Satu Islam Untuk Semua

Friday, 14 October 2022

Adab Menjamu Tamu dalam Islam


islamindonesia.id – Dalam Islam menjamu tamu merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w sebab memiliki kedudukan yang sangat terhormat. Selain itu, menjamu tamu juga menjadi suatu pertanda bagaimana tingkat keimanan seseorang kepada Allah SWT.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w dalam sebuah hadis, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis tersebut jelas disebutkan bahwa keimanan seseorang dapat terlihat saat ia memuliakan tamu yang datang ke rumahnya. Semakin baik ia menerima tamunya maka baiklah keimanan orang tersebut. Bahkan sebaliknya semakin buruk ia menerima tamunya maka buruk jugalah keimanannya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam Alquran surah Al-Hasyr ayat 9, “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”

Asbabul nuzul diturunkannya ayat tersebut, bersamaan dengan kisah yang terjadi di masa Rasulullah s.a.w dahulu. Ketika Rasul dan para sahabat menang dalam perang Khaibar, maka datanglah seorang anak laki-laki dari kalangan Muhajirin menghadap Nabi Muhammad untuk bertemu, maka dengan cepat Rasulullah langsung mendatangi para istrinya untuk menyiapkan jamuan kepada tamu yang baru datang tersebut. Akan tetapi pada saat itu, para istri Rasulullah mengatakan bahwasanya mereka tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air untuk diminum.

Melihat keadaan tersebut, Rasulullah s.a.w akhirnya menanyakan kepada para sahabat, “Siapa yang sanggup menjamu tamuku ini?”

Maka datanglah Ali bin Abi Thalib yang siap menjamu tamu Rasul tersebut, dan berkata,  “Saya siap menjamu tamu tersebut ya Rasul”. 

Setelah itu, ia pun pulang ke rumahnya dan menanyakan kepada istrinya, Fathimah, apakah ada makanan yang bisa disuguhkan untuk tamu Rasul tersebut.

Namun dengan berat hati sang istri mengatakan sesungguhnya saat itu mereka tiada makanan kecuali jatah makan malam untuk anak-anak mereka nanti.

Mendengar hal tersebut, maka Ali mengatakan kepada Fathimah agar mempersiapkan sisa makanan yang ada tersebut dan meminta kepadanya agar mematikan lampu yang menerangi rumahnya di malam itu serta menidurkan anak-anak mereka ketika hendak tiba waktu makan.

Fathimah pun akhirnya melakukan apa yang diperintahkan oleh Ali dan segera menyiapkan makanan yang tersisa. Dengan keadaan yang begitu gelap keduanya menjamu tamu tersebut bahkan mereka berdua menemani tamu tersebut untuk makan. Dan berpura-pura menyantap makanan dengan membunyikan peralatan makan agar sang tamu tidak terlalu curiga.

Maka, hal yang demikian itu tidaklah luput dari pandangan Allah SWT yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Sehingga pada keesokan harinya, ketika Ali bertemu Nabi Muhammad, beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, Allah sangatlah bangga dan ridha dengan apa yang telah kamu lakukan semalam.”

Dari kisah tersebut, tentunya menjadi iktibar bagi kita bagaimana sebaiknya adab dan tata krama dalam menjamu tamu, karena sesungguhnya tamu bukanlah pembawa musibah namun membawa keberkahan.

Sebagaimana Rasulullah s.a.w bersabda, “Tamu datang dengan membawa rezekinya dan pergi dengan menghapus dosa-dosa kalian, dan Allah SWT menghapus dari dosanya dan dosa-dosa kalian,” (HR. Abu Syaikh)

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *