Satu Islam Untuk Semua

Friday, 17 June 2016

FIKIH–Seputar Ibadah Puasa Ramadhan Menurut Pelbagai Mazhab


Fikih seputar ibadah puasa menurut pelbagai mazhab

IslamIndonesia.id

– FIKIH–Seputar Ibadah Puasa Ramadhan Menurut Pelbagai Mazhab

Seluruh ahli fikih sepakat bahwa syarat-syarat sah puasa adalah sebagai berikut:

Islam

Seluruh ahli fikih sepakat bahwa puasa orang kafir tidak sah.

Berakal

Seluruh ahli fikih sepakat bahwa puasa orang gila tidak sah. Adapun baligh bukan termasuk syarat sah puasa, karena anak yang sudah mumayyiz puasanya sah.

Niat

Seluruh ahli fikih juga sepakat bahwa puasa tanpa niat, tidak sah.

Tidak dalam keadaan haid atau nifas

Oleh sebab itu, jika orang yang sedang haid atau nifas berpuasa, maka puasanya tidak sah. Begitu pula wanita yang mengalami haid dan nifas di siang hari saat dia melakukan puasa.

Tidak dalam keadaan sakit

Menurut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan mazhab-mazhab yang lain, sehat bukanlah termasuk syarat sahnya puasa. Oleh karena itu, orang yang sakit dapat memilih untuk berpuasa atau tidak. Jika dia berpuasa, maka puasanya tetap sah.

Meski demikian, menurut mereka, hukum tersebut berlaku bagi orang yang tidak memiliki dugaan kuat bahwa puasa yang dilakukannya akan membahayakan diri atau membuat salah satu indranya menjadi tidak berfungsi (cacat). Sebaliknya, apabila memiliki dugaan kuat atas semua itu, dia harus berbuka; bila tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah.

Sedangkan menurut para ahli fikih mazhab Ja’fari, jika seseorang berpuasa dalam keadaan sakit, dan puasanya dapat mengakibatkan bertambah parahnya penyakit itu atau memperlambat proses penyembuhannya, maka puasa baginya diharamkan. Melakukan ibadah itu dilarang apabila mendatangkan bahaya baginya.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh para ahli fikih mazhab Dawud Al-Zhahiri. Mereka mengatakan bahwa puasa yang dilakukan dalam keadaan sakit itu tidak sah; kewajibannya adalah melakukan puasa di hari-hari yang lain.

Faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat ini adalah:

Pertama, pemahaman tentang ayat yang berbunyi:

qs. albaqarah 185

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Bagi yang memahami ayat tersebut secara tekstual, maka ayat tersebut mewajibkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan menggantinya di hari lain. Sementara bagi orang yang memahaminya tidak secara tekstual, maka mereka memahaminya seolah-olah ayat tersebut berbunyi “Dan barangsiapa sakit (kemudian dia berbuka) maka wajib baginya berpuasa pada hari-hari yang lain.”

Kedua, perbedaan pemahaman tentang orang yang sedang sakit yang meninggalkan puasa; apakah itu merupakan ‘azimah (keharusan) ataukah rukhshah (keringanan).

Mereka yang menganggapnya sebagai keharusan, maka tidak membolehkan orang sakit melakukan puasa. Sedangkan mereka yang menganggapnya sebagai rukhshah, membolehkan orang-orang yang sakit dan dalam perjalanan berpuasa atau berbuka.

Tidak dalam perjalanan yang mengharuskan seseorang meng-qashar (meringkas) shalatnya (sesuai dengan jarak perjalanan yang telah ditentukan oleh setiap mazhab)

 

Menurut berbagai mazhab, sebagaimana halnya orang yang sakit, maka melakukan perjalanan bukanlah syarat sah puasa. Artinya, jika seseorang melakukan perjalanan dan berpuasa, maka puasanya tetap sah. Tetapi diperbolehkan baginya berbuka, jika dia melakukan perjalanan tersebut sebelum terbit fajar, dan sebelum terbit fajar dia juga harus mencapai mahal tarakhkhush, yaitu batas tertentu yang mensyaratkan untuknya melakukan shalat qashar. Namun jika perjalanannya dilakukan setelah terbit fajar, maka diharamkan baginya berbuka. Jika berbuka, maka dia harus meng-qadha puasanya serta membayar kafarah.

Imam Syafi’i menambahkan satu syarat lagi, yaitu hendaknya musafir tersebut bukan orang yang rutinitasnya melakukan perjalanan, seperti supir. Bagi yang pekerjaannya selalu melakukan perjalanan, wajib berpuasa. Dan jika perjalanan tersebut bukan merupakan pekerjaan rutinnya, dia diperbolehkan untuk tidak berpuasa, karena seorang musafir dapat memilih untuk berpuasa atau tidak.

Sedangkan menurut mazhab Ja’fari, tidak dalam perjalanan merupakan salah satu syarat sah puasa. Jika seseorang yang sedang dalam perjalanan (musafir) tetap berpuasa, maka puasanya batal dan wajib meng-qadha puasanya, tanpa membayar kafarah.

Hukum tersebut berlaku jika dia melakukan perjalanan sebelum tergelincirnya matahari. Namun, jika melakukan perjalanan pada saat matahari tergelincir atau sesudahnya, dia harus tetap berpuasa. Dan jika berbuka, maka dia meng-qadha puasanya sekaligus membayar kafarah. Kafarahnya ialah membebaskan budak, memberi makan enam puluh fakir miskin, dan berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Mana yang lebih utama bagi musafir; berbuka ataukah berpuasa?

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, yang lebih utama baginya adalah berpuasa. Sementara Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya, yang lebih utama baginya adalah berbuka.

Sedangkan menurut Imam Dawud Al-Zhahiri, sang musafir dapat memilih; berpuasa atau berbuka.

Bukan wanita hamil yang hampir melahirkan atau wanita yang sedang menyusui

Menurut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali adalah sebagai berikut:

Mereka sepakat bahwa wanita hamil yang mendekati masa melahirkan dan wanita yang menyusui berpuasa, maka puasanya sah. Mereka juga sepakat bahwa dia dibolehkan untuk berbuka, baik karena khawatir akan membahayakan dirinya, janin atau bayinya. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah si wanita wajib meng-qadha puasanya.

Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Al-Auza’i, wanita yang hamil atau menyusui, wajib meng-qadhanya. Sedangkan menurut Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar, tidak wajib meng-qadhanya.

Mereka juga berbeda pendapat apakah mereka harus membayar fidyah satu mud (750 gr).
Menurut mazhab Hanafi, Al-Tsauri, Al-Muzani, al-Zuhri, tidak wajib membayar fidyah.
Menurut Syafi’i dan Hanbali, wajib membayar fidyah.
Menurut mazhab Maliki dan Abdurrahman Al-Auza’i, yang diwajibkan membayar fidyah adalah wanita yang menyusui dan bukan wanita hamil.

Sedangkan menurut mazhab Ja’fari, wanita hamil yang masa melahirkannya sudah dekat dan wanita yang sedang menyusui, tidak dibolehkan berpuasa, jika puasa tersebut dapat membahayakan dirinya dan janinnya atau anak yang sedang disusuinya.

Selain itu, para ahli fikih mazhab Ja’fari berbeda pendapat tentang wanita yang khawatir puasa akan membahayakan dirinya; apakah dia wajib meng-qadha puasanya saja ataukah juga dengan membayar fidyah sebanyak satu mud (750 gr beras). Namun, mereka bersepakat jika khawatir membahayakan janin atau anak yang disusuinya, maka wanita tersebut wajib meng-qadha puasanya sekaligus membayar fidyah.

Tidak dalam keadaan mabuk atau pingsan

Demikian menurut para ahli fikih mazhab Syafi’i. Mereka mengatakan, puasa orang yang mabuk dan pingsan tidak sah, jika kesadarannya hilang di sepanjang waktu puasa. Tetapi jika keduanya hilang kesadaran hanya pada sebagian waktu, maka puasa kedua orang ini tetap sah.

Namun orang yang pingsan wajib meng-qadha puasanya secara mutlak, baik yang pingsan itu disebabkan dirinya atau pun bukan. Adapun orang yang mabuk tidak diwajibkan men-qadha puasanya, kecuali jika mabuknya itu disebabkan dirinya secara langsung.

Menurut para ahli fikih mazhab Maliki, syarat sah puasa adalah tidak dalam keadaan mabuk dan pingsan. Mereka mengatakan bahwa orang yang mabuk dan pingsan, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, atau kehilangan kesadaran pada sebagian besar waktu puasa, maka puasanya tidak sah. Tetapi jika keduanya hilang kesadaran hanya setengah hari, atau kurang dari setengah hari, dan pada saat niat keduanya berada dalam keadaan sadar, dan juga telah berniat, kemudian mabuk dan pingsan, maka keduanya tidak diwajibkan meng-qadha puasanya.

Menurut ahli fikih mazhab Hanafi, orang pingsan itu seperti orang gila. Adapun hukum orang gila; jika gilanya selama satu bulan penuh, maka dia tidak wajib meng-qadha puasa. Namun jika gilanya hanya setengah bulan saja dan setengah bulan berikutnya sadar, maka dia tetap harus berpuasa dan wajib meng-qadha puasa yang ditinggalkannya saat dirinya gila.

Menurut ahli fikih mazhab Hanbali, orang mabuk dan pingsan wajib meng-qadha puasanya; baik mabuk dan pingsan karena perbuatan dirinya atau pun bukan.

Sedangkan menurut para ahli fikih mazhab Ja’fari, orang yang pingsan tidak wajib berpuasa bila tersadar pada sebagian siang saja, kecuali jika sebelum pingsan dia telah berniat untuk berpuasa kemudian tersadar, maka dia harus melanjutkan puasanya. Mereka hanya mewajibkan orang yang mabuk untuk meng-qadha puasanya; baik mabuk karena perbuatan sendiri atau pun bukan. Tetapi orang yang pingsan tidak diwajibkan meng-qadha puasanya jika pingsannya sebentar.

 

Tom/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *