Satu Islam Untuk Semua

Monday, 02 November 2015

CERPEN – Khadijah, Muslimah Sejati


Lepas melantunkan doa pagi, Fatimah biasanya duduk membaca satu surah dari kitab suci Alquran. Dia selalu merasakan kenikmatan tersendiri dalam membaca setiap ayat saat merenungkan makna dari ayat-ayat Ilahi yang mulia. Pada saat-saat seperti itu, dia merasa seolah tengah naik pesawat di dunia spiritual yang sangat sakral.

Ayat-ayat Ilahi yang ia baca dari Alquran selalu memberi pelajaran yang menerangi hidupnya. Misalnya ayat, “Dan salah satu dari tanda-tandaNya ialah Dia menciptakan pasangan untukmu dari dirimu sendiri agar kamu dapat merasakan ketenangan dengan mereka, dan Dia menciptakan cinta di antara kalian. Ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Rum, 30:21)

Demikian juga ayat,”Dan mereka mengatakan: ‘Oh Tuhan Kami! Berilah kami keturunan sebagai cahaya mata dari istri-istri kami dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Furqan, 25:74)

Ayat ini mengingatkan Fatimah pada sejumlah tokoh di kalangan Muslimin yang kondang. Dia menghela napas panjang. Wanita itu merasa sangat sedih saat menyaksikan sejumlah Muslim yang gagal dalam perjuangan menuju kesempurnaan. Tapi ternyata, masih ada contoh yang cukup menjanjikan.

Teringat temannya, Khadijah, yang baru menyulam kehidupan pernikahan dan sekarang sedang mengunjungi beberapa tempat suci selama bulan madu. Khadijah, Muslimah yang baik dan telah memilih pasangan hidupnya dengan hati-hati, sesuai kriteria-kriteria agama. Dia menolak semua tradisi yang mendistorsi makna dan esensi pernikahan dalam Islam. Khadijah selalu mengatakan, pernikahan dalam kacamata Islam adalah fondasi pertama dalam menciptakan generasi Muslim yang saleh.

Fatimah lalu berdoa pada Allah untuk membimbing Khadijah memasuki kehidupannya yang baru. Tidak lama setelah usai berdoa, bel rumahnya tiba-tiba berdentang. Temannya datang memberitahu bahwa Khadijah sudah selesai bulan madu dan sekarang menetap di rumah barunya. Mendengar itu, Fatimah bergegas mengenakan jilbab. Dia ingin segera mengunjungi Khadijah. Tapi sang teman mengatakan bahwa masih terlalu pagi untuk mengunjungi Khadijah. Dan mungkin saja, Khadijah belum siap dikunjungi.

Fatimah kaget. Bagaimana mungkin Khadijah menolak kunjungan sesama Muslimah? Kesedihan tampak di wajah . Dia berkata, “Saya tidak percaya. Ayo kita pergi dan menjernihkan masalah ini.”

“Oh, mungkin Khadijah bisa terganggu [dengan kedatangan kita] karena beberapa alasan tertentu,” kata temannya

“Ya, mungkin begitu. Kalau tidak, dia tidak akan menolak kunjungan temannya hanya karena dia tak punya perabotan atau alasan serupa. Dia tidak pernah khawatir tentang hal-hal yang berbau materialis.”

Hari itu, Fatimah menghabiskan harinya dengan perasaan risau. Dia takut, jangan-jangan Khadijah telah tercemar dengan nilai-nilai palsu di lingkungannya. Tapi dia yakin temannya itu seorang Muslimah yang baik dan tidak akan begitu cepat berubah.

Malam hari, pukul sembilan. Bel rumah Fatimah kembali berdentang. Dia membuka pintu. Betapa senang Fatimah saat melihat Khadijah lah yang berdiri di depannya. Dia hampir tak percaya pada matanya. Kedua Muslimah itu langsung berpelukan dan saling cium. Fatimah mengucapkan selamat pada Khadijah, dan menceritakan betapa besar keinginannya untuk mengunjungi Khadijah.

Khadijah sendiri mengatakan dirinya terkejut mengapa Fatimah tak segera mengunjunginya.

“Bukankah kamu yang mengumumkan bahwa kamu belum siap menerima teman-temanmu?” tanya Fatimah.

“Kenapa saya harus begitu? Saya sangat merindukanmu dan menunggu kedatanganmu sejak pulang ke rumah,” jawab Khadijah.

Fatimah berterus terang, “Ya, …  seseorang mengatakan bahwa rumahmu belum siap dikunjungi.”

Khadijah kaget dan berkata, “Oh, sayangku! Sejak kapan saya peduli pada hal-hal sepele seperti itu? Bagaimana mungkin kamu mempercayainya?”

Wajah Fatimah langsung sumringah mendengar jawaban ini. “Segala puji bagi Allah! Betapa bahagianya saya mendengar ucapanmu! Rumor tidak islami seperti ini memang harus segera dihentikan. Saya cukup senang kamu memulai kehidupan pernikahan sesuai dengan ajaran agama. Saya akan segera mengunjungimu, insya Allah.”

Dengan hangat, Khadijah menjawab, “Anda disambut kapan saja; lebih cepat lebih baik.”

Esok paginya, Fatimah menelepon beberapa teman dan mengusulkan kunjungan ke rumah Khadijah hari itu.

Fatimah berpikir untuk mengajak sepupunya yang sedang berbicara dengan ibunya di ruang sebelah. Fatimah menemui dan mengajak sepupunya itu untuk ikut serta. Tapi sepupunya menolak, “Ah, terima kasih, tapi…”

Fatimah terkejut mendengar jawaban sepupunya dan bertanya, “Ada apa? Bukankah kamu baru saja bilang ingin pergi dengan kami?”

Sepupunya menjawab, “Ya, tapi sepertinya kamu tidak ingin saya ikut.”

Fatimah kaget. “Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

“Mengapa kamu memberitahuku soal kunjungan di hari H? Bagaimana saya bisa siap-siap? Setidaknya saya perlu dua hari untuk membeli pakaian dan hadiah bagus. Apa kamu pikir saya datang mengunjunginya tanpa membawa hadiah?”

Fatimah mengatakan, “Bukan begitu…Sebuah hadiah bisa mempererat persahabatan dan memang dianjurkan dalam agama kita. Tapi membeli hadiah tidak harus menciptkan sebuah tekanan finansial. Jika tidak, maka hadiah akan lebih mirip sebagai pajak yang harus dibayar. Hadiah bisa saja sesuatu yang sederhana dan khusus. Nabi kita (saw) bahkan menerima secangkir susu sebagai hadiah.”

Sepupu Fatimah menjawab, “Apakah kamu pikir itu kita tidak akan malu jika memberinya hadiah murah?”

Dengan tegas Fatimah berkata, “Hadiah bernilai bukan karena harganya tapi karena pemberian itu sendiri. Sebuah buku yang bermanfaat, misalnya, adalah hadiah yang baik. Soal gaun baru, kusarankan kamu menggunakan gaun lamamu. Kamu bisa membeli yang baru lain waktu.”

Sepupu Fatimah berpikir sejenak, lalu setuju ikut pergi.

Pada H, sang pengantin baru, Khadijah, sibuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Dia sudah memasak kue untuk menjamu tamu yang sudah dinantikannya. Dia tetap terlihat santai dan aktif. Tiba-tiba bel pintu berdering. Salah satu kerabatnya, yang kebetulan juga tetangga, berdiri di depan pintu. Khadijah mengundangnya masuk. Mereka lalu duduk dan mengobrol sebentar. Sang kerabat membicarakan warga kota mereka, yang sebagian besar warganya orang kaya. Khadijah berkata, “Saya tak begitu peduli pada kota orang-orang kaya ini. Seorang Muslim sejati tidak akan mengubah dirinya agar sesuai dengan kelas tertentu.”

Sang tetangga menjawab, “Ya, saya hanya ingin memberitahumu beberapa hal mengenai kota yang sedang kau tinggali.”

“Apa itu benar-benar penting?” tanya Khadijah.

“Gaya jilbab Anda tidak diterima di sini. Anda tampak aneh.”

Khadijah dengan bangga menjawab, “Saya senang terlihat berbeda dengan pakaian islami yang sesuai untuk saya.”

Bingung, sang tetangga bertanya, “mengapa Anda harus senang saat berbeda dari orang lain?”

Khadijah berkata, “pertama, tujuan saya adalah mentaati Pencipta saya dan mendapat keridhaan-Nya. Saat memakai jilbab, saya juga sedang mengingatkan orang lain pada Allah dan kewajiban mereka untuk menyembah Dia sesuai ayat Alquran. ‘Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.’” (QS. Al-Zariat, 51:56)

“Tugas saya adalah mengajak pada yang baik dan menjauhi yang jahat. Dengan penampilan saya, saya mengajak orang-orang pada agama Allah. Bagaimanapun juga, terima kasih atas sarannya,” lanjut Khadijah.

Kerabat Khadijah itu tak percaya dengan apa yang ia dengarkan. Dia lalu mengalihkan pembicaraan. “Anda akan kedatangan tamu kan? Saya mencium bau kue.”

Khadijah tersenyum dan berkata, “Ya, beberapa saudara seiman saya akan datang.”

“Sayang sekali. Padahal perabotan rumah Anda belum lengkap.”

Kerabat Khadijah itu memandang sekeliling ruang tamu. “Karena Anda tak punya kursi, saya bisa meminjamkan beberapa pasang, dan perabot lainnya yang mungkin perlu.”

“Terima kasih banyak, tapi saya tidak perlu pinjam kursi. Saya bisa menerima tamu tanpa kursi. Hal-hal seperti itu nilainya kecil. Saya percaya pada ayat Alquran, ‘… Dan perhiasan emas. Semua itu adalah kenikmatan duniawi. Dan kehidupan akhirat di sisi Tuhanmu hanya untuk orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Zukhruf, 43:35)

Malam itu Khadijah menjamu teman-temannya, yang menikmati kunjungan dan disambut hangat oleh sang pengantin baru.

 

Anisa/al-islam.org.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *