Demi Kejayaan Sebuah Industri
Judul: Bongkah Raksasa Kebohongan
Penulis: Mardiyah Chamim. Wahyu Dhyatmika, Farid Gaban dkk.
Tebal: xxii + 250 halaman.
Penerbit: KOJI Communications bekerja sama dengan TEMPO Institute, Desember 2011
_________________________
Kepak sayap industri rokok semakin merambah kemana-mana. Pengaruhnya tertanam di kalangan anak-anak hingga orang-orang dewasa. Tanpa pembatasan, akan menjadi pertanda buruk bagi kesehatan bangsa.
Beberapa bulan yang lalu, dunia sempat dikejutkan kembali oleh sebuah kabar tentang Indonesia di Daily Mail. Surat kabar terbesar di Inggris tersebut memuat berita dan foto-foto tentang Aldi Alham, seorang bocah usia 8 tahun asal Sukabumi yang tiap hari bisa menghabiskan 20 batang rokok. Akibat kebiasaan buruk ini, Aldi yang mengaku sudah merokok sejak umur 4 tahun ini, harus dirawat secara intensif karena beberapa organ tubuhnya sudah terlanjur rusak.
Aldi tidak sendiri. Situasi yang lebih parah juga pernah dialami Ardi Rizal. Bocah berusia 2 tahun asal Palembang itu menghisap rokok sebanyak 40 batang setiap harinya. Begitu tercandunya Ardi dengan rokok hingga beberapa instansi kesehatan dan lembaga swadaya masyarakat harus turun tangan menyembuhkan fisik dan psikisnya yang nyaris hancur. Daily Mail juga menyebut jutaan anak berusia di bawah 16 tahun sudah menjadi perokok aktif. Di Indonesia, sepertiga anak-anak sudah coba merokok saat mereka belum masuk usia 10 tahun.
Sebagai pihak yang harus bertanggungjawab terhadap situasi tersebut, adakah perhatian dari industri rokok? Alih-alih peduli, yang ada malah industri rokok semakin aktiv membombardir masyarakat dengan berbagai upaya promosi: mulai dukungan yang besar terhadap kegiatan-kegiatan olahraga, konser musik hingga upaya penjegalan kampanye pengendalian asap rokok via politisasi para petani tembakau yang sebenarnya sebagian besar secara ekonomi tak berdaya.
Menurut Mardiyah Chamim, buku Bongkahan Raksasa Kebohongan(BRK) merupakan usaha para jurnalis Indonesia untuk secara jujur melihat rokok sebagai bagian dari instrumen bisnis yang menggiurkan bagi para kapitalis. Bukan sama sekali bertujuan untuk berlaku sebagai para “aktivis anti rokok” yang sumuhun dawuh terhadap kekuatan asing.
“Selain itu, buku ini adalah wujud kepedulian kami untuk mendorong regulasi rokok lebih berpihak kepada kesehatan publik…,”tulis jurnalis senior tersebut.
Penekanan terhadap upaya mengedepankan kesehatan publik tersebut perlu dilakukan, mengingat kesehatan adalah hak universal bagi setiap manusia. Posisinya jauh lebih memiliki dasar dibanding klaim yang menggembar-gemborkan bahwa “merokok adalah hak asasi setiap orang”. Kalaupun merokok dianggap hak asasi personal maka statusnya harus mengacu kepada hak asasi manusia untuk sehat yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 November 1948.
BRK pun secara ciamik membantah pendapat miring yang menyebut para aktivis pengendalian tembakau sebagai “serdadu bayaran” kekuatan negara-negara maju yang bertugas menghabisi industri rokok lokal di Indonesia. Menurut Felix Lamuri, yang menulis bab Tujuh Mitos Pengendalian Tembakau dalam buku ini, upaya pertama kali pengendalian tembakau justru digagas oleh negara-negara berkembang.Negara-negara yang memiliki industri rokok raksasa seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang, pada awalnya malah menolak.
“Jika konsumsi rokok dikendalikan, pabrik rokok asing justru tidak akan masuk ke Indonesia. Philips Morris masuk ke Indonesia karena melihat pasar yang potensial di Indonesia: penduduknya banyak, aturannya longgar,”tulis Felix.
Bahkan dalam BRK juga disebut bahwa terakakuisisinya Sampoerna olehPhilips Morris pada 2005, didasarkan pada hasil pembacaan “tanda-tanda zaman” oleh pihak H.M Sampoerna terhadap masa depan industri rokok yang “terlihat” bergerak “landai dan menurun”. Jadilah mereka melego angsa “petelur emas-nya” ke pihak perusahaan asing.
Apakah “tanda-tanda zaman” itu terdeteksi juga kemudian oleh pihakPhilip Morris. Ataukah justru mereka telah memiliki antisipasi dan strategi jitu untuk mempertahankan pasar yang begitu seksi di negara yang memiliki jumlah penduduk ke-5 terbesar di dunia ini?
Saya tidak tahu. Yang jelas, sejak “kekuatan asing” ikut larut dalam persaingan bisnis antara industri rokok di Indonesia, berbagai promosi yang terkait dengan benda bernikotin ini berjalan semakin menggila. Hebatnya, mereka menampilkan diri sebagai penyokong kreasi-kreasi anak muda yang inovatif, pendukung kemajuan prestasi olahraga dan perekat kesetiakawanan nasional di kalangan orang-orang Indonesia. Sementara di berbagai pelosok Indonesia, bocah-bocah seperti Aldi dan Ardi berjatuhan sebagai tumbal kejayaan bagi industri rokok.
Leave a Reply