Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 23 August 2018

KAJIAN – Hukum Menggunakan Pengeras Suara di Masjid


islamindonesia.id – KAJIAN – Hukum Menggunakan Pengeras Suara di Masjid

 

 

Kasus yang menyeret Meiliana ke meja hijau kembali mengingatkan konflik sosial di Tanjung Balai dua tahun lalu. Ya, lagi-lagi ihwal urusan pengeras suara di masjid. Persoalan yang sensitif sekaligus menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi masa depan kerukunan di Indonesia.

Namun sebelum berbicara lebih jauh ihwal solusi yang terbaik, apa sebenarnya hukum menggunakan pengeras suara di masjid?

Lembaga Fatwa Mesir, misalnya, telah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan pengeras suara yang digunakan di masjid-masjid. Pada dasarnya, kata Dewan Fatwa itu, Islam merupakan agama toleran, seimbang, memiliki cita rasa dan seni, serta merupakan agama kasih sayang. Sifat-sifat ini tidak menafikan keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar di sisi Allah.  Meski demikian, “Islam tidak memaksa seorang pun untuk masuk ke dalamnya, juga tidak memaksa seorang pun untuk mendengarkan isi ajarannya,” kata fatwa itu seperti dikutip dar-alifta.org.eg

Atas dasar ini, kaum Muslimin wajib melaksanakan syiar-syiar agama mereka dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diajarkan. Seorang Muslim tidak boleh menjadi penyebab kekacauan dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat atau menjadi penghalang antara hamba dan Tuhannya dengan alasan berdakwah.

“Hal ini seperti memperdengarkan ceramah agama atau bacaan Al-Qur’an tanpa memperhatikan kondisi masyarakat sekitar, sehingga mengganggu ketenangan dan waktu istirahat mereka dan membuyarkan konsentrasi mereka yang sedang bekerja.”

Padahal, penyampaian dakwah harus disesuaikan dengan waktu, kemampuan dan kesiapan mukallaf, sehingga tidak sepatutnya menggunakan pengeras suara milik masjid jika mengganggu ketenangan masyarakat, baik di waktu malam maupaun di siang hari dengan alasan memberikan nasihat dan pentingnya isi ceramah yang disampaikan.

Tidak hanya ulama Suni yang moderat seperti di Mesir, kalangan ulama Wahabi seperti di Saudi juga melarang menggunakan pengeras suara yang keras dapat mengganggu warga sekitar. Karena itu, Kementerian Urusan Islam Arab Saudi telah memerintahkan masjid-masjid di negara itu untuk mematikan pengeras suara luar dan hanya menggunakan pengeras suara di dalam masjid.

Di Iran, fatwa ulama juga mempertimbangkan situasi masyarakat sekitar masjid. Pemimpin spiritual Iran Ali Khamenei misalnya mengatakan,  “Mengumandangkan adzan jika pada batas-batas wajar tidak masalah, namun jika sudah mengganggu warga bahkan menyakiti warga maka hukumnya Haram.”

Adapun Ayatulah Hadi Tehrani berfatwa, “Silahkan memakai pengeras suara ketika mengumandangkan azan dan syiar Islam lainnya dengan syarat: Tidak mengganggu warga sekitar. Memakai pengeras suara tanpa meminta kerelaan warga sekitar tidak diperbolehkan oleh syariat. Mengeraskan suara sampai batas yang tidak wajar sehingga menyakiti warga sekitar hukumnya haram dan dosa. Karena azan adalah hal Sunah sedangkan menyakiti dan mengganggu orang lain haram dan wajib ditinggalkan.”

Di Indonesia sendiri, KH. Abdurahman Wahid telah menyinggung persoalan ini 36 tahun lalu. Pria yang pernah memimpin Nahdatul Ulama ini memulai uraiannya dengan hadis Nabi yang bersabda; Kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun).

“Selama dia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun. Allah sendiri telah menyediakan “mekanisme” pengaturan bangun dan tidurnya manusia dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri.”

Jadi, kata Gus Dur, tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang – kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama ‘illat.

“Ada kiai yang mengetuk pintu kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘illat: bukankah sang suami harus menjadi teladan anak-anak dan istrinya di lingkungan rumah tangganya sendiri?”

Tetapi, lanjut Gus Dur, ‘illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak. Wanita yang haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Demikian juga anak-anak yang belum akil baligh. []

 

YS/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *