Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 14 May 2023

Setan Senang Saat Orang Beriman Larut dalam Kesedihan


islamindonesia.id – Kehidupan ini tak selamanya indah. Senang dan duka datang silih berganti. Hal ini semakin memantapkan hati untuk menilai kehidupan dunia ini adalah semu. Kebahagiaannya semu. Kesedihannya pun semu.

Ada kehidupan selanjutnya di hadapan kita. Itulah negeri akhirat. Abadi dan hakiki. Di sanalah tempat istirahat dan bersenang-senang yang hakiki, yakni di surga-Nya yang penuh limpahan rahmat dan kenikmatan. Atau kesengsaraan hakiki, di nereka yang panas membara. Tempat kembali orang-orang durhaka kepada Sang Pencipta.

Seseorang pernah menasihatkan, “Ketahulilah yang selamat hanyalah sedikit. Sesungguhnya tipuan dunia akan hilang. Semua kenikmatan selain surga akan sirna. Dan semua kesusahan selain neraka adalah keselamatan.”

Perlu kita sadari bahwa kesenangan dunia dan kesengsaraannya adalah ujian dari Tuhan semesta alam. Apakah menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan sabar saat diberi cobaan, ataukah sebaliknya. Karena dunia ini adalah daarul ibtilaa’ (negeri tempat ujian dan cobaan).

Allah berfirman: “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya:35)

Ikrimah pernah mengatakan: “Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar.”

Senang dan duka adalah sunatullah yang pasti mewarnai kehidupan ini. Tidak ada seorang manusia pun yang terus merasa senang, dan tidak pula terus dalam duka dan kesedihan. Semuanya merasakan senang dan duka datang silih berganti.

Jangankan kita, generasi terbaik umat ini, para wali Allah, yakni para sahabat Nabi s.a.w pun pernah dirundung kesedihan. Allah menceritakan keadaan mereka saat kekalahan yang mereka alami dalam perang Uhud: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah memberi bukti kebenaran kepada kaum beriman (dengan orang-orang kafir) dan menjadikan sebagian di antara kalian sebagai syuhada’. Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran:140)

Allah yang menciptakan kebahagiaan dan kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi. Dan sempitnya kesedihan diciptakan agar ia tunduk bersimpuh di hadapan Tuhan yang Maharahmat dan Mengasihi, serta tidak menyombongkan diri. Hinggalah ia mengadu harap di hadapan Allah. Merendah merengek di hadapan Allah. Bersimpuh pasrah kepada Tuhan yang Maha Penyayang. Seperti aduannya Nabi Ya’qub saat lama berpisah dengan putra tercinta; Yusuf a.s: “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf:86)

Ada saja hikmah dalam ketetapan Allah yang Mahahakim (Bijaksana) itu. “Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm:43)

Oleh karena itu, tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Nabi mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman.

“Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman.” (HR. Tirmidzi)

Atau seorang merasa sedih saat tertinggal shalat jemaah di masjid, menyia-nyiakan waktu, tertidur di sepertiga malam terakhir hingga luput dari shalat tahajud, ini suatu hal yang terpuji. Ini tanda adanya cahaya iman dalam hatinya.

Hal yang tercela adalah saat seorang larut dalam sedihnya. Hingga membuat hatinya lemah, tekadnya meredup, rasa optimisnya menghilang, kesedihan yang menghancurkan harapan. Sampai membuatnya tidak mau bergerak, tidak ada ikhtiar untuk mengubah keadaannya untuk menjadi insan yang bahagia.

Hal yang juga tercela adalah kesedihan yang membuatnya lemah untuk meraih ridha Allah, bahkan membawanya pada keputusasaan dan membenci takdir Allah. Karena seringkali setan memanfaatkan kesedihan untuk menjerumuskan manusia.

Betapa banyak orang-orang yang tergelincir dari jalan Allah karena larut dalam kesedihan. Oleh karenanya, Nabi s.a.w senantiasa berlindung dari rasa sedih.

Di antara doa yang sering dipanjatkan Nabi adalah: “Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari gundah gulana dan rasa sedih…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak perlu berlama-lama memendam kesedihan dalam hati. Banyak yang tak menyadari, ternyata setan senang melihat seorang Mukmin bersedih. Ia amat menginginkan kesedihan itu ada pada orang-orang beriman.

Berkenaan dengan hal ini Allah SWT mengabarkan dalam firmanNya: “Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu hanyalah dorongan dari setan. Supaya menjadikan hati orang-orang beriman sedih. Padahal pembicaraan rahasia untuk menggunjing tidak akan merugikan orang-orang beriman sedikitpun, kecuali dengan kehendak Allah. Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.” (QS. Al-Mujadilah:10)

Ternyata bila kita amati, kata-kata sedih dalam Al-Qurán tidaklah datang kecuali dalam konteks larangan atau kalimat negatif (peniadaan). Sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qoyyim dalam bukunya Madaarijus Saalikiin.

Dalam konteks larangan, misalnya adalah firman Allah: “Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran:139)

“Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka.” (QS. An-Nahl:127)

Beberapa ayat juga berbunyi senada. Kemudian firman Allah: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah:40)

Adapun dalam konteks kalimat negatif (peniadaan) misalnya firman Allah: “Mereka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:38)

Apa rahasia dari semua ini? Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa rahasianya adalah, karena kesedihan adalah keadaan yang tidak menyenangkan, tidak ada maslahat bagi hati. Suatu hal yang paling disenangi setan adalah, membuat sedih hati seorang hamba. Hingga menghentikannya dari rutinitas amalnya dan menahannya dari kebiasaan baiknya. (Madaarijus Saalikiin hal. 1285)

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *