Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 03 April 2018

Sebaik-baik Kesucian Menurut Imam Ali


islamindonesia.id – Sebaik-baik Kesucian Menurut Imam Ali

 

Alkisah, ada seseorang yang mulai berminat belajar tasawuf. Dari seorang temannya dia mendengar tentang adanya guru sufi yang agung. Karena itu, dia pergi ke sana dengan menyewa seekor unta dari seorang penggembala.

Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan yang berat dan lama, akhirnya sampailah dia ke rumah sang guru. Ternyata, orang yang akan dijadikan gurunya itu justru bersikap sangat hormat kepada si penggembala unta, sampai-sampai si penyewa unta itu terheran-heran.

“Saya datang untuk berguru kepada Anda, tetapi sikap Anda kepada penggembala unta layaknya kepada seorang guru saja,” kata si penyewa unta itu tanpa menutupi kekesalannya.

Sang guru, yakni si tuan rumah itu, menjelaskan bahwa si penggembala unta itu memang tidak lain adalah gurunya sendiri.

***

Cerita serupa itu banyak sekali di dalam dunia tasawuf. Tetapi sebetulnya bukan monopoli tradisi sufisme, sebab hampir semua budaya mengarah ke situ. Dalam pepatah Melayu, misalnya, dikatakan, “Makin berisi, makin merunduklah si padi.” Idenya ialah tentang sikap rendah hati, seperti ditampakkan oleh si penggembala unta dalam cerita di atas, yang ternyata adalah gurunya si guru sufi.

Di kalangan ulama ada pandangan bahwa tidak ada yang tahu seorang wali kecuali wali. Maka kalau kita mengatakan bahwa seseorang itu wali, maka efeknya seolah-olah kita mengklaim diri kita sendiri sebagai wali (orang suci). Dalam hal ini, ungkapan Imam Ali ibn Abi Thalib sangat bagus ketika menggambarkan kesucian: “Sebaik-baik kesucian adalah menyembunyikan kesucian itu.”

Dalam paham keagamaan sehari-hari, kita juga mengenal ada yang disebut sebagai manusia-manusia yang suci, tempat-tempat yang suci, dan waktu-waktu yang suci.

Di sisi lain, secara implisit, konsep kesucian itu juga sering kali dikaitkan dengan sejumlah ritual dalam Islam, misalnya zakat, sedekah, wudhu, dan lain-lain; konsep ini juga terkait dengan istilah-istilah seperti subhquds, dan lain-lain.

Lalu siapakah yang dimaksud dengan manusia-manusia yang suci, dimanakah tempat-tempat suci dan kapan saja yang disebut sebagai waktu-waktu yang suci?

Di zaman ini, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dengan sangat mudah didapatkan oleh siapapun, asal yang bersangkutan mau mencarinya. Tak perlu menyewa unta untuk menempuh perjalanan jauh. Minimal cukup dengan upaya menggugelnya saja.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *