Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 09 April 2020

Kajian – Hadis Sahih Amalan-Amalan Malam Nisfu Syaban yang Disahihkan oleh Albani dan Para Ulama


islamindonesia.id – Hadis Sahih Amalan-Amalan Malam Nisfu Syaban yang Disahihkan oleh Albani dan Para Ulama

Catatan Redaksi: Artikel di bawah ini adalah artikel yang telah dipublikasikan oleh AhlusSunah Wal Jamaah Research Group – ARG, Johor, Malaysia beberapa tahun silam. Sejatinya artikel tersebut dibuat oleh Ma’ruf Khozin, Ustadz muda Nahdlatul Ulama, Alumni pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri.

Demi kepentingan penyajian, redaksi telah melakukan editing minor, meringkas, dan hanya menampilkan terjemahan bahasa Indonesianya saja. Selamat menyimak.

Hadith Sahih Amalan-Amalan Malam Nisfu Sya’ban Yang Disahihkan Oleh Albani dan Para Ulama ASWJ

Dalam artikel ini AhlusSunah Wal Jamaah Research Group (ARG) tentang nisfu sya’ban, antara keutamaan Sya’ban adalah karena di dalamnya ada malam Nishfu Sya’ban. Ramai di kalangan umat Islam yang di malam tersebut melakukan amalan tertentu, misalnya dzikir, membaca Alquran dan sebagainya yang intinya adalah meminta ampunan kepada Allah.

Amaliyah ini memang tidak dilakukan di awal generasi sahabat, namun Rasulullah dalam sabda-sabdanya yang termasuk dalam kategori sahih telah memberi isyarat akan kemuliaan malam tersebut. Dan jika sesebuah amaliyah memiliki dasar dalam Islam, maka amaliyah tersebut tidak termasuk bid’ah tercela, lebih-lebih lagi telah diamalkan sejak generasi Tabi’in dan ulama Salaf.

Dalil-Dalil Hadis Nishfu Sya’ban

Hadis Pertama:

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyahin (orang munafik yang menebar kebencian antara sesama umat Islam)”. (HR Thabrani fi Al Kabir no 16639, Daraquthni fi Al Nuzul 68, Ibnu Majah no 1380, Ibnu Hibban no 5757, Ibnu Abi Syaibah no 150, Al Baihaqi fi Syuab al Iman no 6352, dan Al Bazzar fi Al Musnad 2389. Peneliti hadis Al Haitsami menilai para perawi hadis ini sebagai orang-orang yang terpercaya. MajmaAl Zawaid 3/395)

Ulama Wahabi, Nashiruddin al-Albani yang biasanya menilai lemah (dlaif) atau palsu (maudlu) terhadap amaliyah yang tidak sesuai dengan ajaran mereka, kali ini dia tidak mampu menilai dhaif hadis tentang Nishfu Sya’ban, bahkan ia berkata tentang riwayat diatas: “Hadis ini sahih” (Baca as-Silsilat ash-Shahihah 4/86)

Hadis Kedua:

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya (rahmat) Allah mendekati kepada hambanya (di malam Nishfu Sya’ban), maka mengampuni orang yang meminta ampunan, kecuali pelacur dan penarik pajak” (HR al-Thabrani dalam al-Kabir dan Ibnu ‘Adi dari Utsman bin Abi al-’Ash. Syaikh al-Munawi berkata: Perawinya terpercaya. Baca Syarah al-Jamiash-Shaghir 1/551)

Hadis Ketiga:

Rasulullah Saw bersabda, “(Rahmat) Allah turun di malam Nishfu Sya’ban maka Allah akan mengampuni semua orang kecuali orang yang di dalam hatinya ada kebencian kepada saudaranya dan orang yang menyekutukan Allah.” (al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadis ini hasan. Diriwayatkan oleh Daraquthni dalam as-Sunah dan Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid, Baca al-Amali 122)

Hadis-Hadis Sahih/Hasan Malam Nishfu SyaBan

Tidak mungkin bagi sebahagian sahabat dan Tabiin yang mengetahui keutamaan malam Nishfu Sya’ban tanpa didasari hadis-hadis sahih dari Rasulullah Saw tentang keutamaan Nishfu Sya’ban, apatah lagi jika Wahabi membesar-besarkan amalan ini dari Israiliyat. Ini terbukti dengan banyaknya riwayat hadis sahih tentang malam tersebut, bahkan yang menilai sahih/hasan justru datang dari ulama Wahabi, Albani:

“(Hadis) Jika ada malam pertengahan dari bulan Sya’ban, maka Allah memperhatikan makhluk-Nya dengan penuh rahmat. Allah akan mengampuni orang yang beriman, menangguhkan orang kafir dan meninggalkan orang yang iri dengan sifat iri hatinya hingga mereka meninggalkannya”. As-Suyuthi berkata: “HR al-Baihaqi dari Abu Tsa’labah al-Khusyani”. TAHQIQ AL-ALBANI “HASAN”.

“(Hadis) Sesungguhnya Allah memperhatikan makhluk-Nya dengan penuh rahmat di malam Nishfu Sya’ban. Maka Allah akan mengampuni semua hamba-Nya, kecuali orang musyrik dan yang memiliki kebencian (permusuhan)”. As-Suyuthi berkata: “HR Ibnu Majah dari Abu Musa”. TAHQIQ AL-ALBANI “HASAN”.

“(Hadis) Sesungguhnya Allah memperhatikan hamba-hamba-Nya dengan penuh rahmat di malam Nishfu Sya’ban. Allah akan mengampuni orang yang beriman, menangguhkan orang kafir dan meninggalkan orang yang iri dengan sifat iri hatinya hingga mereka meninggalkannya”. As-Suyuthi berkata: “HR al-Thabrani dari Abu Tsa’labah al-Khusyani”. TAHQIQ AL-ALBANI “HASAN”.

“(Hadis) Pada malam pertengahan dari bulan Sya’ban, Allah akan mengampuni penduduk bumi, kecuali orang musyrik dan orang yang memiliki kebencian (permusuhan)”. As-Suyuthi berkata: “HR al-Baihaqi dari Abu Katsir bin Murrah al-Hadlrami, secara mursal”. TAHQIQ AL-ALBANI “HASAN”.

Sahabat Nabi telah Mengenal Keagungan Nishfu Syaban

Beberapa ulama, misalnya al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan bahwa amaliyah Malam Nishfu Sya’ban pertama kali dilakukan oleh kalangan Tabiin di Syam, seperti Luqman bin Amir, Makhul dan sebagainya (Lathaif al-Ma’arif). Namun sebenarnya kalangan sahabat sudah mengetahui keagungan malam Nishfu Sya’ban, sebagaimana riwayat berikut:

Al-Waqidi berkata:

Di dalam pasukan ini bersama Abdullah bin Ja’far (bin Abdul Mutallib) ada Watsilah bin Asqa’. Kedatangan mereka ke Syam, yakni Damaskus ke daerah Abi Quds, adalah di malam Nishfu Sya’ban. Rembulan makin bersinar.

Watsilah berkata, “Aku berada di dekat Abdullah bin Ja’far. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai putra Asqa’, betapa indahnya dan bersinarnya rembulan malam ini.’

Aku berkata, ‘Wahai sepupu Rasulullah Saw. Ini adalah malam Nishfu Sya’ban, malam yang diberkahi nan agung. Di malam inilah rezeki dan ajal akan dicatat. Di malam ini pula dosa dan keburukan akan diampuni. Aku ingin beribadah di malam ini.’

Aku berkata, ‘Perjalanan kita di jalan Allah (perang) lebih baik dari pada beribadah di malamnya. Allah maha agung pemberiannya.’

Abdullah bin Ja’far berkata, ‘Engkau benar.’ (al-Waqidi dalam Futuh asy-Syam 1/74)

Secara jelas dalam riwayat ini para sahabat sudah mempunyai rencana untuk melakukan amaliyah di malam Nishfu Sya’ban. Namun karena para sahabat harus berperang untuk penaklukan negeri Syam, maka mereka mendahulukan Jihad.

Kendati para sahabat belum melakukannya, namun melakukan amaliyah ini bukan kategori bid’ah. Sama seperti sunah azm (rencana kuat) dari Rasulullah untuk berpuasa pada hari Tasua’ (9 Muharram), namun Nabi Saw wafat terlebih dahulu: “Sungguh jika aku masih hidup sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR Muslim)

Apakah hanya dua sahabat saja? Ternyata yang bergabung dalam pasukan tersebut terdiri dari beberapa sahabat besar:

“Pasukan berkuda terdiri dari 500 orang, di antaranya adalah para sahabat yang mengikuti perang Badar. Di antara yang menyertai perjalanan Abdullah bin Ja’far adalah Abu Dzar al-Ghifari, Abdullah bin Abi Aufa, Amir bin Rabiah, Abdullah bin Anis, Abdullah bin Tsa’labah, Uqbah bin Abdillah as-Sulami, Watsilah bin Asqa’, Sahal bin Sa’d, Abdullah bin Bisyr, dan Saib bin Yazid.” (Futuh asy-Syam 1/72)

Amaliah Penduduk Makkah di Malam Nishfu Syaban

Penduduk Makkah menyambut malam Nishfu Sya’ban. Al-Fakihani berkata:

“(Bab tentang amaliah penduduk Makkah di malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka di malam tersebut karena keutamaannya). Penduduk Makkah, dari dulu hingga sekarang, jika bertemu dengan malam Nishfu Sya’ban maka kebanyakan orang laki-laki dan perempuan mendatangi Masjidil Haram, mereka salat, tawaf, beribadah di malam harinya hingga pagi dengan membaca Alquran di Masjidil Haram, hingga mengkhatamkan Alquran keseluruhannya dan melanjutkan.

“Orang-orang di antara mereka yang melakukan salat di malam tersebut 100 rakaat, diawali dengan Hamdalah setiap rakaatnya, al-Ikhlas 100 kali, mereka juga mengambil air zamzam lalu meminumnya, menyiramkannya, dan diberikan kepada orang sakit dari mereka, adalah karena mengharap berkah di malam tersebut. Telah diriwayatkan beberapa hadis yang banyak tentang malam Nishfu Sya’ban.” (Syaikh al-Fakihani, Akhbar Makkah 5/23)

(Catatan) Ulama Syafiiyah menegaskan bahwa salat 100 rakaat di malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang buruk, hadisnya adalah hadis palsu (Ianat ath-Thalibin)

Nishfu Syaban Menurut Para Ulama

Sahabat Abdullah bin Umar RA:

Ibnu Umar berkata, “Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak. Yaitu doa malam Jumat, malam pertama bulan Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, dan malam dua hari raya.” (al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman No 3811 dan dalam Fadlail al-Auqat No 149, dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No 7928)

Imam asy-Syafi’I (150-204 H / 767-820 M):

Ahli hadis al-Baihaqi mengutip dari Imam Syafi’i, “Telah sampai kepada kami bahwa doa dikabulkan dalam lima malam, yaitu awal malam bulan Rajab, malam Nishfu Sya’ban, dua malam hari raya dan malam Jumat” (as-Sunan al-Kubra No 6087, Marifat as-Sunan wa al-Atsar No 1958, dan dikutip oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Talkhis al-Habir No 675)

Ulama Syafi’iyah:

Asy-Syafii berkata, “Aku menganjurkan semua yang diriwayatkan tentang ibadah di malam-malam tersebut (termasuk malam Nishfu Sya’ban), tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib. Asy-Syafii dan ulama Syafi’iyah menganjurkan ibadah dengan cara yang telah disebutkan.” (Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 5/43)

Ahli Hadis al-Hafidz al-Iraqi (725-806 H / 1325-1404 M):

Zainuddin al-Iraqi berkata, “Keistimewaan malam Nishfu Sya’ban di mana setiap malam (rahmat) Allah turun ke langit terendah, adalah karena memiliki karakteristik tersendiri yang tidak ada dalam setiap malam, yaitu ‘Allah akan memberi ampunan’.

“Juga karena di setiap malam ditentukan waktunya setelah lewat tengah malam atau sepertiga akhir, sementara dalam Nishfu Sya’ban dimulai setelah terbenam matahari.” (Faidl al-Qadir, Syaikh al-Munawi, 2/402)

Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami (909-973 H / 1504-1567 M):

“Kesimpulannya, bahwa Malam Nishfu Sya’ban ini memiliki keutamaan. Di dalamnya terdapat ampunan khusus dan terkabulnya doa secara khusus. Oleh karenanya as-Syafi’i berkata: Doa dikabulkan di Malam Nishfu Sya’ban.”  (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 2/80)

Syaikh Ibnu Taimiyah (728-661 H/1328-1263):

“Keutamaan malam Nishfu Sya’ban diriwayatkan dari hadis-hadis marfu’ dan atsar (amaliyah sahabat dan tabi’in), yang menunjukkan bahwa malam tersebut memang utama. Dan sebagian ulama Salaf ada yang secara khusus melakukan salat sunah (mutlak) di malam tersebut …

“Kebanyakan ulama atau kebanyakan ulama dari kalangan kami mengatakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Ini sesuai dengan penjelasan Imam Ahmad karena banyaknya hadis yang menjelaskan tentang malam Nishfu Sya’ban dan yang mendukungnya dari riwayat ulama Salaf.

“Sebab riwayat Malam Nishfu Sya’ban terdapat dalam kitab-kitab Musnad dan Sunan, meskipun di dalamnya juga ada sebagian hadis-hadis palsu.” (Iqtidlaash-Shirat al-Mustaqim 302)

Ibnu Taimiyah ditanya soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Dia menjawab, “Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama salaf, maka hukumnya adalah baik.

“Adapun kumpul-kumpul di masjid dengan shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.” (Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah, II/469)

Syaikh al-Mubarakfuri (1361-1427 H / 1942-2006 M):

“Hadis-hadis ini secara keseluruhan menunjukkan keagungan Malam Nishfu Sya’ban, dan malam tersebut tidak sama dengan malam-malam yang lain. Dan dianjurkan untuk tidak melupakannya, bahkan dianjurkan untuk menghidupinya dengan ibadah, doa, dzikir dan tafakkur.” (Syaikh al-Mubarakfuri dalam Syarah Misykat al-Mashabih 4/341)

Berdasarkan hadis-hadis sahih diatas dan ijtihad para ulama hadis dan fikih menunjukkan bahwa amaliyah di malam Nishfu Sya’ban memiliki dasar yang kuat dan bukan perbuatan bid’ah yang sesat, karena telah diamalkan sejak generasi ulama salaf.

Jika Tarawih di Madinah 39 rakaat yang baru dirintis di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah tidak ada yang menghukumi bid’ah bahkan menjadi acuan sah ijtihad ulama Malikiyah, lalu bagaimana boleh amaliyah malam Nishfu Sya’ban dituduh bid’ah yang sesat? Wallahu Alam.

PH/IslamIndonesia/Foto ilustrasi: Tribun Palembang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *