Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 05 January 2022

Sejak Kapan Kepalsuan Menawarkan Kebahagiaan?


islamindonesia.id – Di antara kecenderungan umum yang tidak bisa dimungkiri adalah bahwa setiap manusia selalu berusaha mencari kebahagiaan dalam hidupnya. Meskipun definisi tentang bahagia di antara mereka sangat beragam dengan ukuran atau standar masing-masing.

Dalam filosofi Jawa dijelaskan bahwa untuk meraih kebahagiaan itu sendiri harus melalui beberapa tahapan. Pertama, tahapan Mulat Sarira, atau lebih mawas diri, berupa upaya yang harus ditempuh agar manusia menemukan indentitas yang terdalam sebagai pribadi. Kedua, beranjak pada tahapan Tepa Salira, yakni tahapan ketika seseorang dituntut untuk mampu berempati terhadap perasaan orang lain atau sesamanya.

Tidak hanya dua tahap itu saja, untuk menggapai kebahagiaan sejati manusia harus bisa meniti tahap selanjutnya. Yakni tahapan Nanding Pribadi, ketika seseorang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, hendaknya dia senantiasa berupaya agar kualitas dirinya lebih unggul dalam banyak hal. Kemudian, pada saat bersamaan, yang perlu pula diperhatikan adalah tahapan Ngukur Pribadi, yakni ketika seseorang mengukur orang lain dengan dirinya sendiri sebagai tolok ukur. Sehingga dengan cara itu timbul kesadaran bahwa perilaku buruk apa saja yang tidak dia sukai jika menimpa dirinya, sudah tentu tidak layak dia perlakukan kepada orang lain. Begitu pula halnya dengan perilaku baik dan menyenangkan, yang sudah seharusnya lebih diutamakan untuk diamalkan saat berinteraksi antarsesama dalam kehidupan.

Terakhir, adalah tahap Mawas Diri. Pada tahap ini, seseorang dituntut untuk memahami keadaan dirinya dengan sejujur-jujurnya, bahwa sebagai manusia dan makhluk yang senantiasa berada dalam tahapan berkesinambungan menuju kesempurnaan, sudah pasti dirinya memiliki kekurangan di samping kelebihan. Dengan kesadaran semacam itulah diharapkan agar dirinya selalu bersikap rendah hati dan menjunjung tinggi prinsip saling menghargai.

Setelah melalui tahapan-tahapan tersebut, diharapkan manusia akan memahami bahwa kebahagiaan sejati sebenarnya tidak perlu dicari ke mana-mana, melainkan terutama pada dirinya sendiri. Oleh karenanya, upaya meraih kebahagiaan merupakan sebuah perjalanan spiritual panjang dan memerlukan pengetahuan serta pengalaman, di samping kejujuran dan kesadaran, bukan kepura-puraan yang didasari oleh kepalsuan.

Berbicara tentang upaya menemukan kebahagiaan sejati, cendekiawan Muslim Indonesia Haidar Bagir lewat akun pribadinya @Haidar_Bagir, dengan ungkapan senada juga menyampaikan, “Sebetulnya, tiada yang kurang dalam kehidupan penuh cinta dan kebaikan hati, bersama orang-orang dekat kita. Lalu kenapa harus jauh-jauh mencari kebahagiaan dalam kemewahan, kekuasaan dan popularitas, yang sebetulnya tak menjanjikan apa-apa, selain peluang melanggar hak-hak orang, yang justru akan menghalangi kebahagiaan kita?”

Lebih lanjut, pemilik akun Sosmed Cinta ini pun menyoroti tren yang berkembang di masa kita saat ini, ketika hampir setiap orang berlomba-lomba saling menunjukkan eksistensi diri mereka di media sosial, yang tak lain merupakan ajang eksebisionis semu dan palsu belaka.

“Sayang sekali, tren kehidupan sekarang adalah mencari pengakuan orang lain, yang lebih sering tak kita kenal sama sekali. Pamer kebahagiaan -yang lebih sering semu- via media sosial: pamer hidup mewah, jalan-jalan ke luar negeri, pesta ultah, di-escort asisten-asisten, dsb..,” cuitnya, yang kemudian diakhiri dengan pertanyaan menghentak kesadaran, “Sejak kapan kepalsuan menawarkan kebahagiaan?”

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *