Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 11 June 2016

FIKIH—Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal Menurut Lima Mazhab (Bagian Akhir)


IslamIndonesia.id – FIKIH—Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal Menurut Lima Mazhab (Akhir)

Bagaimanakah perbedaan pendapat di kalangan ulama jika penduduk suatu daerah melihat hilal sedangkan yang lainnya tidak, apakah mereka wajib berpuasa? Bagaimana halnya dengan hilal yang tampak di siang hari? Bagaimana peran ru’yatul hilal? Bagaimana jika langit berawan dan hilal tidak tampak?

Pertama, jika hilal tampak pada suatu daerah, apakah seluruh penduduk berbagai daerah juga wajib berpuasa? Menurut mazhab Syafi’i dan Ja’fari, jika penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain tidak melihatnya, bila dua daerah itu berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi jika kemunculannya berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum yang berbeda.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali, jika telah tampak hilal di suatu daerah, maka seluruh penduduk berbagai daerah wajib berpuasa, tanpa membedakan antara jauh dan dekat, dan tidak perlu lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal.

Ibnu Juzai al-Maliki dalam bukunya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, mengatakan jika penduduk suatu daerah melihat hilal, maka penduduk yang ada di daerah lain wajib berpuasa. Pendapat sama juga disampaikan oleh mazhab Syafi’i, hanya saja dia mengatakan jika daerah tersebut letaknya sangat jauh, maka tidak wajib berpuasa.

Kedua, jika hilal tampak di siang hari sebelum tergelincir matahari atau sesudahnya pada tanggal 30 Sya’ban, maka timbul pertanyaan apakah itu hilal akhir Sya’ban ataukah awal bulan Ramadhan?

Menurut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ja’fari, hilal tersebut adalah hilal akhir Sya’ban, karena itu dia wajib berpuasa pada hari berikutnya.  Akan tetapi, Sayyid Murtadha mengatakan, jika melihatnya sebelum tergelincirnya matahari, artinya itu adalah hilal malam kemarin. Tetapi jika melihatnya setelah matahari tergelincir, maka berarti itu hilal malam yang akan datang. Pendapat sama juga disampaikan oleh Qadhi Abu Yusuf.

Jika ada hilal tampak di siang hari 30 Ramadhan, apakah itu adalah hilal akhir bulan Ramadhan ataukah hilal Syawal?

Menurut mazhab mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ja’fari, hilal tersebut merupakan hilal akhir bulan Ramadhan, sehingga hari berikutnya wajib berbuka. Ini sesuai dengan riwayat al-A’masy dari Abu Wail Syaqiq bin Salamah yang berkata, “Pada suatu ketika, salah seorang juru tulis Sayidina Umar bin Khattab datang kepada kami, sementara kami tengah kebingungan mengenai hilal; sebagian lebih besar dari yang lain. Lalu Sayidina Umar berkata, ‘Jika kalian melihat hilal di siang hari, maka janganlah kalian berbuka sehingga ada dua orang yang memberi kesaksian bahwa kemarin mereka telah melihat hilal.”

Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi), Al-Tsauri, dan Ibnu Habib (ahli fikih mazhab Maliki) mengatakan, jika hilal tampak sebelum matahari tergelincir, maka itu adalah hilal malam kemarin. Namun jika hilal tersebut tampak setelah matahari tergelincir, itu adalah hilal malam berikutnya. Ini berdasarkan riwayat dari Al-Tsauri bahwa suatu ketika seseorang melaporkan kepada Sayidina Umar bin Khattab tentang kaum yang melihat hilal setelah matahari tergelincir, dan mereka berbuka. Lalu Sayidina Umar bin Khattab menulis surat kepada mereka dan mencela sambil berkata, “Jika kalian melihat hilal di siang hari sebelum matahari tergelincir, maka berbukalah. Namun jika kalian melihatnya setelah matahari tergelincir, maka kalian jangan berbuka.”

Ketiga, para ahli fikih sepakat bahwa hilal Ramadhan harus ditetapkan dengan ru’yah (penglihatan). Ini berdasarkan sabda Baginda Rasulullah Saw, “Berpuasalah kalian setelah melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian setelah melihatnya (hilal).”

Dan sabda lainnya, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya, maka berbukalah.”

Namun demikian, mereka berbeda pendapat tentang hukum penetapan bulan Ramadhan tanpa menggunakan ru’yah.

Menurut mazhab Hanafi, penetapan hilal bulan Ramadhan cukup dengan kesaksian seorang laki-laki; jika di langit terdapat penghalang. Tetapi jika langit cerah, maka hilal tidak dapat ditetapkan kecuali dengan kesaksian orang banyak sehingga didapatkan suatu keyakinan yang pasti melalui berita yang mereka sampaikan. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara hilal bulan Ramadhan atau Syawal.

Menurut mazhab Syafi’i dan mayoritas ahli fikih mazhab Syafi’i, penetapan hilal bulan Ramadhan harus dengan kesaksian seorang laki-laki yang adil (dengan syarat dia seorang Muslim, berakal dan adil). Dalam hal ini tidak dibedakan apakah langit cerah atau berawan. Sedangkan penetapan hilal Syawal tidak dapat menggunakan kesaksian seorang laki-laki. Dan pendapat Syafi’i yang lain; penetapan hilal harus dengan kesaksian dua orang laki-laki. Pendapat sama juga disampaikan oleh mazhab Hanbali.

Menurut mazhab Ja’fari, hilal dapat ditetapkan melalui tawatur (banyak orang yang melihat hilal), atau berlalunya 30 hari dari bulan Sya’ban, atau ketetapan seorang hakim, atau kesaksian dua orang laki-laki yang adil, dengan syarat, kesaksian keduanya itu tidak saling bertentangan dalam menyifati ciri-ciri hilal. Dalam hal ini tidak ada perbedaan; apakah cuaca pada waktu itu cerah atau berawan; apakah dua saksi itu dari satu daerah ataukah yang berdekatan; apakah hilal bulan Ramadhan ataukah Syawal.

Sedangkan menurut mazhab Maliki, al-Auza’i, dan al-Laits bin Sa’ad, hilal tidak dapat ditetapkan kecuali dengan kesaksian dua orang adil, tanpa membedakan antara hilal bulan Ramadhan dan Syawal, baik cerah atau berawan. Jika yang melihat hilal Ramadhan tersebut hanya satu orang saja, maka tidak boleh berpuasa. Begitu pula jika yang melihat hilal Syawal hanya satu orang, juga tidak boleh berbuka.

Menurut mazhab Hanbali, penetapan hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian seorang yang adil, baik perempuan maupun laki-laki. Adapun hilal Syawal harus ditetapkan dengan kesaksian dua orang adil.

Keempat, jika tidak ada seorang pun yang dapat melihat hilal awal bulan Ramadhan karena langit berawan; apakah orang harus menyempurnakan bulan Sya’ban sampai 30 hari, dan wajib berpuasa setelah 30 hari dari bulan Sya’ban ataukah tidak?

Menurut mazhab mazhab Maliki, Syafi’i dan Ja’fari, jika tidak ada seorang pun yang dapat melihat hilal awal bulan Ramadhan dan langitnya berawan, maka (semuanya) harus menyempurnakan bulan Sya’ban hingga 30 hari dan wajib berpuasa bulan Ramadhan setelah 30 hari bulan Sya’ban.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, wajib berpuasa setelah 29 hari (bulan Sya’ban), bukan setelah 30 hari.

Itu yang terkait dengan hilal awal Ramadhan, sedangkan yang terkait dengan hilal Syawal sebagai berikut:

Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, jika langitnya berawan, harus menyempurnakan Ramadhan menjadi 30 hari, dan setelah itu wajib berbuka. Tetapi jika langitnya cerah, maka wajib berpuasa satu hari berikutnya setelah 30 hari (menambah satu hari lagi setelah 30 hari Ramadhan) dan mendustakan kesaksian orang-orang yang bersaksi dalam penetapan hilal awal Ramadhan; berapa pun jumlah mereka.

Menurut mazhab Syafi’i, wajib berbuka setelah 30 hari – walaupun penetapan hilal Ramadhan dilakukan seorang saja – dan tidak dibedakan apakah langit cerah ataukah berawan.

Menurut mazhab Hanbali, jika Ramadhan ditetapkan dengan kesaksian dua orang adil, maka wajib berpuasa selama 30 hari. Tetapi jika Ramadhan itu ditetapkan hanya oleh seorang yang adil, maka wajib berpuasa selama 31 hari.

Sedangkan menurut mazhab Ja’fari, jika tidak ada seorang pun yang dapat melihat hilal (Ramadhan dan Syawal), maka penetapan awal Ramadhan adalah dengan menyempurnakan bulan Sya’ban sampai 30 hari, dan penetapan awal bulan Syawal dengan menyempurnakan bulan Ramadhan sampai 30 hari. Dalam hal ini tidak dibedakan antara cuaca cerah atau pun berawan; selama awal bulan telah ditetapkan dengan cara yang benar dan sesuai dengan syariat.

Tom&AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *