Satu Islam Untuk Semua

Monday, 08 May 2023

Prinsip Kesetaraan Manusia dalam Islam


islamindonesia.id – Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan dengan kedudukan yang sama di hadapan-Nya. Al-Qur’an menyatakan: “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. (QS. al Nisa’:1)

Kemudian firman-Nya juga: “Wahai sekalian manusia, Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (kepada-Nya)”. (QS. al Hujurat:13)

Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, laki-laki maupun perempuan, dan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al Nahl:97)  Demikian juga dalam QS. al Ahzab:35, Ali Imran:195, al Mukmin:40, dan lain-lain.

Doktrin egalitarianisme (al musawah) Islam di atas juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Beliau mengatakan: “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan.”

Sabda Nabi s.a.w yang lain: “Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada hati dan tindakanmu”. Dan sabda Nabi juga: “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki”.

Prinsip kesederajatan manusia di hadapan Tuhan ini merupakan konsekuensi paling ekspresif dan logis dari doktrin Kemahaesaan Allah, atau dalam bahasa yang lebih populer: akidah Tauhid.

Jadi, keunggulan manusia satu atas manusia yang lain dalam sistem Islam hanyalah atas dasar kedekatan dan ketaatannya kepada Tuhan atau yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut takwa.

Takwa yang disebutkan berulang-ulang dalam teks-teks suci Islam tidak dibatasi maknanya hanya pada aspek relasi manusia dengan Tuhan (hablun min Allah), ekspresi-ekspresi spiritual dan praktik-praktik ritual, melainkan juga pada ekspresi-ekspresi hubungan antarmanusia dalam wilayah sosial, kebudayaan, politik dan lain-lain (hablun min al nas).

Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip di atas adalah bahwa manusia, siapa pun dan di tempat mana pun dia berada atau dilahirkan, dituntut untuk saling menghargai eksistensinya masing-masing, dan dituntut pula untuk bekerja dan berjuang bersama-sama bagi upaya-upaya menegakkan kebaikan, kebenaran, dan keadilan di antara manusia.

Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menjalani kehidupan yang diinginkannya tanpa ada gangguan dari siapapun. Dengan kata lain setiap manusia dilarang oleh Tuhan untuk saling merendahkan, menyakiti, mengeksploitasi dan menzalimi. “La tazhlimun wa la tuzhlamun,” kata Tuhan, atau “Fa la tazhalamu,” kata Nabi.

Sebagai penafsir utama Al-Qur’an, Nabi Muhammad menegaskan kembali pernyataan Kitab Suci tersebut menjelang akhir hidupnya. Di hadapan sekitar seratus ribu orang yang berkumpul di Arafah, beliau mendeklarasikan prinsip-prinsip yang selaras dengan istilah Hak Asasi Manusia saat ini. Sabda beliau: “Hai manusia, sesungguhnya darahmu (hidupmu), hartamu, dan kehormatanmu adalah suci, sesuci hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini sampai kamu bertemu dengan Tuhanmu di Hari Kiamat.”

Kata-kata dima-akum (darahmu, hak hidup), amwalakum (hartamu, hak atas kekayaan) dan ‘irdhukum (kehormatanmu, hak untuk dihargai) diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai life, property, dan dignity. Ketiga kosa-kata ini dalam sejarahnya merupakan prinsip yang mendasari perumusan diktum-diktum HAM Universal di atas.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *