang hakiki-substansial dengan yang aksidental-superfisial.

5. Bahkan terkadang tak mudah juga untuk menggunakan klasifikasi identitas Arab ini. Sebagai ilustrasi, bahkan dalam sensus Amerika Serikat, orang yang secara gampang disebut dan menyebut diri beridentitas Arab mengalami kesulitan memilih etnisitas. Alasannya di sana secara administratif tidak ada pilihan etnik Arab. Mereka akhirnya terkadang memilih menjawab Asia Timur, Asia Barat,  Caucasian, atau Afrika Utara. Artinya, bisa jadi para pakar di balik pembuatan sensus sudah berkesimpulan bahwa Arab memang bukan etnisitas yang bisa didefinisikan dengan tegas dan baku.

6. Ilustrasi praktis yang lain adalah, Liga Arab yang terdiri dari 22 negara yang berbeda-beda wilayah dan budaya memutuskan bahwa bahasa Arab dan aspirasi Arab–yang tak lain adalah kemerdekaan dari penjajahan dan (setidaknya pada mulanya dulu) dan  perlawanan terhadap penjajahan Israel—sebagai unsur pemersatu mereka.

7. Bahkan kalau saja orang mau sedikit berselancar di internet dan mencari agak serius arti kata Arab itu sendiri dalam kamus-kamus bahasa Arab, pasti dia akan menemukan beragam definisi yang hampir semuanya bermuara pada bahasa, sementara unsur-unsur wilayah geografis, etnisitas, budaya, dan sebagainya hanyalah aksiden yang dapat berubah-ubah.

8. Nah, yang diwacanakan oleh buku ini adalah: tak ada identitas yang sifatnya given (yang alami/tak bisa diubah), apalagi yang datang dari Allah, yang benar-benar bisa dimaknai sebagai identitas Arab secara hakiki dan substansial. Maka, adalah ilusi jika apa yang disebut sebagai “identitas Arab” kemudian dikaitkan dengan upaya pengunggulannya—baik secara ras maupun terkait dengan nilai keislaman—di atas identitas-identitas lain.

Demikianlah kira-kira tesis buku ini. Yang pasti, sebagaimana secara eksplisit dinyatakan di dalam buku ini, tesis dan isi buku ini secara keseluruhan bukanlah untuk menyuburkan sikap anti-Arab, melainkan untuk mengingatkan orang-orang yang memiliki kecenderungan Arabphobia agar tak melakukan generalisasi yang rancu dan menyesatkan.[]

PH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *