Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 06 July 2022

Viral Kasus ACT dan Tanggung Jawab Pengelolaan Dana Umat oleh Lembaga Filantropi


islamindonesia.id – Berawal dari viralnya hasil liputan khusus Majalah Tempo berupa laporan utama berjudul “Kantong Bocor Dana Umat” yang di antaranya membahas isu gaji petinggi lembaga filantropi bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, publik di Tanah Air pun mendadak heboh.

Apalagi ketika laporan utama tersebut juga menyebutkan bahwa para petinggi ACT ditengarai menerima sejumlah fasilitas mewah dan memotong uang donasi untuk membiayai kebutuhan pribadi, serentak tagar #AksiCepatTilep dan #JanganPercayaACT juga ikut viral di media sosial.

Meski Presiden ACT, Ibnu Khajar buru-buru menampik bahwa jajaran petinggi lembaganya memperkaya diri dengan menyelewengkan donasi, namun kehebohan terkait dugaan penyelewengan dana umat oleh ACT itu hingga kini tak kunjung reda.

Belakangan ACT mengaku memang mengambil lebih dari 12,5 persen untuk operasional lembaga dari jumlah donasi yang berhasil dikumpulkan, tepatnya sekitar 13,5 persen dari donasi tersebut. Ibnu Khajar pun menilai penggunaan donasi itu tak masalah. Dia menegaskan, ACT merupakan lembaga filantropi bukan lembaga amil zakat yang terikat ketentuan potongan 12,5 persen tersebut. Selain itu, ACT mengklaim telah memperoleh izin dari Kementerian Sosial.

Sekadar informasi, dalam aturan syariat Islam, untuk lembaga zakat, pemotongan donasi keagamaan memang tak boleh lebih dari 12,5 persen. Namun demikian, perlu diketahui bahwa jika merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pengumpulan Sumbangan, pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil donasi. Pertanyaannya, mengapa ACT justru memotong donasi hingga 13,5 persen?

Menyoal Tanggung Jawab Pengelolaan Dana Umat oleh Lembaga Filantropi

Sejak merebaknya pandemi akibat penyebaran virus Corona (Covid-19) di Indonesia dan dunia, muncul fenomena banyaknya orang-orang yang kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Hidup mereka pun berubah drastis, dari yang semula mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, berubah menjadi kelompok miskin baru yang layak dibantu.  

Kondisi ini memunculkan inisiatif di antara beberapa anggota masyarakat serta pemerintah untuk memberikan bantuan kepada mereka. Tak heran bila kemudian banyak bermunculan berbagai lembaga filantropi atau lembaga kemanusiaan melakukan pengumpulan dana dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan. Pada saat yang sama, pemerintah juga telah melakukan berbagai program bantuan untuk mengurangi penderitaan masyarakat yang terkena dampak dari wabah ini.

Namun sayangnya, di tengah tumbuhnya kepedulian beberapa anggota masyarakat dan pemerintah tersebut, ternyata masih ada orang-orang yang menggunakan kekuasaan, jabatan, amanah dan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan di tengah penderitaan masyarakat. Sehingga, aksi penyaluran bantuan yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat yang membutuhkan, justru dijadikan ajang untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Akibatnya, bantuan yang seharusnya sampai kepada masyarakat tersebut dikurangi dengan berbagai alasan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab tersebut. Padahal bantuan itu merupakan amanah yang harus disampaikan kepada mereka yang berhak. Tentu saja ini adalah perbuatan tercela dan berdosa, baik dari sisi kemanusiaan maupun dari perspektif agama.

Seperti yang kita ketahui, Islam sangat melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, merampok, korupsi dan mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nisaa ayat 29, yang menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Selain itu, ada pula ayat senada yang bermakna, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil…” [QS. Al-Baqarah:188].

Kedua ayat ini sangat jelas menunjukan bahwa Allah SWT melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, dan larangan ini dengan gamblang menunjukan keharaman perbuatan tersebut.

Sementara hadis Rasulullah s.a.w yang melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, adalah sebagaimana sabda beliau, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, tidak dengan main-main tidak pula sungguhan. Barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud dan Thirmidzi)

Sedangkan pada riwayat yang lainnya Rasululah s.a.w dengan sangat tegas bersabda, ”Wahai manusia, sesungguhnya akan ada beberapa orang di antara kalian yang mengambil harta Allah dengan cara yang tidak benar. Waspadalah, pada hari kiamat nanti orang-orang seperti itu akan dimasukkan ke dalam neraka.” (HR Bukhari)

Ayat dan hadis tersebut sebagai peringatan bagi kita bahwa mengambil, memakan dan menggunakan hak dan harta orang lain secara tidak benar, jelas-jelas merupakan perbuatan haram yang akan memberikan pengaruh negatif tidak hanya di dunia namun juga di akhirat kelak.

Selanjutnya, ada pula sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah yang menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR. Ibn Hibban)

Riwayat lainnya yang serupa, dari Ka’ab bin ‘Ujrah, menyebutkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. (HR. Tirmidzi)

Berdasarkan firman Allah dan hadis Nabi di atas, tentu saja sebagai Muslim, kita dan anak cucu kita tidak ingin masuk neraka hanya gara-gara makanan yang berasal dari harta yang haram. Sebaliknya, kita semua tentu ingin masuk surga, sebagai negeri abadi yang penuh dengan kenikmatan.

Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa siapa pun, tak terkecuali pihak-pihak atau lembaga filantropi yang memotong atau mengambil hak dari bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan lebih dari ketentuan yang sudah ditetapkan aturan agama atau negara, sejatinya adalah pengambil hak orang lain yang tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan perbuatan ini termasuk mencuri, korupsi dan ghulul yang diharamkan dalam Islam, dan dengan demikian maka harta curian atau hasil korupsi tersebut haram untuk digunakan.

Perbuatan tercela ini juga serupa tindakan memakan harta anak yatim secara zalim, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisaa:10)

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *