Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 15 May 2016

KISAH NYATA–Dari Ayah Belajar Menjadi Ayah


IslamIndonesia.id–Dari Ayah Belajar Menjadi Ayah

“Jadi salah satu tujuanmu belajar silat agar hidupmu selamat?” tanya Ayah kepadaku suatu ketika, 34 tahun lalu. “Selamat dari gangguan orang? Biar saat ada orang jahat yang seenaknya mengganggumu kau bisa lawan setimpal bahkan kalahkan dan jatuhkan mereka, begitu?” lanjutnya lagi.

Belum sempat kujawab… “Kalau begitu, coba Ayah pukul kau pakai sebilah kayu ini. Dan coba sebisamu kau menghindar biar lututmu tidak bengkak, atau jangan-jangan malah kepalamu yang kena,” ujar Ayah lagi dengan mimik wajah serius.

Melihat ekspresi khas Ayah itu, aku hanya diam. Sadar bahwa selain bakal kerepotan menghindari serangan Ayah—yang menurut cerita orang-orang, di waktu mudanya dulu salah seorang pendekar silat kampung kami, di sisi lain aku juga berpikir, sekadar mengiyakan saja apa yang beliau mau pun, serasa merupakan sebentuk penentangan dan ketidaksopananku kepadanya.

Dan, karena itulah aku diam. Paham bahwa ekspresi khas yang kuhapal betul itu menandakan bahwa Ayah tak mau tujuanku belajar silat hanya untuk hal-hal remeh-temeh khas anak muda kala itu.

“Kalau mau selamat, cobalah mulai sekarang kau lebih belajar kendalikan dirimu dari gampang panik dan mudah marah. Kalau kau mampu menjadi orang yang tenang dan sabar, maka insya Allah orang lain pun bakal berpikir, buat apa mengalahkanmu. Mestinya kan begitu?” terang Ayah.

“Jadi, tak usahlah kau terus-terusan berguru soal jurus-jurus segala macam itu sampai jauh-jauh ke luar kampung kita pula. Kadang sampai lupa makan, lupa jaga kesehatan. Sering-sering pulang bakda Isyak, bahkan tengah malam… Ayah rasa, cukup lah. Karena yang ada, bukan dapat apa-apa selain keringat, atau.. yah mungkin sedikit kebugaran fisik, pasti kau dapat lah. Tapi Ibumu terus was-was, kepikiran kau tak segera pulang, kasihan kau kecapekan padahal besok kau mesti sekolah. Itu pun sudah tambahan beban buatnya. Dan tentu saja beban buat Ayah. Apa kau tak kasihan?” tanya Ayah, yang paham betul betapa kedekatan emosionalku dengan Ibu.

“Iya. Ibu. Kasihan..”

Entah kenapa, hanya tiga kata ini yang keluar dari mulutku waktu itu. Mungkin karena aku kaget bercampur sedih, tiba-tiba mesti berhenti berlatih silat setelah sekian lama menikmatinya bersama teman-teman sebayaku yang tak lama lagi bakal ikut ujian pengambilan sabuk hijau sebelum hitam. Atau mungkin karena apa yang dikatakan Ayah, lagi-lagi telak dan “kena di hati”, terutama soal kemampuanku dalam mengasah ketenangan dan meneguhi kesabaran, yang waktu itu harus kuakui masih sangat berantakan. Dan lebih dari itu semua, rasa kasihanku kepada Ibu, yang selama ini sama sekali tak kutangkap kegundahan dan was-wasnya memikirkanku, baru saja kusadari setelah Ayah mengingatkanku dengan cara uniknya sendiri.

Maka sebelum tiba jadwal latihan pekan berikutnya, dengan sepeda onthel warisan Kakek, buru-buru aku datangi rumah pelatihku di kampung sebelah yang jaraknya dari rumahku kurang lebih 25 kilometer jauhnya. Tujuanku hanya satu: pamit baik-baik, berhenti latihan silat di padepokannya, karena sesuatu dan lain hal yang tak mungkin kusebutkan apa adanya.

Maka begitulah di hari-hari berikutnya warna kehidupanku mulai berubah perlahan. Meski menuruti sepenuhna apa kata Ayah, ternyata bukanlah perkara mudah. Tapi toh, akibat dari “manut” nasihat Ayah, memang mulai terasa bahwa aku jadi lebih mengutamakan ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai masalah yang datang, daripada cenderung “grusa-grusu” seperti tabiat anak-anak sebayaku selama ini.

Dan dari situlah aku mulai sedikit paham, ternyata hidup dengan banyak kawan, jauh lebih mudah daripada hidup dengan banyak musuh. Dari situlah aku sadar, bahwa kawan dan musuh akan datang hanya jika kita sendirilah yang menghendakinya datang. Karena seperti kata Ayah, “Banyak sedikitnya musuh atau kawanmu. Semua itu adalah akibat, dari sebab yang kau sendiri buat. Bukan sesuatu yang “ujug-ujug” datang.”

Maka saat Ibu mengingatkanku untuk bersiap berangkat latihan minggu berikutnya, kepada beliau kukatakan, “Biarlah aku menjadi pendekar dalam ketenangan dan kesabaran, tanpa perlu terlampau banyak disibukkan dan kehilangan banyak waktu belajar jurus-jurus ampuh persilatan, Bu. Cukup bagiku tahu jurus-jurus itu sekadarnya saja. Toh jika aku punya versi lengkapnya pun, buat apa? Yang penting Ibu tak lagi keseringan was-was nunggu aku datang malam-malam tiap latihan.”

Ibu tak berkata apa-apa. Hanya tatap herannya yang sejenak tertuju kepadaku, setelah sejurus memperhatikan Ayah yang sedang duduk santai di atas dipan panjang, di teras depan rumah kami. Artinya, bahkan tanpa perlu banyak bicara pun, kami sudah saling mengerti.

Aku hanya bisa menduga, meski belum tentu tahu pasti duduk perkara dan kejadian istimewa yang telah terjadi antara aku dan Ayah beberapa hari lalu, sepertinya Ibu sudah bisa menangkap pesan bahwa keputusanku itu pasti salah satu efek dari “perbuatan” Ayah. Karena seperti itulah yang selama ini berlaku pada keputusan-keputusanku, tak ada yang murni hasil pemikiranku sendiri, melainkan pasti di dalamnya, ada “campur-tangan” Ayah.

Itulah sekelumit kisah hidup masa lalu yang kadang membuatku geli mengingatnya. Betapa Ayahku yang pendiam itu, benar-benar membuatku menjadi sosok yang kini begitu enggannya banyak bicara. Bukan sepenuhnya karena tak mampu tentu saja, tapi lebih karena tak mau, karena sadar bahwa akibat banyak bicara sangat berkemungkinan bakal banyak tersalah dan menyakiti hati orang lain saja.

Dulu, baik saat masih bujangan atau saat sudah berkeluarga tapi belum punya anak, sering aku heran sendiri, kenapa aku menjadi seperti Ayah tanpa beliau minta?

Kenapa anakku pun, ternyata mewarisi sifat ayahnya kini dan sifat kakeknya dulu? Mungkinkah tanpa kusadari, seperti Ayah dulu mengajariku sebagai anak lelakinya, begitu pula aku mengajari anakku yang keduanya laki-laki kini, selaku ayah mereka?

Jika benar, apakah kelak cucu-cucuku, jika dia laki-laki, akan menjadi serupa kami semua, kaum lelaki di keluarga besar kami?

Inikah sekelumit rahasia Tuhan dalam ranah penciptaan, khususnya terkait fitrah alamiah manusia dalam hal waris-mewarisi sifat dari ayah ke anak, dari anak ke cucu dan seterusnya?

Jawaban pasti dari pertanyaan terakhirku inilah yang perlu kucari tahu segera, sepertinya. Agar anak dan cucuku bisa menjadi manusia yang jauh dan jauh lebih baik lagi daripada kami, ayah dan kakek mereka.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *