Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 16 June 2020

Anarkisme Agama Berbalut Wahabisme


islamindonesia.id – Anarkisme Agama Berbalut Wahabisme

Ada satu gejala di tubuh umat Muslim yang harus segera diatasi: anarkisme agama. Bentuk paling sederhana dari anarkisme ini adalah pengkafiran kelompok Muslim lain dengan dasar-dasar yang sama sekali tidak masuk akal.

Di zaman ini, anarkisme agama itu bertameng di balik Wahabisme yang menjadi ideologi resmi kerajaan Arab Saudi dan sebagian besar kerajaan di Teluk Persia lain.

Sejak tragedi 11 September 2001, masyarakat Barat disadarkan oleh keganasan kelompok yang sudah bertahun-tahun menebar teror dan horor di berbagai sudut dunia Muslim ini. Mereka bergerak perlahan untuk membajak opini mayoritas umat Muslim.

Saat opini publik berpihak padanya, sebuah Inquisition Islam dilaksanakan secara sadis dan tanpa kenal batas. Itulah yang terjadi setelah mereka berkuasa di Arab Saudi dan sejumlah kerajaan Arab lain di Timur Tengah.

Pada April 2007, segelintir demonstran menyusup di antara kerumunan iring-iringan rombongan yang pulang salat Jumat. Para penyusup meneriakkan kata-kata jorok dan menggebyah ancaman.

Mereka menuntut pembubaran mazhab Syiah dan penutupan beberapa fasilitas pendidikan yang terindikasi mengajarkan mazhab Syiah. Dalam aksi ini, para penyusup mengaku sebagai pembela mazhab Ahlusunah wal Jamaah—taktik efektif yang berhasil membawa mereka berjaya di Pakistan, India, dan Afghanistan.

Satu pekan sebelum peristiwa di atas, satu kelompok demonstran yang lebih garang dalam jumlah lebih besar menggelar aksi serupa di daerah Sampang, Madura. Sambil mengacung-acungkan celurit dan memasang wajah berang, mereka menuntut tokoh setempat yang bermazhab Syiah untuk kembali mengikrarkan diri sebagai penganut Ahlusunah wal Jamaah.

Tokoh itu menolak tegas, dengan alasan bahwa setiap orang berhak menganut mazhab yang dipilihnya sendiri.

Aksi-aksi di atas sebenarnya hanyalah puncak gunung es. Gelombang teror lebih besar, lebih anarkis dan lebih brutal terjadi di hampir seluruh dunia. Masyarakat AS terkejut karena mendengar kabar bahwa 15 dari 19 pelaku teror 11 September adalah warga Arab Saudi—negara Arab yang paling dekat dengan AS selama empat dekade lampau.

Rakyat AS memang baru merasakan langsung anarkisme Wahabi—ideologi resmi Arab Saudi yang sudah lama bersekutu dengan Gedung Putih.

Penyebaran Wahabime berlangsung cepat. Dukungan dana kerajaan Arab Saudi dan sebagian besar negara Teluk mengalir tanpa batas. Ada begitu banyak bukti yang menunjukkan simbiosis antara agenda rezim korup Arab, kekuatan kolonial Barat, dan kelompok Wahabi.

Kelompok liar seperti ini diperlukan sebagai bom waktu di tengah umat Muslim. Begitu tercium adanya upaya kaum Muslim untuk bangkit melawan kolonialisme, rezim korup Arab dan kekuatan kolonial Barat tinggal menarik detonator gerakan ini. Anarkisme agama model Wahabi dengan mudah akan menghalau langkah serempak umat Muslim demi visi yang lebih besar.

Ditinjau dari sudut pandang sejarah Islam, mereka sebenarnya bukanlah penyakit baru. Hanya saja, nama dan identitas mereka terus berganti. Di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, mereka mengkafirkan Sang Khalifah dan menghalalkan darahnya.

Para ahli menyebut mereka sebagai khawarij (kelompok yang memberontak atas pemerintahan yang sah). Pada awal abad XX, kelompok dengan ideologi serupa kembali mengangkat senjata untuk melawan penganut Ahlusunah wal Jamaah di bawah kekhalifahan Usmaniyah yang memerintah jazirah Arab waktu itu.

Dibantu oleh kekuatan imperialis Inggris, kelompok penganut Muhammad bin Abdul Wahab ini akhirnya berhasil mendepak pasukan Usmaniyah.

Setelah terbentuknya kerajaan Arab Saudi, ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab yang lebih dikenal dengan sebutan Wahabi ini menjadi ideologi resmi Kerajaan. Sejumlah negara Teluk yang berada dalam lingkaran pengaruh Saudi lambat laun mengadopsi ideologi yang sama.

Sejak itu, kelompok ini tanpa ampun membasmi basis sosial, politik, dan budaya Ahlusunah wal Jamaah di jazirah Arabia. Sekalipun masyarakat tetap pada mazhab mereka semula, tapi kebanyakan rezim yang berkuasa berkolusi dengan ulama Wahabi untuk menghabiskan jejak-jejak “Islam lama” dan menggantikannya dengan “Islam ala Wahabi”.

Walaupun telah berganti-ganti nama, setidaknya ada dua ciri khas yang tidak akan bisa mereka ubah: pengkafiran atau penyesatan terhadap salah satu kelompok di dalam tubuh umat.

Ciri-khas pertama ini sebenarnya adalah konsekuensi alamiah dari kerancuan berpikir dan kesempitan pandangan mereka tentang Islam, bahkan tentang Allah, manusia, dan alam semesta.

Mengkafirkan kelompok lain adalah raison d’etat ajaran mereka. Tanpa ciri ini mereka tidak akan mempunyai identitas apapun di di antara mazhab-mazhab Islam lainnya.

Ciri khas kedua adalah penyusupan dan provokasi. Hampir tidak ada organisasi Muslim, kecuali mungkin di Arab Saudi, yang menyebut dirinya secara terang-terangan dengan nama Wahabi, sekalipun ciri khas pertama tidak akan mereka tinggalkan.

Di mana pun mereka berada, kaum Wahabi selalu bergerak secara sembunyi-sembunyi dan di balik layar. Karena itu, agenda utama mereka adalah membangun rekrutmen di kalangan remaja yang minim pemahaman agama. Begitu mendapatkan momentum, mereka akan bergerak mengobarkan permusuhkan pada kelompok Muslim lain yang paling lemah dan tertekan.

Gerakan semacam itu sama sekali bukan untuk memurnikan Islam dari kesesatan sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan, tapi justru untuk menggalang opini dan memobilisasi massa. Ujung-ujungnya tak lebih dan tak kurang adalah menguasai mayoritas umat Muslim.

Cara paling mudah untuk berkuasa di tengah umat adalah menciptakan gesekan dan perpecahan di tengah umat Islam, sehingga umat akan sibuk bertikai. Pada saat itu, mereka akan dengan mudah melakukan rekrutmen, membangun jaringan, menghancurkan landasan legitimasi tradisional, merangsek ke pusat-pusat kekuasaan sosial, politik, dan ekonomi.

Itulah alasan mengapa kelompok Wahabi tidak mungkin menyerang kepentingan AS atau Israel yang demikian kuat itu. Fokus “jihad” mereka adalah kelompok Muslim yang paling lemah, demi menggalang kekuatan mayoritas Muslim di belakang mereka.

Strategi Wahabi senantiasa membenturkan satu kelompok Muslim dengan kelompok Muslim lain agar mereka pada akhirnya menjadi pemenang dari semuanya.

Begitulah kerja mereka selama 3 dekade terakhir ini di Pakistan, India, Afghanistan, Yordania, Somalia, Sudan, Nigeria, Aljazair, Mesir, Suriah, Yaman, dan negara-negara Muslim lainnya. Di hampir semua negara itu, kelompok ini terus-menerus melakukan pembantaian kejam dan tidak manusiawi, demi tegaknya pemerintahan Islam yang tidak pernah bisa mereka rumuskan dengan tuntas.

Di Mesir, mereka sempat berhasil memecah gerakan Ikhwanul Muslimin dan menguasai kalangan pelajar muda universitas-universitas Islam, terutama Al-Azhar. Pada pertengahan tahun 70-an sampai 90-an, mereka meraup legitimasi dan kredibilitas besar di tengah umat.

Namun, berkat konsolidasi internal para penganut mazhab Ahlusunah wal Jamaah, kelompok ini lantas terusir dan terkucilkan. Mereka akhirnya hanya dikenal dengan sebutan jama’ah at-takfir wal hijrah (kelompok yang mengafirkan dan berhijrah).

Untunglah, gerakan Wahabi tidak pernah mendapatkan angin di kalangan umat Muslim Indonesia. Sejak lama ulama Indonesia memperingatkan umat agar jangan sampai kelompok ekstrem ini membajak Islam demi kepentingan-kepentingan sempit dan gila mereka.

Akibatnya, dengan segala dukungan dana besar dan akses luas di Timur Tengah, mereka tidak menemukan celah masuk ke negeri ini. Lebih-lebih, masyarakat Indonesia pada dasarnya tidak akan menerima ajaran kering spiritualitas yang mereka sodorkan itu.

Menangisi orang yang mati, ziarah kubur, mendoakan orangtua yang sudah wafat, meminta doa pada orang suci, membawa bunga untuk orang sakit, dan sebagainya adalah beberapa aktivitas manusiawi yang mereka anggap sebagai menyekutukan Allah.

Jelas ini kegilaan yang tidak akan mungkin bisa diterima kecuali oleh masyarakat yang secara genetik cenderung skizofrenik—kehilangan hubungan dengan realitas.

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, mereka sebetulnya telah kehilangan begitu banyak basis. Hantaman atas ajaran mereka datang bertubi-tubi dari hampir semua ulama mazhab Islam, sejalan dengan maraknya semangat tasawuf dan spiritual di kalangan umat Muslim.

Ayyub Sabri Pasha secara ekstensif merekam gugatan ulama Ahlusunah wal Jamaah di abad kontemporer dalam karyanya yang berjudul Wahhabism and its refutation by the Ahl As-Sunna. Prof. Hamid Algar dalam karyanya yang berjudul, Wahhabism: A Critical Essay, memaparkan keberatan-keberatan yang sangat bernas berkenaan dengan Wahabisme.

Namun, seiring pecahnya perang di Irak dan Suriah, kelompok ini kembali melihat peluang menguasai opini publik dunia Muslim. Mereka kini mencoba bangkit dari kubur untuk berdiri di antara puing-puing pertikaian satu kelompok Muslim dengan kelompok Muslim lain.

Kelompok ini mengirim para pelaku bom bunuh diri yang bekerja secara acak untuk membunuh ribuan kaum Muslim Suni dan Syiah di Irak dan Suriah. Lalu, mereka menghasut mayoritas Muslim Suni, seperti di Indonesia, untuk bangkit dan melawan saudara Muslim Syiah mereka.

Operasi-operasi semacam ini jelas ditopang oleh sebuah jaringan logistik yang sangat besar, dan mungkin melibatkan negara adidaya. Ada banyak tujuan di balik skenario seperti ini. Yang paling nyata ialah untuk memudahkan pengendalian perlawanan umat yang kian menguat terhadap kekuatan asing, terutama AS dan Israel.

Sekali lagi, Wahabisme menjadi senjata yang ampuh untuk memecah kesatuan langkah tersebut—peran yang pada awal abad XX mereka mainkan dengan gemilang ketika mengusir pasukan Usmaniah.

Bahaya Wahabisme memang mendunia. Tapi, korban terbanyak dari anarkisme Wahabi adalah umat Muslim. Puluhan ribu orang Muslim tewas di Irak akibat ulah al-Qaidah yang berideologi Wahabi. Ribuan lain tewas di Pakistan, India, dan Afghanistan akibat teror mereka.

Mahmud Syah, komandan dan pemimpin mujahidin Afghanistan yang beraliran Suni, tewas dibom oleh golongan Wahabi sehari menjelang peristiwa 11 September 2001. Ratusan orang Muslim di Arab Saudi, Aljazair, Tunisia, Maroko, Mesir dan Yaman gugur sebagai korban kesesatan ideologi anarkis ini.

Sementara itu di Suriah, akibat perang saudara yang dikobarkan oleh kelompok takfiri ISIS, korban diperkirakan mencapai sekitar setengah juta orang. Siapapun yang bertentangan dengan mereka dilibat, tidak peduli dia Suni, Syiah, atau pun Yazidi.

Demikianlah, umat Muslim harus segera dibebaskan dari kegilaan ini. Kita mesti bangkit bersama-sama untuk mengikis mazhab skizofrenik yang anti segala norma kemanusiaan ini.

Semangat di balik pertemuan ulama dunia (Multaqa) yang pada tahun 2018 lalu diadakan di Jakarta adalah untuk merekatkan hubungan antar penganut mazhab Islam sebenarnya terletak di sini: menyingkirkan kebencian dan kecurigaan di antara sesama umat Muhammad. Dan agenda ini jelas bertentangan dengan hakikat Wahabi.

MK/IslamIndonesia/Foto utama: Harun Elbinawi/Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *