Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 18 January 2018

KAJIAN – Agama Cinta (Bagian – 2)


islamindonesia.id – KAJIAN – Agama Cinta (Bagian – 2)

 

Dalam salah satu hadis Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah satu diantara kalian mati, kecuali berprasangka baik terhadap Allah.” (HR. Muslim)

 

Jangankan pada apa yang memang tampil sebagai kenikmatan, musibah dan kesulitan pun tak lain adalah, sapaan cinta-Nya. Siksa dan neraka? Bahkan siksa neraka sesungguhnya adalah manifestasi kasih-sayang-Nya yang “meliputi segala sesuatu itu”. Memang, semuanya itu adalah sarana penyucian dosa manusia, agar pada akhirnya semua manusia memiliki syarat untuk kembali menyatu dengan-Nya. Yakni setelah ‘adzab menjadi ‘adzib (rasa manis yang menyegarkan). Pun bukan tak ada ulama yang yakin bahwa siksa neraka sesungguhnya tak kekal abadi. Semuanya di dasarkan kepada pemahaman mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an sendiri. Buktinya, bukan cuma sufi heterodoks seperti ibn ‘Arabi yang punya keyakinan demikian, bahkan tak kurang dari Ibn Taymiyah dan Ibnul Qayim (muridnya), punya keyakinan yang sama.[7]

Memang Islam bukannya tak memiliki aspek “keras”. Namun, aspek ini selalu dibawahkan kepada aspek kasih-sayang ini. Dalam sebuah hadis terkenal disabdakan bahwa, di antara orang-orang yang akan diberi naungan oleh Allah ketika naungan tak ada lagi, adalah “orang-orang yang mencinta karna Allah dan membenci karena Allah.” Ajaran yang sama juga terkandung dalam hadis Imam Ja’far yang dikutip di atas. Tapi, jika kita pertimbangkan bahwa rahmat-Nya meliputi segala, dan kasih-sayang-Nya menaklukkan murka-Nya, maka mudah dipahami bahwa bahkan kebencian itu merupakan perpanjangan dari kasih sayang. Seperti terkandung dalam perkataan Nabi Ibrahim yang disitir al-Qur’an, kebencian dan permusuhan diarahkan kepada sifat/perbuatan buruk orang, bukan kepada orang/pelakunya sendiri (QS al-Mumtahanah (60): 4). Kenyataannya, setiap muslim punya kewajiban berdakwah, mengajak orang kepada Tuhan, kepada kebaikan. Mungkinkah seseorang mau mengajak orang kepada Tuhan dan kebaikan jika dia membenci – dalam makna menginginkan keburukan atas – orang tersebut?

Akhirnya, tak sulit bagi pembaca yang teliti untuk memahami ajaran al-Qur’an bahwa perang/kekerasan dalam Islam hanya sah (legitimate) jika ada agresi, atau penindasan sementara jalan untuk menyelesaikannya secara damai sudah sama sekali tertutup. Begitu pun, perang dan kekerasan segera kehilangan legitimasinya begitu musuh – oleh sebab keadaan terdesak atau sebab lain – bersedia melakukan perundingan dan penyelesaian damai.[8]

Ya, dalam segala kesibukannya dengan aspek hukum bahkan politik, sejatinya alpha-omeganya Islam adalah cinta dan kasih sayang. Dan hal ini telah terangkum dalam sebuah hadis qudsi tentang asal-muasal primordial penciptaan alam-semesta, yang di dalamnya Allah, Sang Pencipta sendiri berfirman: “Dulu aku (cuma sendiri sebagai) khazanah tersembunyi. Aku  rindu (ahbabtu, aku cinta) dikenali. Maka kuciptakan ciptaan agar aku dikenal...”. Ya, alam tercipta karena kerinduan dan cinta. Maka cinta pun ada di mana-mana – dalam benda-benda angkasa di antariksa tinggi, dalam diri manusia hingga hewan bersel satu, maupun dalam batu-batuan di pelosok bumi – kapan saja, setiap detik sejak azali hingga keabadian – menjadi ikatan yang tak pernah melemah di antara semua unsur penciptaan: Antara tuhan dan alam, antara Tuhan dan manusia, antara manusia dan manusia, dan antara manusia dan unsur-unsur alam selebihnya.

Nah, entah karena kesalahpahaman kaum Muslim sendiri, atau pun karena penyalah-pahaman oleh pihak-pihak lain, paradigma pemahaman Islam sebagai agama kasih-sayang ini seperti tenggelam di bawah hiruk-pikuk konflik, peperangan dan kekerasan yang seolah terjadi di mana-mana di dunia Islam. Yang lebih parah, kesemuanya ini ditempatkan di bawah tajuk “jihad”, yang dipahami sebagai perang sabil. Padahal kekeliruan pemahaman terhadap gagasan jihad ini sudah sedapat mungkin coba diluruskan, bahwa jihad memiliki makna yang jauh lebih luas ketimbang sekadar perang (qital). Dan bahwa jihad perang (disebut sebagai “jihad kecil” oleh Nabi) tak boleh dilandasi nafsu dan kebencian. Ia hanya dibolehkan bagi orang yang sudah berhasil dalam “jihad agung (jihad akbar)”, berupa perang melawan hawa nafsu/egoisme. Agar dengan demikian perang pun dilandasi cinta: cinta kepada Tuhan, cinta kepada kebenaran, dan cinta kepada kemanusiaan.

Sebagai penutup tulisan ini, ada sebuah kisah yang cukup menjelaskan bagaimana sebuah perang merupakan manifestasi cinta itu sendiri.

Suatu hari ketika Ali bin Abi Thalib sedang berada di medan pertempuran, pedang musuhnya patah dan pemiliknya terjatuh dari kuda. Ali lalu leluasa berdiri di atas musuhnya itu. dia meletakkan pedangnya ke dada lawannya, lalu berkata, “Jika pedangmu berada di tanganmu, aku akan lanjutkan pertempuran ini, tapi karena pedangmu patah, aku tidak boleh lagi menyerangmu.”

“Kalau aku punya pedang saat ini, aku akan memutuskan tangan dan kakimu,” kata lawan yang sudah tidak berdaya itu.

“Baiklah kalau begitu,” kata Ali. Seketika itu dia menyerahkan pedangnya ke tangan lawannya.

“Apa yang kau lakukan?” Musuh itu kebingungan. “Bukankah aku ini musuhmu?”.

Ali menatapnya dalam-dalam. “Kau telah bersumpah bila memiliki sebuah pedang di tanganmu, engkau akan membunuhku. Sekarang engkau telah memiliki pedangku, karena itu majulah dan seranglah aku.” Tapi, sang lawan sama sekali tak kuasa.

“Itulah kebodohanmu dan kesombonganmu dalam berkata-kata,” kata Ali kemudian. “Di dalam agama Allah, tidak ada perkelahian atau permusuhan antra kau dan aku. Kita bersaudara. Perang yang sebenarnya adalah antara kebenaran dan kurangnya kebijakanmu. Yaitu, antara kebenaran dan kedustaan. Kau dan aku sedang menyaksikan pertempuran itu. Kau adalah saudaraku. Jika aku menyakitimu dalam keadaan seperti ini, aku harus mempertanggungjawabkannya pada Hari Kiamat. Allah akan mempertanyakan hal ini padaku.”

“Inikah cara Islam?” lawan yang terperangah itu tergerak bertanya.

“Ya,” jawab Ali. “ini adalah firman Allah yang Mahakuasa, dan Sangat Unik.”

Lawan itu tersungkur di kaki Ali dan memohon, “Ajarkan aku Syahadat”.[9] []

 

Selesai …

 

Catatan : Tulisan ini merupakan adaptasi dari buku Haidar Bagir berjudul “Islam Tuhan, Islam Manusia”, Bab XXIV “Mempromosikan Islam Cinta”, Mizan, Bandung, 2017, Hal. 231-243. Adapun hal-hal lain yang tidak terdapat di artikel tersebut, kami tuliskan di catatan kaki.

 

Referensi: 

[1] Lihat, Musa Kazhim & Alfian Hamzah, “Menyerap Energi Ketuhanan; Syarah Doa Nabi Khidir a.s. untuk Kejayaan Dunia dan Akhirat”, Jakarta, Penerbit Hikmah, 2009, Hal. 14

[2] Ibid

[3] Lihat, Haidar Bagir, Islam (juga) Agama Cinta, sebuah kata Pengantar Penerbit untuk buku John D. Caputo, “Agama Cinta, Agama Masa Depan”, Bandung, Mizan, 2013, Hal. xi

[4] Ibid

[5] Haidar Bagir, “Islam Tuhan, Islam Manusia”, Bab XXIV “Mempromosikan Islam Cinta”, Mizan, Bandung, 2017, Hal. 232

[6] Ibid, Bab XXV “Cinta sebagai Asas Agama”, Hal. 239

[7] Untuk pembahasan lebih jauh; Lihat, Haidar Bagir, Semesta Cinta, Pengantar kepada pemikiran Ibn ‘Arabi, bab “Surga dan Neraka”, Mizan,Bandung, 2017).

[8] Lihat Appendiks buku Haidar Bagir: Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Mizan, Bandung, 2015.

[9] Kisah ini dikutip dari buku, Musa Kazhim, “Nabi Isa pun Tak Mampu Sembuhkan; Memetik Hikmah Ayat-Ayat Semesta”, Bandung, Penerbit Noura, 2016, Hal. 79-80

 

AL/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *