Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 24 June 2018

RENUNGAN – Nalar dan Naluri


islamindonesia.id -RENUNGAN- Nalar dan Naluri

 

Oleh Abdillah Toha, Pengamat Sosial dan Keagamaan

 

 

Nalar biasanya dihubungkan dengan tindakan rasional atau logis. Naluri biasa diartikan sebagai insting. Suatu pemberian sejak lahir untuk mempertahankan hidup dan menghindar dari bahaya. Lebih kuat nalar seseorang, lebih kecil naluri digunakan. Sebaliknya binatang yang tidak menggunakan nalar, hampir sepenuhnya menggunakan naluri.

Manusia seringkali menggunakan nalar dan naluri pada waktu yang bersamaan. Ketika menyeberang jalan dia menggunakan nalar untuk mencari waktu yang tepat untuk menyeberang. Tetapi ketika kehati-hatian sesuai nalar telah digunakan dan masih ada yang membahayakannya, makan nalurinya akan muncul untuk menghindar dari bahaya. Diperkuat dengan nalar yang mendorongnya untuk menjauhi segala sesuatu yang tak dikenalnya seperti kematian.

Dalam hidup tidak semuanya logis. Nalar bekerja berdasarkan masukan persepsi manusia. Sedang persepsi manusia terbatas. Nalar kemudian akan berspekulasi terhadap hal-hal yang tak tertangkap oleh indra. Ilmu dan memori masa lalu membantu manusia dalam mengambil keputusan sesuai nalar. Semua itu ternyata tidak cukup. Agama menganjurkan kita berdoa untuk hal-hal yang berada diluar kendali kita.

Sebagian orang mengatakan bahwa agama itu naluri, bukan nalar. Iya sudah tertanam di dalam fitrah manusia sejak lahir. Paling tidak dalam hal percaya kepada adanya Tuhan. Allah berfirman dalam Quran bahwa bukan saja manusia yang bertasbih tetapi seluruh tumbuh-tumbuhan dan hewan serta alam semesta bertasbih kepadaNya. Karena diluar manusia tidak ada nalar tetapi hanya naluri, maka hal ini memperkuat keyakinan bahwa keberagamaan itu sebenarnya adalah naluri.

Lalu dimana fungsi nalar dalam beragama? Bukankah nalar justru dapat menjauhkan manusia dari agama?

Nalar ilmuwan menolak segala sesuatu yang tak dapat dibuktikan secara empiris. Nalar orang beragama bermula dari iman. Bahwa ada sisi lain dari kehidupan fisikal yaitu sisi spiritual. Dengan mengasah nalurinya maka sisi spiritual ini akan tertangkap oleh hati dan terasakan.

Setan yang berfungsi mengganggu manusia beragama, bekerja bukan pada sisi nalar tetapi lebih banyak pada sisi naluri. Setan berupaya menjauhkan manusia dari naluri ilahiyah dan menghidupkan naluri iblis. Syahwat yang merupakan naluri reproduksi manusia diselewengkan oleh setan kepada perzinahan. Mencari nafkah sebagai naluri untuk mempertahankan hidup didorong menjadi sifat tamak dan rakus dengan merampas hak orang lain.

Nalar dapat membantu keberagamaan manusia bila ia sadar akan keterbatasan akalnya dan mengakui adanya nalar ilahiyah yang jauh lebih tinggi. Nalar dalam Islam juga digunakan untuk mendalami dan memahami makna wahyu yang bisa berlapis-lapis.

Sebaliknya naluri bisa memerosotkan kualitas keberagamaan seseorang bila tidak dijaga dengan pagar akhlak dan moralitas. Ketika agama dipaksakan kepada orang lain, ketika kebenaran tentang pemahaman wahyu dimonopoli, ketika agama menjadi identitas untuk menarik garis pemisah antara kita dengan mereka, atau dengan kata lain, ketika naluri dilepas tanpa kendali nalar dan memerintahkan kita untuk menyembah agama, bukan Tuhan, maka ketika itulah agama kemudian menjadi bencana bagi semua.

Beda nalar manusia beragama dengan yang tidak beragama adalah yang beragama mencakup keingintahuan tentang sisi spiritual dari manusia. Nalar manusia beragama menjadi negatif ketika yang dicari adalah pembenaran, bukan kebenaran.

Naluri manusia beragama dan tidak beragama sebenarnya tidak berbeda karena sama-sama dilahirkan tak bernalar. Manusia tak beragama kemudian menekan nalurinya dengan keyakinan bahwa nalarnya akan membawa kepada pengetahuan yang tak terbatas.

Bila naluri beragama yang dimaksudkan untuk kebaikan dapat menimbulkan bencana bila tak didukung dengan kekuatan nalar untuk mengendalikannya, maka nalar ilmuwan yang tak dilengkapi dengan naluri ilahiyah juga terbukti telah disalahgunakan dengan akibat kehancuran dalam sejarah manusia.

Terakhir, ada nalar dan naluri para syuhada dalam menantang kematian bagi tujuan mulia yang kemudian disalah artikan oleh teroris dengan melanggar semua perangkat moral kemanusiaan.
Wallah a’lam

AT – 24062018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *