Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 23 July 2016

OPINI—Bisakah Takdir Berubah?


IslamIndonesia.id—Bisakah Takdir Berubah?

 

haidar-bagir-baru

Oleh: Haidar Bagir

Hanya ada sedikit hal yang dapat mengubah takdir, yaitu doa, silaturrahim dan pemberian (sedekah). Diriwayatkan bahwa seorang Yahudi yang Nabi ketahui ditakdirkan sampai ajalnya, selamat karena sedekah.

Pemberian dalam konteks ini adalah segala bentuk kebaikan dengan penuh keikhlasan (tanpa pamrih), yang dapat membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Silaturrahim, berinteraksi dengan manusia dengan penuh kasih-sayang. Sementara doa, selain sudah niscaya harus disertai upaya, adalah lebih baik bagi kita untuk mendoakan semua umat manusia agar mendapat hidayah dan ampunan-Nya, daripada sekadar mendoakan kelompok tertentu agar terhindar dari api neraka.

Ada dua Sunah (hukum) Allah: di alam fisik (khalq) dan ruhani (amr). Doa dan pemberian menggerakkan hukum alam amr hingga dapat mengubah hukum alam khalq. Itulah yang disebut oleh orang-orang tua kita, sedekah untuk tolak bala.

Nah, ketimbang bala datang duluan, wal ‘iyadzu bilLah, lebih baik kita beramal duluan.

Dalam sabdanya, Nabi Muhammad saw berkata, “Tidak ada yang dapat menolak ketetapan Allah kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali perbuatan baik” (HR Hakim). Dalam hadis lain, “Tak terubah qadha’ (ketetapan Allah) kecuali dengan doa. Dan tiada yang dapat memanjangkan umur selain berbuat baik kepada orang tua” (HR Turmudzi).

Diriwayatkan bahwa Nabi saw selalu memohon perlindungan dari takdir yang menyusahkan, musibah yang menyengsarakan, kejahatan musuh dan cobaan yang terlalu berat (Shahih Muslim). Riwayat-riwayat ini menunjukkan efektivitas doa dalam mempengaruhi ketetapan Allah.

Di dalam Al-Quran, Allah sendiri menegaskan, “Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan beriman kepada-Ku …” (QS 2: 186).

Tentang efektivitas doa, Imam Ghazali percaya bahwa doa memang merupakan upaya meminta intervensi Tuhan untuk memperbaiki keadaan, meski tetap bermakna ibadah (penghambaan diri) juga. Itulah intervensi yang terjadi di alam amr (ruhani), yang mengubah apa yang terjadi di alam khalq (fisik).

Dalam berdoa sesungguhnya terkandung makna penghambaan. Mungkinkah berdoa tanpa keinginan dikabulkan bisa melahirkan rasa ‘ubudiyyah (ketaatan) di hadapan rububiyyah (keagungan)-Nya?!

Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, “mungkinkah doa yang kita panjatkan dapat mengubah ketetapan-Nya?”

Perlu diketahui, sebagian ulama membedakan antara takdir mu’allaq, yang dapat berubah, dari takdir, yang bersifat pasti dan tak dapat diubah. Allah berfirman, “Setiap ajal sudah termaktub. (Tapi) Allah hapuskan dan tetapkan apa yang dikehendaki-Nya, dan di sisi-Nya ada Induk Kitab (Lauh Mahfuzh)” (QS13: 39).

Jika terdapat takdir Allah, yang tidak bisa kita ubah, itulah ketetapan-Nya akan kasih-sayang-Nya. “Dia wajibkan atas dirinya kasih-sayang” (QS 6: 12).

Berusaha adalah gerakan berpindah dari satu takdir-Nya ke takdir-Nya yang lain, yang lebih baik dalam jaring-jaring Sunah-Nya. Tujuannya adalah menggapai kebahagiaan dalam keridhaan-Nya. Takdir orang per-orang bisa berubah berdasarkan Sunah (hukum)-Nya yang tetap, tercatat dalam lauh al-mahw wa al-itsbat (catatan penghapusan dan pengonfirmasian).

“Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)” (QS.13: 39), demikian firman-Nya. Lauh Mahfuzh (Catatan Terpelihara)/Kitab Nyata adalah Kumpulan Qadha yang tak berubah, dilihat dari sisi pengetahuan-Nya yang melintasi ruang dan waktu.

“Tiada yang sebesar zarah pun tersembunyi dari Allah, tidak pula yang lebih kecil dan lebih besar. Semua termaktub dalam Kitab yang Nyata” (QS 10: 61). Taqdir adalah perincian qadha dalam ruang dan waktu, yang mengikat manusia dalam rangka mekanisme sebab-akibat yang diatur dalam Sunah (hukum)-Nya. Taqdir (lawh al-mahw wa al-itsbat) menginduk kepada qadha (lauh mahfuzh/kitab mubin).

Dari situ, manusia bebas memilih takdirnya, yang semuanya tercakup dalam ilmu-Nya. Penting diperhatikan pula, tak jarang dipergunakan kata qadha untuk qadar (taqdir). Jika disebutkan ada qadha yang bisa berubah, maka yang dimaksud adalah takdir. Ketika disebut hanya dua atau beberapa hal yang bisa mengubah takdir, maka yang dimaksud adalah yang bersifat ekstraSunah-Nya, yakni di luar upaya kita.

 

AJ&EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *