Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 07 June 2023

Benarkah Dilarang Menikah di Bulan Dzulqa’dah?


islamindonesia.id – Larangan menikah di bulan tertentu masih terjadi di sebagian kalangan masyarakat Indonesia, semisal menikah di bulan Dzulqa’dah atau orang Jawa menyebutnya dengan Apit. Sementera orang Madura menyebutnya dengan Takepek.

Masyarakat Jawa percaya bahwa jika akad nikah dilangsungkan pada bulan ini akan mengakibatkan rezeki seret dan berujung pada perceraian. Kepercayaan ini telah berakar di masyarakat. Walaupun secara kacamata agama, kepercayaan ini tidak ada dalam Islam. Hanya saja dibenarkan oleh masyarakat berdasarkan tradisi yang berkembang.

Secara bahasa Apit juga bisa dikatakan dengan Kapit, berasal dari kata hafidz yang dalam bahasa Arab berarti menjaga atau memelihara. Maknanya menjaga kesucian bulan ini dari peperangan atau larangan lainnya. Pada dasarnya kebiasaan seperti ini bisa saja dilakukan untuk menghindari rasa was-was terkait peristiwa buruk, akan tetapi alangkah lebih baiknya tidak sampai meyakini bahwa suatu waktu tertentu dapat menyebabkan sebuah kesialan. Kecuali waktu-waktu yang memang diatur dalam syariat.

Akad nikah adalah prosesi pernikahan yang sakral bagi sepasang kekasih. Maka, mereka mencari waktu yang tepat yang dipercaya mempunyai kemuliaan dan keberuntungan bagi pernikahan mereka.

Bulan yang dipercaya sebagai bulan bagus, di antaranya adalah bulan Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awwal), Rejeb (Rajab), Sya’ban dan Puasa. Pemaknaan bulan berkah ini tentu disandarkan pada latar belakang di dalamnya. Semisal bulan Mulud merupakan bulan lahirnya Rasulullah, bulan Rajab terdapat peristiwa peralihan cahaya Nabi dari Abdullah kepada rahim Siti Aminah dan sebagainya.

Terlepas dari kesakralan dan kesucian bulan ini, masih ada umat Islam yang masih melestarikan kepercayaan tertentu yang diwarisi nenek moyang tentang bulan-bulan yang mengandung sial. Misalnya tidak boleh bepergian jauh pada bulan tertentu karena termasuk bulan yang nahas, juga tidak diperkenankan menikah saat bulan Muharram karena dipercaya mendatangkan malapetaka.

Ada yang mengatakan bahwa bulan Muharram terkenal dengan bulannya priyayi. Dulu, hanya bangsa keraton yang dapat melangsungkan hajatan di bulan Muharram. Bahkan yang paling tidak masuk akal, penguasa laut Selatan, Nyi Roro Kidul, konon sedang melaksanakan pernikahan. Keyakinan tersebut secara turun-temurun membuat masyarakat enggan melaksanakan pernikahan di bulan ini.

Masyarakat Jawa biasanya melaksanakan hajatan pernikahan pada bulan Dzulhijjah (besar). Bulan tersebut dipercaya sebagai bulan keselamatan. Maka pada bulan ini, banyak digelar pernikahan. Selain itu, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban merupakan bulan yang dianggap baik juga untuk menikah.

Kebiasaan orang Jawa sejak dulu, orang tua dari anak yang akan menikah pergi terlebih dahulu kepada orang yang dianggap ahli dalam ilmu primbon atau pada umumnya kepada kiai yang paham ilmu tersebut. Tujuannya mencari waktu baik untuk menikahkan anaknya, agar perjalanan hidupnya menjadi lancar. Tak heran kebiasaan dan kepercayaan hari buruk dan baik itu masih dipelihara.

Perlu diketahui bahwa kepercayaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh orang Jawa, Sejarah bangsa Arab jahiliyah mempunyai cerita yang sama perihal penentuan waktu pernikahan, yaitu tidak boleh menikah di bulan Syawal, karena dipercaya sebagai bulan yang sial.

Kemudian Islam membantah itu melalui pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah pada bulan Syawal. Hal tersebut seperti dalam sebuah hadis Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Nisabury, Shahih Muslim, juz 1, bab Istihbab al-tazawwaj al-tazwij fi syawal wa istihbab al-dukhul fihi. Kitab Nikah. Bairut: DKI, 1991, halaman: 1039)

Rasulullah menikahi Siti Aisyah pada bulan Syawal dan berumah tangga pada bulan itu. Dan sudah jelas bahwa perempuan yang memiliki kedekatan hati dengan Rasulullah adalah Siti Aisyah, seperti yang tercantum dalam hadis di atas. Hal ini menunjukkan jika menikah di bulan Syawal tidak terjadi suatu kesialan apapun. Rumah tangga pasangan ini berjalan bahagia dan romantis. Rasululah mencontohkan pada dirinya sendiri untuk membantah kepercayaan jahiliyah tersebut.

Namun kita tidak terlepas dengan urf (kebiasaan) yang berkembang di masyarakat. Beberapa kepercayaan mengenai primbon adalah warisan dan hasil titen dari para leluhur. Tidak serta-merta ada. Mereka membaca fenomena alam dan sosial secara berulang.

Setiap tempat mempunyai kepercayaan berbeda. Di Aceh, mereka percaya jika bulan Syawal adalah bulan sial. Sementara di sebagian wilayah di Pamekasan justru menikahkan putra-putrinya di bulan Syawal, ittiba’ terhadap pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah.

Menikah merupakan sunah Rasulullah s.a.w. Apabila sudah sampai pada waktunya, maka menikahlah, sebab disunahkan bagi orang-orang yang sudah membutuhkan. Dasar diperintahkannya menikah itu terdapat dalam Al-Qur’an, hadis dan pendapat ulama. “Dan menikahlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.”

Hal yang diatur dalam agama adalah layaknya seseorang untuk menikah. Prinsipnya, terletak pada kemampuan menikah. Seorang yang sudah dikatakan mampu, maka disunahkan untuk menikah. Seperti hadis Rasulullah: “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu terhadap biaya, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan lebih menjaga kelamin. Maka apabila tidak mampu, berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng.” (Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin bin Muhammad al-Husaini asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar, Surabaya: Dar al-Jawahir, t. th, juz 2, halaman: 30)

Waktu, tanggal, hari, bulan apa pernikahan yang baik, tidak diatur secara detail dalam agama. Namun, seandainya hendak ittiba’ kepada para Nabi dengan niat mencari berkah itu tidak apa-apa, karena mendapatkan keSunahan. Atau mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dengan tidak melaksanakan pernikahan di bulan tertentu, maka hal itu boleh saja dilakukan sesuai kebiasaan. Yang terpenting tidak sampai mempunyai kepercayaan bahwa, sebab bulan Muharram pernikahan mengundang malapetaka. Karena hal itu hanya ilmu titen, pengalaman yang berulang-ulang serta tidak pasti kebenarannya, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat Jawa. Ilmu titen bisa jadi bergeser sesuai dengan perkembangan keadaan atau zaman.

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan bahwa seseorang hendaknya tidak memercayai apakah menikah di hari ini dan di malam ini baik atau buruk. Kepercayaan tersebut dilarang dan mendapat teguran keras agama. Perbuatan tersebut tidak ada kandungan pelajaran (‘ibrah) apapun di dalamnya. Ibnu al-Firkah selaku pakar ushul fiqih menyebutkan: “Jika terdapat seorang ahli nujum berkata serta meyakini semuanya itu adalah pengaruh dari Allah, Allah-lah yang membuat kebiasaan terhadap anggapan sesungguhnya hal itu akan terjadi demikian ketika demikian. Maka hal itu tidak masalah. Lalu, dari mana kritikan itu datang, muncul atas seseorang yang percaya terhadap pengaruh bintang dan pengaruh makhluk. Mereka percaya jika ilmu bintang itu dapat memengaruhi nasib baik dan buruk pernikahan.” (Sayyid Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut: Dar al-Fikr, 1994 halaman: 337)

Perhitungan waktu dan kondisi itu penting dalam hajatan besar seperti pernikahan. Apalagi bersangkutan dengan akad nikah, awal di mana mereka (kedua mempelai) akan mengarungi bahtera kehidupan. Tentu, yang memiliki hajat ingin prosesi pernikahan dan kehidupannya lancar dan bahagia, serta sakinah mawaddah wa rahmah. Jadi, masyarakat tidak sepenuhnya salah dengan keyakinan primbon, asal titik tekannya adalah tetap percaya bahwa tidak ada yang dapat memengaruhi kecuali Allah.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *