Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 18 October 2016

KAJIAN – Benarkah Pungli Memiliki Derajat Kehalalan?


islamindonesia.id – KAJIAN  – Benarkah Pungli Memiliki Derajat Kehalalan?

Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Martinus Sitompul, sejak 17 Juli sampai 17 Oktober 2016 ada 235 kasus yang ditangani kepolisian terkait dengan pungli yang dilakukan personel Polri. Dari 235 kasus pungli, paling banyak terjadi di unit lalu lintas dengan 160 kasus. Sementara di unit Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam) dengank 39 kasus, unit reserse kriminal dengan 26 kasus dan unit intelijen dengan 10 kasus.

Akhirnya, fenomena pungutan liar (pungli) di instansi-instansi pemerintah pun muncul ke publik setelah penangkapan demi penangkapan. Sebelumnya, Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya menangkap enam orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) terkait dengan dugaan pungutan liar di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Selasa 11 Oktober 2016. Keenam orang terdiri atas satu pengusaha, dua PNS golongan II-D, dan tiga pegawai honorer Kemenhub.

Tumbuhnya budaya pungutan liar di lingkungan birokrasi menurut Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Denny Indrayana karena pungli sudah mulai ditoleransi. Sedemikian sehingga ada pendapat pungli mempunyai derajat kehalalan.

“Pandangan demikian tentu tidak dapat dibenarkan,” katanya

Hingga saat ini, salah satu tantangan utama birokrasi adalah pelayanan publik yang terus membaik. Di era yang makin demokratis, sikap kritis publik adalah keniscayaan. Maka melakukan pelayanan yang biasa saja, tidak akan pernah cukup. Perbaikan terus-menerus pada pelayanan publik bukanlah pilihan, melainkan merupakan suatu keniscayaan.

“Setiap unit yang melakukan harus berpegang teguh pada empat syarat pelayanan publik: cepat, nyaman, aman, dan bersih,” katanya di kolom Harian Sindo beberapa waktu lalu

Bersih dalam arti pelayanan publik harus bebas dari praktik pungutan liar (pungli). Pungli pasti merusak sistem pelayanan. Apa pun alasannya, pungli tidak dapat dibenarkan. Secara hukum, pungli adalah korupsi. Walaupun kalau dilihat dari segi jumlah, nilainya pastilah kecil.

“Tetapi pungli tetaplah salah satu bentuk korupsi, yang tidak jarang dikategorikan terjadi karena keterdesakan kebutuhan (corruption by need).”

Secara konsep, pungli sering diperlawankan dengan korupsi dalam jumlah besar, yang terjadi karena keserakahan (corruption by greed). Tetapi apa pun kategorisasinya, pungli tetaplah korupsi. Dan, korupsi dalam bentuk apa pun tidak boleh ditoleransi.

“Tidak ada derajat kehalalan pungli. Sebagaimana tidak ada toleransi untuk korupsi. Tidak benar bahwa jika remunerasi 100%, baru pungli menjadi haram,” kata Indrayana.

Menyadari bahwa praktik pungli sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pelayanan publik pemerintah, maka tidak ada pilihan lain keharaman pungli harus terus digaungkan, dengan nyaring.

Dalam setiap forum soal pungli atau korupsi, jebolan Universitas Melbourne ini juga kerap menyinggung  film Kita Vs Korupsi. Dalam bagian film yang dibintangi Tora Sudiro tersebut, dikisahkan bagaimana di tengah himpitan kesulitan ekonomi, bahkan saat bayinya sakit, integritas moral tokoh yang diperankan Tora itu tak jadi tergadaikan.

“Dia tetap menolak menerima tumpukan uang suap yang disodorkan seorang pengusaha, yang memaksa meminjam gudang untuk menumpuk beras jualannya. Setiap menonton kembali film itu, saya terus tercenung, terus mencuci niat untuk menjaga integritas. Terutama pada bagian Tora memeluk dan menciumi bayinya, dalam dekapan erat kebapakannya, sesaat setelah dia menolak menerima sogokan tumpukan uang yang telah ada di depan matanya.”

Sambil menolak sogokan tersebut, Tora berkata, “Saya mungkin bodoh, saya mungkin salah, tetapi kebodohan dan kesalahan ini, tidak akan pernah saya sesali sampai mati.”

Tora pasti telah menyelamatkan seluruh keluarganya dengan menegaskan suap, pungli, korupsi, atau apapun namanya tidak ada toleransi kehalalannya.

“Apa pun risikonya, pastilah tidak mudah. Karena godaan tentu selalu datang dalam bentuk berbagai wajah.”

Dalam bentuk anak yang sedang sakit, dalam bentuk kebutuhan biaya sekolah, atau dalam bentuk apa pun, tetap tidak menyebabkan pungli menjadi halal.

“Maka saya pun tercenung, ketika penertiban yang kami lakukan di kementerian mendapat respons: ‘Jika penertiban pungli terus dilakukan, lalu bagaimana kami bisa menyekolahkan anak kami.’ Sedemikian parahnyakah pungli telah merasuk ke tulang sanubari kita?” katanya merujuk ketika ia memegang jabatan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

“Sehingga untuk membiayai putra-putri kita memperoleh pendidikan, kita merasa pungli adalah solusinya? Bagaimana bisa kita menjadi sedemikian toleran?”

Untuk makan, untuk pendidikan, dan untuk apa pun, pungli bukanlah solusi. Pungli tetaplah pungli. Pungli tetaplah korupsi. Apa pun alasan pembenarnya. Dengan alasan, sebagai biaya pendidikan sekalipun, pungli tidak menjadi halal. Justru untuk tujuan semulia pendidikan anak-cucu kita, mempertahankan integritas antipungli adalah keniscayaan, adalah keharusan.

“Sewajibnya kita berpandangan, biaya pendidikan anak-anak kita, adalah bersumber dari rezeki yang halal, yang tentunya pastilah bukan pungli.”

Pada ujungnya, setiap sistem membutuhkan SDM yang bermoral dan berintegritas antikorupsi, antisogokan, antipungli. Karena tidak ada sistem kerja apa pun yang sempurna. Sebagaimana memang tidak ada pula manusia yang sempurna.

“Maka di tengah ketiadaan kesempurnaan itu, setiap kita hanya harus terus mengingat, bahwa pungli sama sekali tidak mempunyai derajat kehalalan, tidak sedikit pun.”

 

YS / Islam Indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *