Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 24 March 2018

Tiga Ciri Manusia yang Allah Kehendaki Menjadi Hamba yang Baik


islamindonesia.id – Tiga Ciri Manusia yang Allah Kehendaki Menjadi Hamba yang Baik

 

Dalam kitab Nashaihul Ibad, karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang merupakan syarah atas kitab Syekh Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Asqalani (Ibnu Hajar Al-Asqalani) dijelaskan, terdapat 3 kriteria seorang hamba yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik.

Syekh Nawawi berkata:

اذا أراد الله بعبد خيرا فقهه في الدين

Ketika Allah menghendaki seorang hamba untuk menjadi orang baik, maka Allah menguatkan agamanya.

Ciri yang pertama adalah agama seorang hamba tersebut dikuatkan oleh Allah. Dikuatkanlah keimanannya. Sehingga hamba tersebut tetap teguh menapaki jalan kebaikan, meskipun godaan malang melintang.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw:

من يرد الله به خيرا يوفقه في الدين

Barang siapa yang dikehendaki menjadi baik maka dikuatkanlah ia dalam perkara agama.

Lebih lanjut dalam kitab Nashaihul Ibad dikatakan:

و زهده في الدنيا

Dizuhudkanlah hamba tersebut di dalam perkara dunia.

Hamba yang baik, adalah hamba yang tidak tergiur sedikitpun akan gemerlap dunia. Ia berpikir bahwa dunia hanyalah tempat singgah semata. Hanya perkara yang fana.

Hamba yang baik hanya mengingat satu perkara, yaitu janji Allah akan kehidupan akhirat yang kekal adanya. Ia ingat betul akan peringatan Rasulullah tentang perkara dunia, bahwa:

حب الدنيا رئس كل خطيأت

Cinta dunia adalah pokok dari segala keburukan.

Imam Nawawi menjelaskan ciri ke tiga dengan kalamnya:

و بصره بعيوب نفسه

Dan diperlihatkanlah aib-aib dalam dirinya sendiri.

Hamba yang baik tidak sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna, seperti mencari-cari aib sesamanya atau membicarakan keburukan orang lain. Terlebih, merasa dirinya lebih baik dan memandang orang lain terlalu buruk. Sungguh, hal tersebut jauh dari diri seorang hamba yang baik. Hamba yang baik adalah hamba yang tidak pernah membicarakan keburukan orang lain.

Ia oleh Allah disibukkan dengan aib-aib pribadinya. Ia disibukkan dengan berintrospeksi diri (Muhasabatun Nafsi). Yakni mencari-cari kekurangan diri sendiri untuk kemudian ia perbaiki agar kelak ia benar-benar menjadi hamba yang baik.

Hal ini senada dengan perkataan ulama ahli hikmah:

طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس

Beruntunglah bagi orang yang disibukkan dengan aib pribadinya dari pada aib-aib manusia.

Terlepas dari itu semua, sebagian ulama ahli hikmah juga menerangkan bahwa sesungguhnya manusia sudah bisa meraba-raba nasibnya apakah ia ditakdirkan menjadi orang baik atau sebaliknya yaitu dengan melihat aktivitas sehari-harinya. Apakah ia dimudahkan dalam kebaikan ataukah tidak. Jika demikian, maka ia benar-benar ditakdirkan menjadi orang baik. Karena sebagaimana ulama ahli hikmah berkata:

كل ميسر لما خلق له

Tiap-tiap manusia itu dimudahkan untuk apa ia diciptakan.

Jadi, ketika seorang hamba selalu diliputi dengan kebaikan-kebaikan, maka beruntunglah manusia itu. Ia ditakdirkan menjadi orang baik. Namun jika sebaliknya, na’udzubillah min dzalik.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *