Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 02 May 2018

Konsep Islam tentang Hubungan Majikan dan Buruh


islamindonesia.id – Konsep Islam tentang Hubungan Majikan dan Buruh

 

Tanggal 1 Mei biasa diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Hampir di seluruh dunia, peringatan tersebut kerap ditandai dengan aksi demo massal yang di dalamnya para demonstran menyampaikan tuntutan dan aspirasi,  menuntut hak yang belum dipenuhi oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Di antara hak buruh yang paling disorot dan menjadi isu utama dalam aksi-aksi semacam itu adalah soal besaran upah yang layak bagi para buruh. Dalam banyak kasus, sengketa antara majikan atau perusahaan dan buruh adalah soal upah mengupah tersebut, yang seringkali sulit menemukan kata sepakat.

Lalu, bagaimana sebenarnya Islam mengatur tentang hubungan antara majikan dan buruh, tak terkecuali soal pengupahan dimaksud? Hal seputar itu dibahas dalam fiqih muamalat.

Di antara fashal dalam fiqih muamalat adalah pembicaraan panjang mengenai konsep ijarah.

Ijârah pada hakikatnya termasuk akad jual-beli. Perbedaannya dengan jual-beli biasa ialah bahwa obyek akad (yang dibeli) dalam ijârah berupa jasa. Artinya, obyek akad tersebut tidak berupa barang melainkan berupa manfaat, baik manfaat barang maupun manfaat orang atau manfaat yang lahir dari pekerjaan orang yang dibahasakan sekarang dengan jual jasa.

Sedangkan `Iwâdl atau imbalan atas manfaat itu disebut ujrah, yang menjual disebut mu’jir/ajîr, dan yang membeli disebut musta’jir.

Dengan mencermati unsur-unsur ijârah tersebut, kita dapat memastikan bahwa akad kerjasama antara perusahaan dan buruh atau antara majikan dan karyawan merupakan bagian daripadanya, yakni termasuk akad ijârah. Majikan sebagai musta’jir dan karyawan/buruh sebagai ajîr. Akad kerjasama tersebut sah sepanjang memenuhi syarat-syarat yang mengacu pada prinsip-prinsip akad di antaranya yaitu;

Pertama, bahwa hukum asal dalam persoalan muamalat adalah ibâhah. Dengan demikian, untuk membolehkan suatu praktik mumalat tidak perlu mencari dalil yang membolehkannya, karena yang terpenting adalah adanya keyakinan bahwa tidak ada dalil yang melarang. Kaidah mengatakan (المعاملات طلق حتى يعلم المنع) persoalan-persoalan muamalat itu longgar sampai ada dalil yang melarang.

Kedua, Fiqih muamalat dibangun di atas prinsip -prinsip umum (المبادئ العامة) seperti keadilan, kesetaraan, musyawarah, dan tolong-menolong.

Ketiga, persoalan muamalat lebih menitik-beratkan pada substansi dan hakikat daripada bungkus dan format (العبرة بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني).

Keempat, fiqih muamalat dibangun di atas dasar memperhatikan `illat dan maslahat (مراعاة العلل والمصالح).

Oleh karena mua’amalah selalu mengandaikan keterlibatan aktif kedua belah pihak, maka dipersyaratkanlah sebuah ikatan dalam hubungan keduanya, itulah yang dalam fiqih disebut dengan fiqih `uqûd, yaitu fikih yang mengatur persoalan akad, kontrak atau perjanjian, seperti jual-beli, sewa, dan gadai.

Secara garis besar akad ada dua macam 1) Akad tabarru`, yaitu akad dimana salah satu pihak memberi tanpa menerima dari pihak lain. Dan 2) Akad mu`âwadlah, yaitu akad dimana masing-masing dari kedua belah pihak menerima sesuatu sebagai imbalan atas apa yang ia berikan (المعاوضة هي التى يأخذ فيها العاقد مقابلا لما يعطيه).

Di bawah akad muadadlah inilah bernaung peraturan (kontrak) kerja antara seorang buruh dengan perusahaannya. Akad ini bisa dianggap sah apabila memenuhi beberapa syarat: 1) Kerelaan kedua belah pihak (التراضي). 2) Tidak mengandung riba. 3) Tidak mengandung gharar. 4) Tidak mengandung dharar (mara bahaya).

Dan prinsip kelima, tidak ada pemerasan (عدم الاستغلال).

Demikianlah fiqih mengatur urusan antara pekerja dan perusahaan yang mensyaratkan adanya beberapa prinsip utama yang menghindarkan kedua belah pihak dari kerugian. Baik kerugian moril (kebebasan) maupun materiil (gaji dll).

Sesungguhnya bukanlah hal yang sulit menjalin hubungan yang baik antar pengusaha dan pekerja, karena pada dasarnya kelima prinsip fiqih muamalah di atas merupakan penerapan dari nilai-nilai kemanusiaan. Namun, mengatasi keterangan di atas adalah sebuah hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: tiga orang yang menjadi musuhku di hari kiamat nanti. Orang yang bersumpah atas nama-Ku kemudian berkhianat, orang yang menjual manusia merdeka kemudia ia memakan uangnya, dan orrang yang memperkerjakan buruh, lalu setelah buruh bekerja tidak diberikan upahnya.”

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *