Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 17 January 2018

KAJIAN – Agama Cinta (Bagian -1)


islamindonesia.id – KAJIAN – Agama Cinta (Bagian -1)

 

Dalam salah satu hadis Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah satu di antara kalian mati, kecuali berprasangka baik terhadap Allah.” (HR. Muslim)

Sebagai mahluk, adalah mustahil bagi kita mengetahui Sang Khaliq yang menciptakan kita kebagaimana adanya Dia. Maka sejauh-jauhnya kemampuan kita adalah berprasangka baik pada Pencipta kita. Prasangka baik inilah yang membuat seorang pendosa akhirnya memberanikan diri – meski dengan rasa malu yang teramat sangat – menyeret tumpukan dosanya kehadirat Ilahi, dan menukarnya dengan sehelai ampunan dari Tuhannya. Prasangka baik inilah yang membuat seseorang bisa bersabar, berdiri kokoh seperti karang meski diterpa cobaan yang silih berganti. Dan prasangka baik inilah pula yang membuat manusia tak henti-hentinya memuji Penciptanya serta mengucapkan rasa syukur atas apapun yang diterimanya.

Bila kita telaah secara lebih mendalam, masalah utama dari semua masalah yang dihadapi hampir semua manusia, adalah ketidakmampuan ia berprasangka baik pada Tuhannya. Ternyata, ketidakmampuan berprasangka baik pada Tuhan ini muncul dari kesalahan fundamental, yaitu kegagalan dalam memahami segala sesuatu dari pandangan tauhid. Pandangan dunia tauhid punya banyak aspek. Tapi bila diperas-peras sederhana saja; alam yang tampak ini, semua yang diciptakan ini, bergantung pada realitas yang lebih besar, yang lebih tinggi, Tuhan. Pada udara yang kita hirup, pada tembok yang kita tatap, pada bumi yang terhampar dan langit yang tinggi, dan pada setiap atom yang menggelinding di dunia ini.., semuanya tak lain dari apa yang disebut oleh kalangan rohaniawan Islam, sebagai “hembusan napas Sang Pengasih”.[1]

Kata Ibn Arabi, sufi besar dari Andalusia, “napas Sang Pengasih” selalu berhembus keras ibarat udara yang keluar dari dada yang telah menahan napas panjang. Namun, berbeda dengan udara yang keluar dari paru-paru manusia, kata Ibn Arabi lagi, rahmat Allah berhembus keras dalam bentuk ciptaan, anugerah, dan kasih sayang yang kaya makna. Ini berlangsung setiap saat, mencakup segala hal.[2] Sayangnya, kegagalan memahami pandangan dunia tauhid ini dialami oleh banyak orang yang beragama Islam. Padahal, uraian tentang rahmat Allah ini begitu banyak tertuang di dalam Alquran dan hadis.

Menurut Haidar Baqir, Pendiri Gerakan Islam Cinta, memang dalam situasi pertemuan antara manusia dengan Tuhannya terdapat dua aspek yang dihadapi, yakni aspek kedahsyatan yang menggetarkan (disebut jalal), dan aspek keindahan yang memesonakan (disebut jamal). Persoalannya ketika Tuhan melulu disituasikan dalam aspek jalal, yang terjadi kemudian adalah kekeringan bahkan kengerian. Agama menjadi kaku karena selalu berorientasi nomos (hukum syariah dalam arti sempit). Padahal, di dalam Alquran terdapat lima kali lebih banyak ayat yang mengandung nama jamaliyah daripada jalaliyah. Ini sebabnya dalam sebuah hadis disabdakan; “Allah adalah cinta”.[3]

Mendiang Prof. Annemerie Schimmel, dalam salah satu ceramahnya di Universitas Harvard di tahun 2002, pernah menyatakan bahwa Islam biasanya diperlakukan dengan agak buruk dan sembrono, karena sebagian besar sejarawan agama dan mayoritas orang pada umumnya lebih melihatnya sebagai agama primitif yang melulu berhubungan dengan hukum (nomos oriented religion). Namun, mengutip pendekatan beberapa ahli fenomenologi agama, antara lain Gerard van Der Leeuw, Schimmel menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam adalah sebuah agama yang tak kurang berorientasikan cinta-kasih (eros oriented religion).[4]

Menurut Haidar Bagir, seorang pakar tasawwuf positif, pada kenyataannya, Tuhannya Islam adalah Tuhan Kasih-sayang.  Allah SWT menyatakan bahwa “kasih-sayang-Ku meliputi apa saja” … dan “menundukkan murka-Ku’. Lalu, dalam ayat ‘bi’smil-Laahir-Rahmaanir-Rahiim”, Tuhan yang menyebut dirinya dengan Allah,  menisbahkan kepadanya dua kata sifat yang sama-sama berakar dari kata “rahmah” (bermakna kasih sayang): Yakni, ar-Rahman dan ar-Rahim: Yang menyayangi seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali dengan memberinya semua bekal yang memungkinkannya hidup berbahagia, dan pada saat yang sama memberikan kasih-sayang khusus berupa petunjuk kepada manusia yang mau menapaki jalan-Nya (karena memang petunjuk-Nya hanya ada di jalan-Nya). Para hukama menyebut nama Allah sebagai nama penggabung (al-asma’ al-jami’) dari kesemua asma’-nya. Maka penisbahan Allah kepada dua asma’ kasih-sayang sekaligus menunjukkan betapa semua asma’-nya – baik asma’ jamaliyah/fadhl (keindahan/kedermawanan) maupun jalaliyah/’adl (kedahsyatan/keadilan) semuanya bersumber dari inti keilahian-Nya yang tak lain adalah kasih-sayang.[5] Lantas mengapa begitu sulit bagi sebagian besar orang untuk berprasangka baik kepada Ar Rahman, kepada ar Rahim, kepada cinta, kepada Allah SWT?

Menurut Haidar Bagir, hal ini terjadi karena kegagalan sebagian besar kita, khususnya pada pendakwah mendudukan cinta sebagai asas agama. Lebih jauh, salah satu dari 500 tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia ini mengatakan, terdapat kekeliruan – setidaknya ketidaklengkapan – wawasan pemeluk agama tentang agamanya sendiri. Yakni, dengan membatasi agama “hanya” dalam hal syariat – dalam aspek hukum yang semata-mata verbal dan fisik – dan keimanan yang melulu rasional (yakni rasional lebih dalam batas-batasnya yang kalkulatif dan instrumental belaka).[6]

Atas semua itu, dalam salah satu potongan sabda Nabi, yang dikutip oleh Imam Ghazali di dalam Ihya’, dikatakan bahwa : ”Cinta adalah asas (ajaran agama)-ku.” Dalam al-Qur’an sendiri terdapat lebih dari 20 (dua puluh) kata yang maknanya termasuk sebagai salah satu rumpun makna cinta. Dan tak kurang dari salah satu Imam yang juga cucu sang Nabi, Imam Ja’far al-Shadiq, yang mengatakan: “Apalagi agama itu kalau bukan cinta?!….Agama itu cinta dan cinta itu agama.”[]

 

Bersambung…

Catatan : Tulisan ini merupakan adaptasi dari buku Haidar Bagir berjudul “Islam Tuhan, Islam Manusia”, Bab XXIV “Mempromosikan Islam Cinta”, Mizan, Bandung, 2017, Hal. 231-243. Adapun hal-hal lain yang tidak terdapat di artikel tersebut, kami tuliskan di catatan kaki.

Referensi:

[1] Lihat, Musa Kazhim & Alfian Hamzah, “Menyerap Energi Ketuhanan; Syarah Doa Nabi Khidir a.s. untuk Kejayaan Dunia dan Akhirat”, Jakarta, Penerbit Hikmah, 2009, Hal. 14

[2] Ibid

[3] Lihat, Haidar Bagir, Islam (juga) Agama Cinta, sebuah kata Pengantar Penerbit untuk buku John D. Caputo, “Agama Cinta, Agama Masa Depan”, Bandung, Mizan, 2013, Hal. xi

[4] Ibid

[5] Haidar Bagir, “Islam Tuhan, Islam Manusia”, Bab XXIV “Mempromosikan Islam Cinta”, Mizan, Bandung, 2017, Hal. 232

[6] Ibid, Bab XXV “Cinta sebagai Asas Agama”, Hal. 239

 

 

AL/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *