Satu Islam Untuk Semua

Friday, 28 January 2022

Mengenal Hakikat Kebenaran dengan Ketajaman Akal yang Dibimbing Wahyu Tuhan (1)


islamindonesia.id – Alquran adalah kitab suci yang sangat memberi penekanan dan kontribusi besar bagi akal dalam berbagai lapangan pengetahuan dan kehidupan.

Dalam Islam, menerima keyakinan agama harus lewat pemikiran dan perenungan akal, dan Alquran dalam hal ini senantiasa mengajak untuk berpikir, bertadabbur, dan menjauhi taklid buta dalam berbagai masalah akidah dan keyakinan, serta memandang sangat buruk orang-orang yang tidak menggunakan akalnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam Surah Yunus ayat 100: Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti (tidak berakal).

Dalam riwayat, akal juga merupakan maujud yang paling dicintai Tuhan dan menjadi parameter untuk pahala dan dosa anak-anak Adam, serta merupakan hujah batin bagi manusia. Abu Abdillah berkata: “Ketika Tuhan menciptakan akal, Tuhan berkata padanya: ‘Menghadaplah, maka akal menghadap, kemudian berkata padanya: membelakanglah, maka akal membelakang, kemudian Tuhan berkata: ‘Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, tidak aku ciptakan makhluk yang lebih aku cintai darimu, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, dan denganmu Aku mengumpulkan (membangkitkan)’.”

Demikian pentingnya fungsi akal bagi manusia, maka Alquran menekankan kepada manusia untuk memanfaatkan nikmat besar Tuhan ini dengan cara mengajak manusia menghilangkan dan menghancurkan berhala-berhala yang menjadi penghalang penggunaan akal supaya akal mampu mengutarakan argumen-argumen rasional.

Adapun hal-hal yang bisa menghalangi manusia menggunakan akal rasionalnya menurut Alquran, di antaranya adalah berpandangan empirisme, taklid buta, dan mengikuti hawa nafsu.

Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas satu per satu penghalang tersebut.

1. Berpandangan empirisisme

Ayat-ayat suci Alquran yang berbicara tentang masalah-masalah ini seperti: Dan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami (di akhirat) berkata, “Mengapa bukan para malaikat yang diturunkan kepada kita atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sungguh, mereka telah menyombongkan diri mereka dan benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan kezaliman). (QS. Al-Furqan:21). Juga ayat yang serupa dalam (QS. Al-Baqarah:55): Dan (ingatlah) ketika kamu (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas (dengan mata lahiriah),” maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikan.

Jadi, orang-orang seperti ini berpandangan empirisme, menolak pandangan-pandangan yang tidak dijangkau oleh pancaindra dan pengalaman empirik, yakni mereka tidak meyakini adanya wujud-wujud non materi dan gaib dari pancaindra.

Dunia kita dewasa ini dipenuhi orang-orang yang berpandangan seperti ini, terutama peradaban Barat yang dikuasai pandangan dunia materialisme dan filsafat materialisme, serta orang-orang Timur (termasuk kaum Muslimin) yang dipengaruhi oleh pandangan Barat dan kebarat-baratan (terdampak Westernisasi).

2. Taklid buta

Adapun ayat-ayat Alquran yang mencela taklid buta dan melarang manusia dari perbuatan tersebut seperti: Atau apakah pernah Kami berikan sebuah kitab kepada mereka sebelumnya, lalu mereka berpegang (pada kitab itu)? Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka.” Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu.” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.” (QS. As-Zukhruf:21-24).

Orang-orang seperti ini tidak lagi menggunakan logika dan rasionalitas akalnya, tetapi mereka hanya mencukupkan diri dengan apa yang mereka dapatkan dalam bentuk budaya, tradisi,  dan kepercayaan dari nenek-nenek moyang mereka, meskipun pada dasarnya tradisi dan budaya tersebut sangat bertolak belakang dengan akal sehat mereka. 

Akan tetapi perlu juga dikemukakan di sini bahwa taklid yang dicela oleh agama adalah taklid buta yang tak berdasar, yang tak memiliki manfaat memperbaiki kehidupan individu dan masyarakat. Sebab tak bisa dimungkiri bahwa dalam kehidupan kita, taklid itu sendiri banyak memiliki peran dalam menyelesaikan berbagai masalah. Juga merupakan tabiat manusia bahwa taklid dari orang jahil kepada orang berilmu merupakan keharusan, dan sesuai dengan logika serta akal. Misalnya taklid orang sakit kepada dokter, taklid orang yang membutuhkan bangunan rumah pada arsitektur, dan dalam konteks agama taklid orang-orang yang tak belajar fikih secara khusus dan mendalam (sampai maqam mujtahid) pada marja taklid (fuqaha). Model dan cara taklid seperti ini tidak dicela oleh akal, bahkan akal menjadi dasar logis bertaklid dalam konteks tersebut.

3. Mengikuti hawa nafsu

Alquran juga melarang manusia mengikuti hawa nafsu, sebab dengan mengikutinya akal dan rasionalitas menjadi tertutup. Ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah ini seperti: Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti keinginannya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang telah disesatkan Allah. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi mereka. (QS. Ar-Rum:29). Juga ayat: Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Qasas:50).

Pada dasarnya, sangat banyak orang yang dengan pikiran dan akalnya mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan yang dibawa oleh para Nabi, tetapi karena kepentingan dan kecenderungan mereka untuk mengikuti hawa nafsu mereka, maka kebenaran dan kebaikan yang cahayanya seterang mentari di siang hari ini pun ditolak dan diabaikan. 

Bersambung….

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *