Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 10 September 2022

Kedudukan Mulia Akal dalam Islam


islamindonesia.id – Akal memiliki posisi yang sangat mulia dalam Islam. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah, dalam permasalahan apa pun.

Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karenanya, dalam banyak ayat Alquran, Allah memberi semangat kepada manusia untuk menggunakan akalnya.

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (QS. an-Nahl:12)

 “Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. ar-Ra’d:4)

Sebaliknya, Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya, “Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (QS. al-Mulk: 10)

Kita pun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:

1. Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum.

Rasulullah s.a.w bersabda, “Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan ad-Daruquthni)

2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa, dan kehormatan.

3. Allah mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Berkenaan dengan hal ini, Allah  berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah:90)

Rasulullah s.a.w bersabda, “Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa al-Asy‘ari)

4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran mana pun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya; tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan.

Namun perlu diingat, meskipun akal dimuliakan sedemikian rupa, tapi kita harus menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.

Seperti kata ulama, Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berpikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika manusia lewat akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan izin Allah. Sebaliknya, jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah telah tetapkan maka ia akan membabi-buta.

Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara gaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Rasulullah s.a.w bersabda, “Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah subhanahu wa ta’ala dan jangan berpikir pada Dzat Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. ath-Thabarani, al-Lalikai, dan al-Baihaqi)

Allah berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (QS. al-Isra:85)

Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.

Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut.

Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu).

Seperti kata ulama, “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.”

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *