Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 15 June 2022

Apa dan Siapa yang Dimaksud dengan Pendusta Agama?


islamindonesia.id – “Pendusta agama” dijelaskan oleh Alquran pada surah al-Ma’un. Namun kebanyakan orang mengupas surah tersebut hanya sebatas mengenai ciri atau indikatornya saja, tidak sekalian dengan maknanya.

Kali ini kami akan mencoba untuk menjelaskan makna “pendusta agama” berdasarkan tafsiran Prof. Dr. Hamka.

Surah Al-Ma’un terdiri atas tujuh ayat, yang mempunyai makna penyampaian pesan tentang kepedulian dan empati terhadap nasib orang yang kurang beruntung.  Kata “al Ma’un” sendiri sebenarnya berarti ‘bantuan penting atau hal-hal berguna’, diambil dari ayat terakhir dari surah ini.

Tulisan ini akan mengulas 3 ayat pertama saja, yang berbicara mengenai indikator pendusta agama, yaitu:

(1) Araitalladzi yukaddzibu biddiin (Tahukah kamu orang yang mendustakan agama);

(2)  Fa’dzaalikal ladzii yadu’ul yatiim (Itulah orang yg menghardik anak yatim);

(3) Wa laa yahudhdhu alaa tho’amil miskin (Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin)

Prof. Dr. H. Quraish Shihab menjelaskan bahwa asbabun nuzul surah al-Maun ini sehubungan dengan kebiasaan Abu Sofyan dan Abu Jahal yang konon tiap minggu menyembelih seekor unta.

Suatu ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun bukannya diberi daging oleh Abu Jahal dan Abu Sofyan, tetapi anak yatim itu malah dihardik dan diusir. Inilah peristiwa yang melatar belakangi turunnya surah al-Ma`un.

Surah al-Ma’un memulai ayat pertamanya dengan satu pertanyaan, yaitu: ”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”  Itu adalah kalimat pertanyaan yang tidak harus dijawab, karena pertanyaan itu memang hanya untuk mengingatkan tentang siapa yang termasuk pendusta agama.

Kemudian Allah langsung memberi informasi dengan dua ayat berikutnya sebagai penjelasan indikator pendusta agama, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap nasib (1) anak yatim; dan (2) orang miskin.

Pada ayat kedua Allah SWT menggunakan kata Yadu’u yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi menghardik.  Sebenarnya banyak padanan kata lain yang relevan dengan kata Yadu’u yakni mengusir, menolak, apatis, dan dengan ungkapan keburukan lainnya yang dilakukan baik oleh lisan maupun perbuatan. 

Prof. Hamka menjelaskan tentang tafsir di atas, bahwa orang yang Yadu’ul yatim adalah orang yang memiliki rasa benci dan apatis terhadap anak yatim.

Pada ayat ketiga, Allah SWT menjelaskan kriteria kedua yang termasuk sebagai pendusta agama.  Perhatikan kalamullah tersebut. Allah SWT menyebutkan “Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Allah SWT tidak berfirman: “Dan tidak memberi makan orang miskin” karena dua kalimat ini berbeda makna.

Jika Allah SWT berfirman dengan kalimat “Dan tidak memberi makan orang miskin”, maka yang terkena dengan ayat ini hanyalah mereka yang kaya. Orang yang hidupnya seadanya tentu tidak bisa melaksanakan ayat ini. Dengan adanya kata “menganjurkan”, maka hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja.

Prof. Dr. Hamka  menjelaskan makna “pendusta agama” adalah meskipun ia rajin shalat, ia rajin puasa dan ia rajin melaksanakan ibadah lainnya, namun apabila ia tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan  orang miskin, maka keimanannya perlu dipertanyakan.

Karena dalam Islam ditekankan bahwa manusia harus baik pada aspek spiritual (ibadah mahdhah) dan baik pula aspek sosial (ibadah ghair mahdhah).  Dalam Alquran dijelaskan kewajiban untuk “hablum minallah” (bersikap dan berperilaku baik terhadap Allah) dan “hablum minan naas” (bersikap dan berperilaku baik terhadap sesama manusia). 

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.” (QS. Ali Imran:12)

Selama ini sering kita menyangka bahwa para pendusta agama hanyalah mereka yang mendustakan kebenaran ajaran Islam. Kita bahkan menyangka bahwa para pendusta agama ialah hanya mereka yang tidak mau mengakui kebenaran kenabian Muhammad bin Abdullah dan mendustakan risalah yang dibawanya.  Namun sesungguhnya, walaupun Muslim, namun bila melakukan dua hal; yaitu tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan orang miskin, maka ia adalah pendusta agama yang sebenarnya.

Dengan kata lain, “pendusta agama” adalah orang yang mendustai agama, yaitu mendustai shalatnya, mendustai puasanya, juga mendustai ibadah hajinya. Karena ibadah spiritual yang ia lakukan (shalat, puasa, dan haji) tidak berdampak baik pada ibadah sosialnya, yaitu tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan orang miskin.

Tidak dapat kita pungkiri, bahwa dalam kehidupan ini, kita tidak dapat menutup mata tentang adanya orang-orang yang kurang beruntung di sekitar kita. Salah satunya adalah adanya anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Anak yatim adalah anak-anak yang telah ditinggalkan orangtuanya karena telah meninggal dunia. Sedangkan orang miskin adalah mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupannya, karena tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk hidup sehar-hari.

Biro Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia mematok jumlah penghasilan mimimal $1,00 s.d $2,00 per hari. Sementara seperti yang kita ketahui, saat ini angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi. Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk. Artinya, setiap 1000 penduduk, masih ada lebih dari 100 orang miskin yang ada di sekitar kita.

Kita mengetahui bahwa salah satu dari empat tujuan negara ini didirikan adalah untuk ”memajukan kesejahteraan umum”, dalam pengertian bahwa negara akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengurangi sebanyak mungkin adanya orang-orang miskin di negeri ini, atau menekan serendah mungkin angka kemiskinan atau jumlah mereka.

Pada konteks kekinian, bisa jadi bagi para pemimpin negara dalam menerapkan kebijakannya yang menyangkut nasib orang-orang miskin, apabila tidak memperhatikan kelanjutan nasib mereka (laa yahudhdhu alaa tho’amil miskin), maka oleh Islam bisa dikatakan sebagai pendusta agama.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *