Satu Islam Untuk Semua

Friday, 10 February 2023

Betapa Besar Pahala ‘Menelan’ Amarah


islamindonesia.id – Secara psikologis, seseorang melampiaskan marah biasanya lantaran merasa benar. Sebaliknya, apabila bersalah ia merasa takut. Dalam konteks ini, marah karena benar dan takut karena salah, tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Islam justru mengajarkan agar dalam kondisi apa pun, seseorang harus mampu menahan marah.

Nabi s.a.w bersabda, “Barangsiapa yangmenahan marahpadahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah SWT akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia hingga (kemudian) Allah SWT membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” (HR. Abu Daud)

Kemudian Allah SWT mempertegas, “Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya. Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik.” (QS. as-Saffat:48-49). Di surga mereka dinikahkan, “Dan Kami nikahkan mereka dengan bidadari-bidadari.” (QS. ad-Dukhan:54)

Menurut pengarang Tafsir Jalalain, bidadari adalah wanita yang putih kulitnya dan jeli matanya serta sangat cantik rupanya. Allah SAW melukiskan, “(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam kemah-kemah.” (QS. ar-Rahman:72). Kondisi bidadari itu dianalogikan seperti gadis-gadis yang dipingit di dalam kemahnya.

Itulah pahala menahan marahyang berdimensi eksatologi dan diperoleh setelah kematian. Adapun dalam kehidupan di dunia saat ini, orang yang mampu menahan marah sudah tampak tanda-tandanya, yakni dipuja-puji oleh Rasulullah s.a.w sebagai orang yang perkasa. Dikatakan demikian karena dia dapat menaklukkan marah yang begejolak di dalam dirinya.

Satu waktu, Nabi s.a.w bertanya secara retoris kepada para sahabat, “Siapa yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa?” Para sahabat menjawab, “Dia yang tidak bisa dikalahkan keperkasaannya oleh siapa pun.”  Nabi s.a.w meluruskan, “Bukan demikian. Orang yang perkasa adalah orang yang bisa menahan dirinya ketika marah.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi s.a.w, “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah kamu marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi s.a.w (kerap kali) menjawab, “Janganlah kamu marah.” (HR. Bukhari) 

Akibat buruk marah salah satunya mengundang banyak musuh. Itulah mengapa orang bijak menyatakan, “Telanlah amarahmu, karena kau akan menyesal bila membaginya dengan orang lain.”

Dalam Nashaihul Ibad, Syaikh Nawawi Banten menulis ulang pesan Nabi Sulaiman kepada putranya, “Jangan kamu merasa banyak dengan memiliki seribu sahabat, karena seribu sahabat itu sedikit. Jangan pula kamu menganggap sedikit dengan memiliki seorang musuh, karena seorang musuh itu banyak.”

Selain itu, marah juga dapat merusak iman. Nabi s.a.w mewanti-wanti, “Marah itu dapat merusak iman seperti pahitnya jadam merusak manisnya madu.” (HR. Baihaki)

Jadam adalah getah berwana hitam pekat dan berasa pahit yang berasal dari pohon yang bernama Aloe Ferox. Saking pahitnya, jadam digambarkan dapat menghilangkan rasa manis pada madu.

Agar terhindar dari bahaya marah yang dapat meluluhlantakkan iman, Nabi s.a.w memberikan tip dan triknya. Beliau bersabda, “Bila salah seorang di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap juga, maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud)

Selain duduk dan berbaring untuk memadamkan api kemarahan, Nabi s.a.w juga mengajarkan agar berwudhu, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya berwudhu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *