Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 15 October 2016

KAJIAN — Bagaimana Seharusnya Meminta dan Memberi Maaf soal Kasus Al Maidah 51 ?


IslamIndonesia.id — Bagaimana Seharusnya Meminta dan Memberi Maaf soal Kasus Almaidah 51 ?

 

Keluarnya rekomendasi resmi MUI menyikapi pernyataan kontroversial Ahok terkait Al-Maidah 51 dan tuntutan sebagian kalangan kepada pihak kepolisian agar proses hukum menyangkut dugaan tidak pidana penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta tersebut tetap berlanjut, seolah menafikan permintaan maaf yang telah disampaikan Ahok beberapa waktu lalu.

Tak pelak, kondisi ini kembali memancing polemik di tengah masyarakat. Kalangan awam merasa bingung menyaksikan adu argumentasi dan silang penafsiran yang mengemuka di antara para ulama, menyangkut persoalan bagaimana sebenarnya pandangan Islam perihal meminta dan memberi maaf tersebut.

[Baca: Kang Said: Ahok Salah dan Sudah Minta Maaf, Sebaiknya Ya Kita Maafkan]

Jika Ahok dinilai salah dan sudah meminta maaf, apakah masih layak pihak yang melaporkannya tetap menuntut agar proses hukum terus berlanjut bahkan tetap mendesak pihak kepolisian menetapkan Ahok sebagai tersangka? Apakah menurut pandangan Islam, pemberian maaf hanya layak diperuntukkan bagi sesama Muslim, sementara untuk non-Muslim terdapat aturan, syarat dan kriteria serta konsekuensi yang berbeda?

Itulah di antara pertanyaan masyarakat awam di akar rumput, menyoal kejelasan pandangan Islam terhadap permintaan dan pemberian maaf.

Mungkin pertanyaan semacam itu tak perlu terus mengemuka, seandainya semua pihak menyadari bahwa para ulama akhlak sejatinya sudah mengajarkan bahwa salah satu cara terbaik untuk menolak kejahatan dan menghentikan kebiasaan seseorang berbuat jahat adalah dengan memberi maaf kepada orang tersebut, jika yang bersangkutan sudah bertobat dan meminta maaf.

Karena dalam pandangan Islam, meminta maaf adalah perbuatan terpuji, sebagaimana memberi maaf pun merupakan ajaran Islam yang sangat mulia.

Memberi maaf termasuk kebaikan hati yang dapat menghindarkan diri dari permusuhan dan dendam yang tak mudah dipadamkan.

Itulah hakikat pemberian maaf yang sesungguhnya, yang menggugurkan hak dari pihak yang benar untuk membalas dendam atau melawan karena kemurahan hati yang bersangkutan. Meskipun sesungguhnya ia dapat melampiaskan dendam dan permusuhannya tersebut kepada pihak yang sudah berbuat jahat dan mengaku salah kepadanya.

Begitulah sikap mulia si pemaaf yang dengan sadar dan ikhlas tidak mengambil haknya untuk menyakiti, mencaci-maki, memusuhi orang yang telah menzaliminya, meskipun ia sanggup melakukannya. Karena memang Islam juga tidak melarang, jika kejahatan dibalas dengan kejahatan serupa.

Namun sikap murah hati semacam itulah yang dijanjikan oleh Allah SWT pahala kebaikan berlimpah, baik di dunia maupun di akhirat.

Hal ini sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya (menjadi tanggungan) Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syura:40)

Tak dapat dipungkiri, melupakan sekaligus memaafkan kesalahan orang lain yang telah menyakiti kita, memang termasuk perbuatan yang sangat berat. Maka sering kita dengar ungkapan, “Aku telah memaafkanmu,” padahal dalam hati kadang masih terbersit, “Tapi aku tak dapat melupakan begitu saja semua kesalahanmu.” Apalagi bila luka yang mereka ukir di sanubari kita begitu mendalam.

Artinya, meski sepintas tindakan memberi maaf atau memaafkan itu mudah diucapkan, tapi tidak semua orang mampu benar-benar melakukannya dengan ikhlas sepenuh hati.

Mungkin itulah sebabnya Allah SWT dan Rasul-Nya menekankan kepada kita selaku Muslim yang baik, agar senantiasa berupaya dengan sungguh-sungguh untuk memaafkan orang lain yang telah berbuat salah, meski kita mampu membalas perbuatannya. Terlebih pada saat dia sudah meminta maaf kepada kita. Apalagi jika kita paham bahwa Allah pun telah menjanjikan pahala besar untuk itu, dan menyatakan sebagai tanggungan-Nya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak yang benar ataukah di pihak yang salah. Jika dia tidak melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya dia tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat kelak).” (HR Al-Hakim)

Dalam riwayat lain, beliau SAW bersabda kepada Uqbah. “Ya Uqbah, maukah engkau kuberitahukan tentang akhlak penghuni dunia-akhirat yang paling utama?” “Apa itu, Ya Rasulullah?” tanya Uqbah. “Yaitu engkau menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang yang menahan pemberiannya  kepadamu, memaafkan orang-orang yang pernah menganiayamu.” (HR Al-Hakim dari Uqbah bin Amir Al-Juhani)

Lalu bagaimana jika orang yang berbuat salah kepada kita belum mau bertobat dan meminta maaf?

Lagi-lagi ulama akhlak mengajarkan kepada kita untuk terus mendoakannya, agar suatu saat yang bersangkutan menyadari akan kesalahan yang dia lakukan dan bertobat atasnya.

Kenapa demikian?

Karena jika kita tidak mau memaafkannya, bukankah sama artinya kita membiarkannya menanggung dosa dan berjalan menuju ke neraka? Lalu bagaimana halnya dengan diri kita sendiri yang selama hidup mustahil tak pernah berbuat salah kepada orang lain, dan orang lain tersebut ternyata tak sudi memaafkan kesalahan kita? Tidakkah kita khawatir, betapa buruknya kelak nasib kita di hadapan Allah SWT?

Karena itulah kita patut berdoa, semoga kita senantiasa Allah karuniai belas-kasih dan kelapangan dada, agar kita mampu memaafkan dengan tulus setiap kesalahan orang lain terhadap diri kita, betapapun tidak mudahnya hal itu dilakukan.

Dengan itu kita berharap mudah-mudahan Allah pun akan berkenan mengampuni segala dosa-dosa dan kekhilafan kita, kepada sesama sekaligus juga kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nur:22)

Orang bijak mengatakan, “Dengan memaafkan, dengan melepaskan amarah, seseorang dapat mencapai hidup bahagia. Dalam hidupnya dia akan dikarunia Tuhan kedalaman pemahaman dan kebijaksanaan serta belas kasih yang luar biasa.”

Senada, para ulama kita pun menyatakan bahwa memaafkan adalah sebentuk laku kebajikan sehingga kita layak dikategorikan sebagai Muhsinin.

Hal ini seperti diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *