Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 06 May 2023

Seluk-beluk dan Arti Penting Nasab dalam Pandangan Islam


islamindonesia.id – Islam sangat menjunjung tinggi persoalan nasab atau keturunan. Masyarakat Timur Tengah hingga sekarang mentradisikan untuk menghafal nasab mereka. Setiap anak diajarkan hafal nama-nama kakek buyut mereka, minimal hingga lima tingkatan ke atas. Ini kebanggaan bagi bangsa Arab bahwa keturunan mereka terjaga dan bersih.

Dalam bahasa Arab, nasab berarti keturunan atau kerabat, yaitu pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. Al-Qur’an menyebutkan kata nasab sebanyak tiga kali. Pertama, dalam surah al-Mukminun ayat 101, “Ketika sangkakala ditiup (kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu.”

Kedua, dalam surah al-Furqan ayat 54, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia berketurunan (nasab).” Ketiga, dalam surah as-Saffat ayat 158 yang berisi tuduhan umat Nabi Yunus AS yang ingkar bahwa Allah SWT dan jin berhubungan nasab.

Nasab adalah pertalian kekeluargaan yang didasarkan pada akad perkawinan yang sah. Dalam ajaran fikih Islam, seorang anak bernasab kepada ayahnya. Inilah alasannya mengapa Islam sangat keras mengutuk perilaku perzinaan. Anak yang lahir dari hasil zina tidak dapat dinasabkan kepada siapa pun. Demikian juga wanita yang berzina dengan banyak laki-laki, kemudian hamil. Maka, ia tak dapat pula memastikan siapa ayah dari anak yang dikandungnya.

Para ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Sufyan As-Sauri, Abdurrahman al-Auza’i, dan lainnya sangat keras dan mengecam pelaku perzinaan. Seorang laki-laki yang menjadi bapak biologis dari anak yang lahir dari zina, ia tidak dapat menjadi wali dari anak perempuan hasil zinanya itu. Alasannya, nasab hanya bisa diturunkan melalui jalur pernikahan. Sedangkan, wali nikah hanya boleh dari bapak yang sah secara syariat.

Bahkan, Imam Syafi’i berpendapat, seorang anak perempuan yang lahir dari perzinaan, ia boleh dinikahi bapak biologis yang menzinai ibunya. Hal ini membuktikan, tak ada ikatan nasab apa-apa antara anak dan bapak karena hubungan perzinaan. Sekalipun, secara biologis mereka sebenarnya ada hubungan pertalian darah.

Demikian juga dengan harta warisan. Anak hasil perzinaan tak bisa mendapatkan waris apa-apa dari orang tuanya, demikian pula sebaliknya. Inilah yang disepakati para ulama, bahwa akad nikah merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh keturunan yang sah.

Nasab dalam arti keturunan juga menjadi salah satu faktor pertimbangan dalam memilih pasangan hidup. Sebagaimana tuntunan Nabi SAW, ada empat faktor yang menjadi pertimbangan memilih istri atau suami. Sabda Beliau SAW, “Wanita dinikahi karena empat hal, karena agama, harta, kecantikan, dan karena nasab (keturunan)-nya. Maka pilihlah agamanya, maka akan menguntungkan kamu.” (HR Abu Dawud).

Empat faktor ini hendaknya serasi antara suami dan istri. Keserasian ini disebut dengan kafa’ah atau kufu’. Tujuannya, agar tercapai pernikahan yang dilandasi rasa kasih sayang (mawaddah dan rahmah).

Faktor pertimbangan dari segi nasab maksudnya bukanlah melihat dari segi bangsawan atau berdarah biru. Yang utama adalah melihat dari nasab kedua calon suami istri, apakah mereka mempunyai hubungan nasab. Jika mereka memiliki keterikatan nasab maka haramlah bagi keduanya untuk melangsungkan pernikahan.

Ikatan nasab yang haram untuk menikah, seperti dijelaskan dalam surah an-Nisa [4] ayat 24, yaitu: (1) Ibu, nenek dari bapak atau dari ibu, dan seterusnya ke atas. (2) Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah. (3) Saudara perempuan sekandung, sebapak, dan seibu. (4) Anak perempuan saudara laki-laki (sekandung, sebapak, dan seibu). (5) Anak perempuan saudara perempuan (sekandung, sebapak, dan seibu). (6) Saudara perempuan bapak, kakek, dan seterusnya ke atas. (7) Saudara perempuan ibu, nenek, dan seterusnya ke atas.

Tentang hubungan persusuan, dapat dianalogikan pada hubungan nasab. Hal ini berdalil dalam surah an-Nisa’ ayat 23, yaitu; ibu dan saudara perempuan sepersusuan. Kedua orang ini diharamkan untuk dikawini oleh anak atau saudara sepersusuannya. Dalam kaitan ini, nasab yang haram dikawini disebut dengan mahram (muhrim).

Nasab dalam hukum waris Islam merupakan salah satu sebab seseorang dapat mewarisi harta pewarisnya. Dalam Islam, masing-masing nasab dengan tidak memandang jenis kelamin dan usia mempunyai hak untuk memperoleh warisan dari pewarisnya.

Sebagaimana ditetapkan dalam surah an-Nisa’ ayat 11-12, pembagian warisan ini terbagi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang menerima bagian tertentu atau disebut ashab al-furiid. Kedua, kelompok penerima bagian sisa atau diistilahkan dengan ‘asabah. Ketiga, kelompok yang tidak menerima bagian, kecuali dalam keadaan dua kelompok tersebut di atas tidak ada. Kelompok ketiga ini disebut zawi al-arham.

Kelompok nasab ashab al-furiid terbagi dua, ahli waris perempuan dan ahli waris laki-laki. Ahli waris perempuan terdiri atas empat golongan. Pertama, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah. Golongan kedua, ibu, nenek dari garis ibu dan bapak, dan seterusnya ke atas. Kelompok ketiga, saudara perempuan sekandung, sebapak, dan seibu. Dan, golongan keempat, istri (bukan nasab, melainkan akibat perkawinan).

Adapun ahli waris laki-laki terdiri atas tujuh golongan. Pertama, anak laki-laki, cucu laki- laki, dan seterusnya ke bawah. Kedua, bapak, kakek, dan seterusnya ke atas. Ketiga, saudara laki-laki sekandung, sebapak, dan seibu. Keempat, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung dan seayah. Kelima, paman (saudara laki-laki ayah) yang sekandung atau seayah. Keenam, anak laki-laki paman (saudara ayah). Dan ketujuh, suami (bukan nasab).

Ahli waris laki-laki kebanyakan menerima bagian sisa, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Berikanlah bagian warisan itu kepada yang berhak menerimanya, maka sisanya adalah untuk ahli waris yang terdekat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Mengenai nasab yang termasuk kelompok zawi al-arham (seperti cucu perempuan dari anak perempuan dan kakek dari garis ibu), apabila ahli waris penerima bagian tertentu dan sisa tidak ada, terdapat perbedaan pendapat. Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan mayoritas ahli hukum amsar (kota-kota besar) serta Zaid bin Sabit, nasabiawi al-arham tidak dapat menerima warisan. Sedangkan, sebagian sahabat dari ahli hukum Irak, Kufah, dan Basra berpendapat bahwa zawi al-arham dapat menerima warisan. Tetapi, yang terakhir ini berbeda pendapat mengenai cara pembagiannya.

Imam Hanafi dan sahabatnya memberikan bagian kepada zawi al-arham dengan prinsip asabah. Artinya, ia mengutamakan rumpun yang terdekat, yaitu, kelompok anak dan cucu (bunuwah), kelompok bapak (ubuwah), kelompok saudara (ukhuwah), dan selanjutnya kelompok paman (iunumah). Selama ada kelompok yang terdekat, maka yang lain tidak dapat menerima bagian. 

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *