Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 15 January 2023

Bukti Rasulullah Tekankan Prinsip dan Praktik Perdamaian dalam Islam


islamindonesia.id – Perdamaian merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Maka untuk mencapai kedamaian tersebut Ibnu Khaldun di dalam Mukaddimah-nya menyebutkan bahwa setiap manusia harus menjalin hubungan yang harmonis dengan yang lain. Karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang senantiasa melakukan interaksi. Bahkan Wahiduddin Khan di dalam bukunya The Ideology of Peace menyatakan bahwa perdamaian merupakan tanda dari eksistensi manusia itu sendiri.

Selain dipicu dari instrinsik diri manusia, nilai-nilai perdamaian juga dapat ditemukan dan diinspirasi dalam pandangan-pandangan keagamaan dan kemasyarakatan.

Seperti halnya Islam adalah agama perdamaian, banyak alasan untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Dan dalam hal ini Zuhairi Misrawi setidaknya telah memberikan 3 alasan di dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Toleransi.

Pertama, Tuhan adalah Mahadamai, karena salah satu nama-nama Tuhan di dalam al-asma al-husna, yaitu al-salam (Yang Mahadamai).

Kedua, perdamaian merupakan keteladanan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad s.a.w.

Ketiga, perdamaian merupakan salah satu bentuk ukuran tingginya peradaban manusia.

Selain itu, sebenarnya dari kata “Islam” itu sendiri berarti ‘kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan dan perdamaian (peace)’. 

Oleh karena itu lebih lanjut Zuhairi mengatakan bahwa perdamaian sebenarnya merupakan inti dari agama dan relasi sosial. Menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa dikategorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan.

Di dalam Al-Qur’an pun dengan tegas dijelaskan bahwa Allah SWT sangat menganjurkan hidup damai, harmonis dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa dan ras mereka. 

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah:8-9)

Imam al-Syaukani dalam kitabnya Fathul Qadir mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu non-Muslim yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang non-Muslim lainnya dalam memerangi umat Islam.

Adapun sebab turun ayat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya al-Musnad dari Abdullah bin Zubair, ia berkata: “Qatilah mendatangi putrinya, Aisyah binti Abi Bakar. Namun Asma’ enggan menerima hadiah dan kedatangan perempuan itu ke rumahnya. Karena itu, Aisyah menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi s.a.w. Maka Allah menurunkan surah al-Mumtahanah ayat 8-9. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan Asma’ untuk menerima hadiah dan kedatangan ibunya ke rumahnya.”

Rasulullah s.a.w juga memerintahkan untuk tidak berbuat zalim kepada non-Muslim yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam. Dalam hal ini Nabi s.a.w bersabda: “Siapa yang membunuh (non-Muslim) yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman surga. Sesungguhnya keharuman surga bisa dicium dari jarak empat puluh perjalanan (di dunia).” (H.R Ahmad, al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa’I, dan Ibn Majah)

Dalam implementasinya, Nabi s.a.w juga bergaul baik dengan orang-orang non-Muslim. Nabi s.a.w berinteraksi dalam masalah muamalah antara lain dengan seorang Yahudi bernama Abu Syahm.

Nabi s.a.w juga berhubungan baik dengan Mukhairiq seorang pendeta Yahud. Bahkan Mukhairiq ketika terjadi perang Uhud antara umat Islam dan paganis tahun 4 H, Mukhairiq ikut berperang di pihak Nabi s.a.w.

Demikianlah gambaran hidup damai di tengah pluralitas masyarakat yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w.

Sementara itu, seluruh praktik ritual keagamaan di dalam Islam pun selalu mempunyai visi dan misi untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Misalnya, setiap selesai shalat, umat Islam senantiasa membaca doa atau wiridan yang bersisikan tentang harapan untuk hidup damai. Wiridan tersebut berbunyi: “Wahai Tuhan, Engkau adalah Mahadamai, dari-Mu muncul kedamaian, dan kepada-Mu kedamaian akan kembali. Maka hidupkanlah kami dengan kedamaian dan masukkanlah kami ke dalam surga, rumah kedamaian.”

Rasulullah s.a.w juga sangat mengapresiasi umat Islam yang mendamaikan antara sesama manusia. Hal ini sebagaimana terekspos dalam kitab Shahih al-Buhkari. Rasulullah s.a.w bersabda, “Setiap ruas tulang pada manusia wajib atasnya shadaqah dan setiap hari terbitnya matahari di mana seseorang mendamaikan antara manusia maka terhitung sebagai shadaqah.”

Karena demikian pentingnya urusan berdamai dan hidup harmonis, sehingga Rasulullah s.a.w tidak menganggap “pendusta” bagi orang yang mengadu-domba antara kedua orang yang bertikai dengan mengatakan hal-hal yang baik di antara keduanya, karena tujuan sebenarnya orang tersebut adalah untuk mendamaikan, bukan mengadu-domba. Hal ini sebagaimana dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari disebutkan, “Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia lalu dia menyampaikan hal-hal yang baik (dari satu pihak yang bertikai) atau dia berkata hal-hal yang baik.”

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *