Satu Islam Untuk Semua

Monday, 06 April 2020

Benarkah Metode Karantina Berasal dari Peradaban Islam?


islamindonesia.id – Benarkah Metode Karantina Berasal dari Peradaban Islam?

Dalam Bahasa Indonesia, karantina berarti tempat penampungan yang lokasinya terpencil guna mencegah terjadinya penularan (pengaruh dan sebagainya) penyakit dan sebagainya (Sumber: KBBI). Namun apabila dilacak lebih jauh, karantina ternyata berasal dari kata quarantena, yang artinya adalah “40 hari”.

Istilah Quarantena pertama kali digunakan pada abad ke-14 atau 15 oleh orang-orang Venesia di timur-laut Italia untuk menahan kapal-kapal yang datang ke pelabuhan di sana, agar awak kapalnya tidak turun ke daratan selama 40 hari penuh.

Hal tersebut mereka lakukan guna mencegah masuknya penyakit pes yang pada waktu itu sedang mewabah di dunia supaya tidak masuk ke Venesia dan menyebar di sana.

Namun apabila ditelisik lebih jauh lagi, konsep karantina selama 40 hari ini juga pernah dicetuskan di dalam Islam. Adalah Ibnu Sina, atau lebih dikenal sebagai Avicenna di dunia Barat, yang mencetuskannya di dalam buku medisnya yang berjudul al-Qanun fi al-Tibb (Prinsip-prinsip Tentang Ilmu Medis), diterbitkan pada tahun 1025 di Persia.

Sebagaimana dikutip dari Morocco World News, dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah orang pertama yang menetapkan metode untuk menghindari penularan melalui isolasi sanitasi selama 40 hari. Dia menyebut metodenya ini denggan sebutan al-Arbainiya (yang keempat puluh), yang diterjemahkan secara harfiah ke quarantena dalam bahasa Venesia awal.

Pada abad pertengahan, karantina adalah praktik wajib di rumah sakit di seluruh dunia Islam untuk mencegah penyebaran kusta, penyakit menular yang menyebabkan luka pada kulit.

Karantina kemudian menjadi lebih umum diterapkan di Eropa, terutama di titik-titik pertemuan perdagangan lintas benua, seperti Venesia, terutama ketika terjadinya wabah penyakit pes (The Black Death) pada abad ke-14 dan ke-15.

Kesuksesan metode karantina untuk mengendalikan penyebaran wabah pada waktu itu membuat metode ini tetap dilakukan sampai dengan hari ini oleh dunia medis, meskipun pada praktiknya tidak mesti selama 40 hari, tergantung jenis penyakit yang sedang dihadapi.

Angka 40 dalam Tradisi Islam

Ada banyak tradisi di dalam Islam yang menyebutkan angka 40 di dalam teks-teks maupun perkataan dari ulama. Sebagai contohnya, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa mengutarakan 40 hadis (dalam bentuk hafalan) kepada umatku sehingga mereka memperoleh manfaat darinya, kelak pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya sebagai seorang yang faqih (penuh pemahaman) lagi alim.”

Berkenaan dengan umur seseorang, Alquran menyatakan:

“….Apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai 40 tahun dia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’.” (Surat Al-Ahqaf Ayat 15)

Contoh lainnya, Abdullah bin Abbas RA berkata, “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak mantap dan tidak dapat mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah dia bersiap-siap ke neraka.”

Imam asy-Syafii Rahimahullah tatkala mencapai usia 40 tahun, beliau berjalan sambil memakai tongkat. Jika ditanya, maka beliau menjawab, “Agar aku ingat bahwa aku adalah musafir. Demi Allah, aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar. Lalu burung itu lepas di udara, kecuali telapak kakinya saja yang masih tertambat dalam sangkar.

“Komitmenku sekarang seperti itu juga. Aku tidak memiliki sisa-sisa syahwat untuk menetap tinggal di dunia. Aku tidak berkenan sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia. Aku juga tidak berkenan mereka mengingatkanku sedikit pun tentang hiruk-pikuk dunia, kecuali hal yang menurut syara’ lazim bagiku. Di antara aku dan dia ada Allah.”

Imam al-Gazhali di dalam Ihya Ulumiddin, mengutip Abdullah bin Dawud Rahimahullah berkata, “Kaum salaf, apabila di antara mereka ada yang sudah berumur 40 tahun, dia mulai melipat kasur, yakni tidak akan tidur lagi sepanjang malam, selalu melakukan salat, bertasbih dan beristighfar. Lalu mengejar segala ketertinggalan pada usia sebelumnya dengan amal-amal di hari sesudahnya.”

Dalam sebuah hadis dari Anas Bin Malik RA yang sering disebut sebagai hadis Arbain, dikatakan, “Barang siapa salat 40 hari dengan berjamaah dan mendapati takbiratul ihramnya imam maka dia akan dicatat terbebas dari dua perkara, yaitu bebas dari api neraka dan bebas dari kemunafikan.”

Selain itu, di dalam ziarah haji, meskipun tidak termasuk di dalam rukunnya, lazim dilakukan salat arbain, yakni salat wajib (Isya, Subuh, Zuhur, Ashar, dan Mahgrib) yang dilaksanakan sebanyak 40 kali tidak terputus di Masjid Nabawi.

Beberapa tradisi ziarah kubur di Timur Tengah juga biasa dilakukan dalam hari ke-40-nya setelah tanggal kematian orang yang bersangkutan, utamanya terhadap tokoh-tokoh besar di dalam Islam.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Lukisan Ibnu Sina di Museum Hamadan. Kredit Foto: Adam Jones

2 responses to “Benarkah Metode Karantina Berasal dari Peradaban Islam?”

  1. Wahnews says:

    Maksa bgt tulisan nya, Ibnu Sina pemikiran nya udah terpengaruh filsafat Yunani, kok diklaim peradaban Islam, klo ingin lihat peradaban Islam itu pas masa nabi dan setelah nya, klo Ibnu Sina itu udah terlalu jauh, apalagi Ibnu Sina itu sudah terpengaruh filsafat non peradaban Islam

    • Arya says:

      Aku haqul yakin pasti situ ngga paham arti kata peradaban. Makanya bisa berkomentar yg maksa banget seperti itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *