Satu Islam Untuk Semua

Friday, 12 November 2021

Sabar Sebentar, Semua Ada Waktunya, ‘Ojo Nggege Mongso’


islamindonesia.id – Dalam perbincangan serius tapi santai beberapa hari yang lalu, ketika membandingkan sekilas kualitas kesabaran antara aktivis “pejuang” (yang bergerak dalam kerja-kerja kemanusiaan) dan pengusaha (yang murni bergelut mengejar profit ekonomi), seorang kawan berujar: “Salah satu yang membunuh perjuangan adalah ketergesa-gesaan. Para pengusaha kadang punya kesabaran lebih besar ketimbang para ‘pejuang’. Para pengusaha tekun berjuang dan fokus berkiprah di kolam-kolam kecil yang sejak awal dibangunnya sendiri hingga suatu saat juga punya kolam besarnya sendiri.”

Lalu bagaimana halnya dengan kualitas kesabaran para aktivis?

“Aktivis sering kali kekurangan stok kesabaran, ingin semua kiprah segera berbuah dan akhirnya banyak tujuan yang gagal terwujud akibat terlampau bernafsu semua hal ingin ditangani. Itulah sebabnya tanpa terasa mereka kerap melompat tak jelas ke sana-sini. Endingnya: tak berhasil di sana dan gagal di sini. Soal ini, contohnya sudah banyak sekali.”

Mencermati penuturan kawan tentang bahaya ketergesaan selaku pembunuh perjuangan itu, penulis pun jadi teringat, betapa benar ungkapan sekaligus anjuran penting dalam pitutur luhur Jawa berikut:
Yen to durung “titi wancine”.
Sumabaro sawetoro wektu.
Ojo njur kesusu, keburu napsu
Yen durung kuwowo nepake saliro.
Tumindako kalawan “angon wayah”.

Dalam maknanya yang sederhana, pitutur luhur ini menekankan betapa pentingnya manusia punya kesabaran ekstra, mengekang nafsu, tidak tergesa-gesa hingga terjerumus pada kondisi asal bertindak tanpa mengukur kemampuan dan kesiapan diri.

Lebih lanjut, pitutur ini juga mewanti-wanti: betapa perlunya memiliki kecermatan dalam menentukan prioritas dan paham kapan waktu yang tepat untuk berbuat dengan didahului pertimbangan yang matang dan cermat.

Berkenaan dengan sejumlah syarat yang mesti dipenuhi dan pantangan yang mesti dihindari dalam setiap tindakan inilah yang secara singkat terangkum dalam ungkapan Jawa: “Ojo nggege mongso”.

Untuk diketahui, kata “nggege” berasal dari kata ulang “age-age”, yang memperoleh penyengauan menjadi “[ng]age-age”, lantas dipersingkat menjadi “nggege”.

Demi lebih memudahkan pemahaman, bila dikaitkan dengan “takdir”, sebutan “nggege mongso” ini bisa berarti: ‘mendahului takdir’. Akibatnya, tindakan apa pun yang dilakukan tidak tepat pada waktunya atau belum tiba waktunya, maka yang dihasilkan alih-alih produktivitas, sebaliknya justru menjadi “kontra produktif”.

Sedangkan kata “mongso” di dalam bahasa Jawa Baru antara lain memuat arti: ‘waktu; musim’ yang salah satu kata jadiannya adalah “mangsan”, yang berarti: ‘musiman’ atau ‘ada kalau pada musimnya’. Arti demikian seperti tergambar pada sebutan “mongso ketigo (musim kemarau), mongso labuh (masa awal musim hujan), mongso duren (musim durian), mongso panen (waktu panen), mongso pagebluk (waktu pendemi)” seperti saat ini, dan sebagainya.

Istilah “mongso” ini bisa juga diganti dengan kata “wanci”, yang bersinonim arti, menjadi “titi wanci” sebagaimana disebutkan dalam pitutur Jawa di atas.

Perihal “ketepatan waktu” itulah yang dalam bahasa Jawa acap diistilahkan dengan “wis titi mongsone” atau “wis titi wancine”, dalam arti ‘telah tiba waktunya’.

Sebaliknya, tergesa-gesa melakukan aktivitas ketika belum tiba waktunya, maka diistilahkan dengan “durung titi wancine” atau “durung titi mongsone”. Begitu pula jika melakukan kegiatan ketika sudah lewat waktu, maka sebutannya adalah “wis ora titi mongso/wancine maneh”, seperti “wis ora titi mangsane pelem maneh (sudah tak musim mangga berbuah)”.

Pada sebutan-sebutan tersebut, siklus waktu digambarkan sebagai mempunyai keteraturan (order time circle). Untuk itu, manusia yang berada di dalamnya perlu menata diri sesuai dengan pola keteraturan yang ada. Jika tidak, maka manusia tersebut akan “tergilas roda waktu”.

Suatu tindakan yang dilakukan tanpa memerhatikan ketepatan waktunya, asal berbuat di sembarang waktu, di dalam bahasa Jawa Baru diistilahkan dengan “ora angon wayah”. Kata “angon” menunjuk pada penggembalaan, dan kata “wayah” berarti ‘waktu’.

Metafor ini memberi gambaran bahwa apa yang hendak dilakukan mestilah “digembalakan (dingon)“, agar tepat waktu, dan sekaligus tepat sasaran, tepat tempat, dan tepat fungsi.

Suatu tindakan yang “nggege mongso” dengan demikian, masuk ke dalam apa yang diistilahkan dengan “ora angon wayah”, yang berarti ‘abai terhadap ketepatan waktu’.

Kembali pada persoalan betapa pentingnya setiap manusia memiliki kesabaran dan tahu persis kapan waktu yang tepat untuk bertindak, persoalan berikutnya adalah: seberapa mudahnya kesabaran itu diwujudkan dalam perilaku keseharian?

Masalahnya, kalau mau jujur, di zaman serba cepat dan di tengah budaya instan, ketika hampir semua orang cenderung “uber-uberan” untuk saling unggul seperti sekarang, terbayang tak mudahnya bagi sebagian orang untuk bersabar walau sebentar.

Itulah sebabnya mengapa banyak dari mereka akhirnya berperilaku kalap tanpa sadar, dan banyak ketelanjuran tindakan yang pada akhirnya disesali, gara-gara sejak awal memang dilakukan serampangan, terburu nafsu, tanpa dilandasi niat dan nalar yang benar, sebagaimana tergambar dalam kisah “Garudeya” berikut.

Pada kisah “Garudeya“, dicontohkan tentang sifat kurang sabar menunggu tiba waktu (tergesa-gesa) dari Dewi Winata. Yakni tentang tiga butir telur yang ditetasinya, yang sebuah di antaranya telah dipecah jauh sebelum tiba waktu menetas, lantaran ia bernafsu untuk segera punya anak. Hasilnya, cuma keluar kilatan cahaya dari cairan telur itu.

Telur kedua, juga dipecah sebelum tiba waktu menetas. Alhasil, lahir anak yang diberi nama “Aruna”, yang hanya berwujud separuh badan di bagian atas. Adapun bagian bawah, masih belum berbentuk anatomi sempurna.

Tinggallah telur ketiga, yang berkaca pada pengalaman buruk telur pertama dan kedua, dengan lebih sabar ditunggu hingga tiba waktu menetas dengan sendirinya.

Nah, dari telur ketiga inilah akhirnya terlahir makhluk yang beranatomi lengkap (jangkep), berupa manusia setengah burung, yang diberi nama “Garuda” dan kelak menjadi sosok perkasa.

Tindakan Winata terhadap telur pertama dan kedua dalam kisah di atas itulah contoh tentang perilaku “nggege mongso”.

Menutup tulisan ini, mungkin ada baiknya kita renungkan pesan lebih lanjut sang kawan tentang kesabaran, saat dia menyitir pernyataan penulis terkenal abad ke-20 yang memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1962, John Steinbeck: “Jika sesuatu itu baik, ia akan terwujud. Yang paling penting adalah, jangan tergesa. Tiada sesuatu yang baik yang tak terwujud.”

Sekali lagi, kesadaran dan anjuran semacam inilah yang dalam falsafah Jawa disebut “Ojo nggege mongso”. Jangan mendahului waktu. Jangan mendahului takdir. Bersabarlah, karena Tuhan alam raya ini akan mengatur segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *