Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 14 July 2022

Memaknai Musibah, Menguatkan Iman


islamindonesia.id – Salah satu kata yang sering diungkap oleh Alquran adalah berkenaan dengan musibah beserta derivasinya. Jika menelaah Alquran, maka kata musibah, yang berasal dari akar kata asaba ini beserta derivasinya cukup banyak ditemukan, yakni ada 77 kali disebutkan.

Khusus kata musibah disebutkan dalam Alquran sebanyak 10 kali. Ini menunjukkan bahwa kata tersebut memiliki nilai yang penting bagi manusia.

Sebagai contoh, kata musibah dikemukakan dalam Surah at-Taghabun ayat 11: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Dalam menjelaskan ayat tersebut di atas, Ibn Katsir mengemukakan bahwa Allah menyatakan tiada sesuatu pun yang terjadi di alam ini melainkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah SWT, sedangkan siapa yang beriman kepada Allah pasti ia akan rela pada putusan Allah baik qada maupun takdir-Nya, dan dengan iman itulah hati akan mendapatkan ketenangan, karena ia telah yakin bahwa yang tidak dikehendaki Allah pasti tidak akan terjadi.

Musibah dalam pengertian ujian yang diberikan Allah SWT kepada manusia, tidak hanya berupa penderitaan saja, tetapi bisa jadi berupa kebaikan, sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Anbiya’ ayat 35: “ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa ujian Allah bisa berupa keburukan dan kebaikan, yang keduanya adalah berasal dari Allah SWT. Dengan adanya ujian ini akan memberikan motivasi untuk meningkatkan keimanan kepada Allah SWT bagi mereka yang benar-benar taat kepada-Nya.

Sebagai contoh, seseorang yang diberikan anugerah kebaikan, seperti mendapat jabatan yang tinggi, harta yang banyak, boleh jadi seseorang itu akan semakin dekat kepada Allah SWT, dan tak menutup kemungkinan ia juga boleh jadi semakin menjauh dari Allah SWT, akibat ujian yang diberikan kepadanya.

Untuk mengungkap ajaran dan pesan-pesan yang terkandung dalam Alquran, diperlukan keutuhan pemahaman, sebab Alquran merupakan satu kesatuan, yang antara satu topik pembahasan berkaitan dengan topik pembahasan lainnya.

Salah satu upaya untuk mendapatkan keutuhan pemahaman tersebut adalah dengan melakukan kajian terhadap ayat-ayat Alquran dengan metode tematik, termasuk ayat-ayat yang berbicara mengenai musibah.

Bila ditelaah lebih lanjut, bahwa musibah yang diturunkan Allah SWT, sebagaimana informasi Alquran, setidaknya ada empat konteks pemahaman, yaitu (1) sebagai ujian bagi orang Mukmin, (2) sebagai peringatan atau teguran bagi umat manusia pada umumnya, (3) sebagai azab atau siksa bagi manusia yang banyak berbuat dosa dan maksiat, dan (4) sebagai kasih sayang bagi orang Mukmin.

Pertama, sebagai ujian bagi orang-orang mukmin, hal ini dapat dilihat dalam Surah al-Baqarah ayat 155-156: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun’.”

Sayyid Quthub dalam menafsirkan ayat di atas mengemukakan bahwa telah menjadi suatu keniscayaan terkenanya jiwa dengan bencana dan mengujinya dengan ketakutan, kelaparan, kesengsaraan serta kemusnahan harta, nyawa dan makanan. Hal ini adalah suatu ketentuan untuk meneguhkan keyakinan orang yang beriman pada tugas kewajiban yang harus ditunaikannya. Sehingga, akhirnya mereka setelah mengalami ujian, tentu akan terbukti tangguh dan merasa berat untuk berkhianat kepada Islam, karena mengingat pengorbanan yang telah dilakukannya.

Akidah yang dianut oleh seseorang bila tanpa ujian, akan mudah bagi penganutnya untuk meninggalkannya, bila satu ketika terkena ujian yang berat untuk menguji keimanannya. Semakin berat ujian dan pengorbanan, akan semakin meninggikan nilai akidah dalam hati dan jiwa penganutnya. Bahkan, makin besar penderitaan dan pengorbanan yang dituntut oleh suatu akidah yang menjadi keyakinannya, akan bertambah berat juga seseorang untuk berkhianat atau meninggalkan akidahnya, karena sudah teruji keimanannya dengan berbagai ujian.

Lebih lanjut Sayyid Quthub mengemukakan bahwa yang terpenting dari pelajaran di atas adalah kembalinya kita mengingat Allah ketika menghadapi segala keraguan dan kegoncangan, serta berusaha mengosongkan hati dari segala hal kecuali ditujukan semata kepada Allah.

Kemudian, agar terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan kecuali kekuatan Allah, tidak daya kecuali daya Allah, dan tidak keinginan kecuali keinginan mengabdi kepada Allah. Ketika itu, akan bertemulah ruh dengan sebuah hakikat yang menjadi landasan tegaknya pandangan (tashawwur) yang benar.

Selanjutnya, bila nash Alquran di atas dikaitkan dengan jiwa, akan menuju ke suatu titik di atas ufuk ini, yakni, ”Dan, berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, ” yang maknanya manusia adalah milik Allah.

Oleh karena itu, semua manusia dan segala sesuatu yang ada padanya, baik eksistensi maupun zatnya adalah kepunyaan Allah. Itulah sebabnya manusia akan kembali dan menghadap kepada-Nya dalam setiap perkara. Dengan kata lain, manusia harus pasrah dan menyerah secara mutlak. Menyerah sebagai perlindungan terakhir yang bersumber dari pertemuan vis a vis dengan satu hakikat dan dengan pandangan yang benar.

Kedua, sebagai peringatan atau teguran bagi umat manusia pada umumnya, hal ini dapat dilihat dalam Surah Ali Imran ayat 165: “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah: ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Segala musibah baik berupa bencana atau lainnya yang menimpa manusia memiliki hubungan yang erat dengan perbuatan manusia itu sendiri (QS. ar-Rum/30:41). Demikianlah Allah SWT mengingatkan manusia, sehingga menunjukkan kepada manusia bahwa akibat perbuatan manusia yang berupa kerusakan dan kejahatan terhadap lingkungannya akan berdampak pada kehancurannya sendiri. Dengan peringatan Allah SWT ini diharapkan manusia akan sadar dari kekeliruan dan kesalahannya.

Ketiga, sebagai azab atau siksa bagi manusia yang banyak berbuat dosa dan maksiat. Tentang hal ini dapat dilihat pada Surah al-Maidah ayat 49: “…dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”

Alquran mengaitkan antara amal individual dan perubahan sosial yang negatif maupun yang positif, dan menganggap keterkaitan tersebut sebagai hukum alam.

Alquran berbicara –misalnya– tentang orang-orang yang menentang risalah dan pembawa risalah, kemudian mengaitkan penentangan tersebut dengan perubahan sosial yang terjadi di kalangan para penentang; kemudian menyebutnya dengan sunnatullah.

Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah al-Ahzab ayat 60-62; “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya. Sebagai Sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada Sunah Allah.”

Sebagai perbuatan yang tercela, perbuatan dosa akan menimbulkan akibat-akibat buruk dan pengaruh negatif. Akibat buruk itu tidak saja akan menimpa diri orang yang melakukan dosa tersebut, tetapi dapat juga berdampak negatif terhadap orang-orang lain dan bahkan terhadap lingkungan alam pada umumnya.

Dalam Alquran, pertanggungjawaban atas setiap perbuatan, baik secara kelompok maupun secara individu, amat ditekankan. Setiap manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya selama ia hidup di dunia. Ini adalah salah satu prinsip pokok ajaran Islam.

Alquran menegaskan bahwa manusia, kelak di hari kemudian, tidak akan mendapatkan apa pun kecuali yang telah diupayakannya sendiri. Semua perbuatan, perkataan dan aktivitasnya akan diperlihatkan di hadapannya, lalu ia dibalas dengan pembalasan yang paling sempurna dan seadil-adilnya.

Perhatikan Surah Ali Imran ayat 30: “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”

Keempat, sebagai kasih sayang (rahmat) bagi orang Mukmin. Ini dapat dipahami dari Surah at-Taghabun ayat 11: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa semua musibah adalah atas izin Allah. Bagi mereka yang beriman kemudian ditimpa musibah, serta ia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan takdir dari Allah, maka musibah tersebut merupakan kasih sayang Allah sehingga Ia akan memberikan hidayah kepada hamba-Nya yang beriman tersebut.

Orang-orang yang cerdas akan mengubah musibah menjadi rahmat, sedangkan orang-orang yang bodoh mengubah musibah menjadi dua kali bencana.

Sebagai contoh dalam sejarah, bahwa musibah dapat menjadi rahmat adalah ketika Nabi Muhammad s.a.w yang dalam perjalanan hidupnya penuh dengan ujian dan cobaan (musibah), sehingga hasilnya, ia menjadi Rasul yang pribadinya menjadi teladan bagi umat Islam dan umat manusia. Beliau juga mampu berkuasa, memimpin dan membangun Madinah setelah diusir oleh kaumnya dari tanah kelahirannya, Makkah.

Demikian pula, Nabi Ibrahim a.s mendapat gelar khalilullah (kekasih Allah) setelah dibakar hidup-hidup oleh Namruz; Nabi Nuh a.s dapat memimpin bangsanya setelah Tanah Airnya ditenggelamkan bersama istri dan anaknya; begitu juga nabi dan rasul lainnya.

Jelaslah bahwa Allah SWT menurunkan musibah kepada orang-orang yang beriman, apakah kehilangan harta, adanya penyakit atau lainnya, sudah pasti ada sesuatu hikmah yang besar yang akan diberikan kepada hamba-Nya tersebut, yang tentunya demi kebaikan atau kemaslahatan hamba-Nya itu. Namun dengan syarat, hamba-Nya itu bersikap sabar, ikhlas dan tawakkal menerimanya. Berkenaan dengan hal ini, perhatikan Surah al-Baqarah/2:157; “Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dalam menjelaskan ayat di atas, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, menguraikannya sebagai berikut:

Maka dengan ketabahan hati menghadapi, lalu mengatasi kesukaran dan kesulitan dan derita, untuk menempuh lagi penderitaan lain, perlindungan Tuhan datang, rahmat-Nya meliputi dan petunjuk pun diberikan. Jiwa bertambah lama bertambah teguh, karena sudah senantiasa digembleng dan disaring oleh zaman. Dengan ini diberikan ketegasan kepada kita, apakah keuntungan yang akan kita dapat kalau kita tahan menderita dan sanggup mengatasi penderitaan itu, atau lulus dari dalamnya dengan selamat?  Pertama, Tuhan memberikan Shalawat-Nya kepada kita, artinya bahwa kita dipelihara dan dijamin. Kedua, kita diberi limpahan Rahmat, yaitu kasing sayang yang tidak putus-putus. Tidak cukup hanya diberi Shalawat dan Rahmat, bahkan dijanjikan lagi dengan yang lebih mulia, yaitu diberi petunjuk di dalam menempuh jalan bahagia ini, sehingga sampai dengan selamat kepada yang dituju.

Dari penjelasan Hamka di atas, dapatlah dikatakan bahwa orang-orang yang terkena musibah, bila mereka berhasil menghadapinya dengan tabah, maka akan membawa kemaslahatan yang banyak bagi dirinya, seperti dipelihara, diberi kasih-sayang (rahmat) dan bahkan diberi petunjuk (huda) oleh Allah SWT., suatu nikmat yang luar biasa yang diberikan kepada mereka yang terkena musibah.

Demikianlah kata musibah, bisa memiliki makna kasih-sayang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Allah memberi kasih-sayang-Nya tentunya kepada hamba-Nya yang memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan-Nya, yakni orang-orang yang beriman.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *