ASMAUL HUSNA–Al-Ahad
Islamindonesia.id—ASMAUL HUSNA–Al-Ahad
Alquran menyebutkan kata al-ahad sebanyak 74 kali dalam bentuk berbeda-beda, namun al-Ahad sebagai Asmaul Husna disebutkan dalam satu ayat saja. Allah Swt berfirman,
“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. (QS. al-Ikhlas [112]: 1)
Ibn Faris mengatakan bahwa kata ahad berasal dari kata wahada. Az-Zujaj mengatakan bahwa kata ini diambil dari kata wâhid. Sedangkan al-Azhari mengatakan bahwa ahad diambil dari kata wahuda-yûhidu-wahadun sebagaimana hasuna-yuhsinu-hasanun kemudian huruf wau (و) digantikan dengan hamzah (أ) hingga jadilah ahad. Huruf wau (و) yang berharakat fathah terkadang memang diubah menjadi hamzah (أ).
Sebagian pakar bahasa Arab menyebutkan perbedaan antara al-wâhid dan al-ahad sebagai berikut:
Al-wâhid adalah ungkapan untuk awal bilangan, sehingga dikatakan wâhidun, itsnân, tsalâtsah (1, 2, 3) dan tidak dikatakan ahad, itsnân, tsalatsâh. Ahad tidak termasuk dalam bilangan, pembagian atau pengurangan, sedangkan kata wâhid berlaku untuk semua itu. (Al-Mufradât: 12)
Ahad dapat diletakkan untuk memberikan penafian keseluruhan himpunan, sedangkan wâhid hanya dapat memberikan penafian sejumlah item dalam himpunan. Bila dikatakan mâ fî ad-dâri wâhidun (tidak satu orang di rumah itu), maka jawabannya dapat berbunyi bal fîhâ itsnân (melainkan di dalamnya terdapat dua orang). Sebaliknya, bila dikatakan mâ fî ad-dâri ahadun (tidak seorang pun di rumah itu), maka jelas jawabnya tidak mungkin bal fîhâ itsnân (melainkan di dalamnya dua orang).
Kata al-wâhid mungkin dijadikan kata sifat dalam proposisi afirmatif untuk segala sesuatu seperti rajulun wâhid (seorang laki-laki) atau tsaubun wâhid (sebuah baju). Tetapi ahad tidak bisa dipakai kecuali hanya untuk Allah Swt seperti dalam kalimat Allâh Ahad. Sifat ahad dapat dipakai sebagai pembilang dalam proposisi negatif untuk segala sesuatu selain Allah seperti dalam ucapan mâ ra’aiytu ahadan.
Jadi, wâhid dan ahad mirip dengan ar-Rahmân dan ar-Rahîm. Ar-Rahmân adalah sifat khusus untuk Allah, sedangkan ar-Rahîm dapat disandang oleh siapa pun selain-Nya. Menurut al-Raghib, al-ahad ini secara mutlak hanya bisa digunakan dalam menyifati Allah (Katakanlah, ‘Dia-lah Allah Yang Maha Esa).
Ar-Razi menyatakan bahwa pemakaian ahad dalam ayat tersebut tanpa menggunakan alif lam ma’rifah melainkan dalam bentuk nakirah, karena ia secara khusus telah menjadi sifat Allah Swt.
Selain itu, Al-Azhari menyatakan bahwa ahad tidak memiliki bentuk plural. Kata al-Âhâd adalah bentuk penegasan dari wâhid (satu) sebagaimana asyhâd merupakan bentuk plural dari syâhid.
Tafsir Ayat Qul Huwa Allâh Ahad
Pertama, Huwa (Dia) yang merupakan kata ganti ketiga dalam ayat ini ternyata tidak menerangkan siapa atau apa yang dirujuk oleh kata ganti ini. Para ahli gramatika bahasa Arab yang tidak akrab dengan ilmu-ilmu ketuhanan mengira bahwa huwa ini merupakan dhamîr asy-sya’n (kata ganti yang merujuk kepada kata yang di depannya, bukan kata sebelumnya). Tetapi sebenarnya lebih tepat bila kita katakan bahwa kata ganti ini menunjukkan ajaran tentang Allah; bahwa alam wujud ini tidak menunjukkan siapa pun kecuali Dia. Pemahaman seperti ini meyakini bahwa Allah tidak membutuhkan rujukan. Sebaliknya, semua selain Allah-lah yang membutuhkan rujukan.
Kedua, setelah menyebut kata ganti huwa, Allah Swt memakai kata Allâh. Kata ini menunjukkan pada ajaran tentang Allah dalam tingkat di bawahnya, yaitu pemahaman yang masih melihat adanya pluralitas dalam wujud dan pembagian wujud menjadi yang Niscaya-Ada (Wâjibul Wujûd) dan mungkin ada (mumkinul wujûd). Jadi ungkapan huwa-llâh mengacu kepada dua tingkat pemahaman yang berbeda, pemahaman wahdatul wujûd dan pemahaman wâjibul wujûd.
Ketiga, kata ahad (esa atau tunggal). Kata ini mengisyaratkan tingkatan pemahaman paling rendah tentang Allah Swt, yakni golongan orang yang bukan hanya memungkinkan pluralitas wujud, tapi juga pluralitas Tuhan. Dengan menggunakan kata ini, Allah Swt hendak menghilangkan kemungkinan terbilangnya Tuhan Pencipta alam semesta.
Tom/IslamIndonesia
Leave a Reply