Satu Islam Untuk Semua

Friday, 03 November 2017

RENUNGAN JUM’AT – Menjaga Diri dari Melanggar Perintah Allah


islamindonesia.id – RENUNGAN JUM’AT  –Menjaga Diri dari Melanggar Perintah Allah

 

Takwa berasal dari kata Wiqaayah, yang artinya ‘penjagaan’. Dalam istilah umum dan hadis-hadis, takwa didefinisikan sebagai ‘menjaga diri dari pelanggaran terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-Nya serta segala hal yang menyebabkan terhalangnya keridhaan-Nya.

Kata ini sering kali didefinsikan dengan menjaga diri sepenuhnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan haram, yaitu dengan meninggalkan segala sesuatu yang bersifat syubhat (belum diketahui kehalalannya).

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Barang siapa yang bermain di sekitar lumpur (segala sesuatu yang syubhat), ia nyaris terperangkap di dalamnya.”

Sekalipun takwa tidak merupakan satu-satunya anak tangga menuju kesempurnaan dan pencapaian puncak spiritual, tanpanya mustahil kesempurnaan tersebut dapat dicapai. Sebab, selama jiwa seseorang terkotori oleh perbuatan-perbuatan haram, sifat-sifat kemanusiaan pada jiwa yang bersangkutan dengan sendirinya akan menjadi hilang.

Pada gilirannya, mustahil ia dapat mencapai derajat-derajat kesempurnaan kemanusiaannya. Bahkan, menurut kaum arif, selama rasa cinta dunia dan kebergantungan padanya masih melekat di dalam hati, dia tidak mungkin dapat mencapai maqam orang-orang ikhlas dan mencintai Allah.

Jadi, ketakwaan bagi kalangan umum berarti pemeliharaan diri dari segala sesuatu yang bersifat haram dan ketakwaan bagi kalangan khusus berarti pemeliharaan diri dari berbagai keinginan dan ambisi pribadi.

Sebagaimana jasmani dapat mengalami keadaan sehat atau sakit, demikian pula ruhani atau jiwa manusia itu bisa sehat dan bisa sakit pula. Kesehatan ruhani seseorang terletak pada konsistennya mengikuti norma-norma kemanusiaan, dan sebaliknya ruhaninya akan dihinggapi oleh berbagai penyakit spiritual ketika ia menyimpang dari norma-norma itu.

Dalam berbagai riwayat, termasuk Al-Qur’an, telah dijelaskan bahwa penyakit spiritual seribu kali lebih berbahaya dan mematikan daripada penyakit jasmani. Hal ini karena separah apapun penyakit jasmani paling tidak akhirnya hanya akan menyebabkan kematian.

Begitu datang kematian, dan ruh telepas dari jasad, semua penyakit dan cacat serta kelelahan jasmani akan sirna dan manusia pun tidak lagi akan merasakan sakit dan penderitaan jasmaninya.

Namun, semoga Allah melindungi kita semua, jika manusia mengidap penyakit spiritual, saat kematian merupakan saat di mana penyakit pada jiwanya mulai terasa: itulah awal manusia mengalami sakit dan kemalangan.

Kebergantungan manusia pada dunia dengan mengarahkan seluruh perhatian hanya kepadanya dapat digambarkan seperti narkotika yang merampas seluruh ingatan dan kesadaran akan diri pencandunya.

Begitu ruh dengan jasad terlepas saat itu kenyataan yang sebenarnya akan diraskaan manusia, semua penyakit pada ruhaninya mulai muncul. Seperti api dalam sekam, penyakit yang dideritanya akan mulai menggerogotinya setelah selama ini tidak terasa.

Nah, peran para nabi bagi umat manusia adalah ibarat dokter yang memiliki perhatian penuh terhadap para pasiennya, yang dengan segala senang hati dan rasa penuh kasihan datang untuk menyembuhkan manusia-manusia sakit, dengan aneka metode penyembuhan sesuai dengan kondisi mereka.

Para Nabi adalah dokter-dokter didikan Ilahi. Mereka memiliki komptensi dan kredibilitas untuk memandu umat manusia menuju jalan kebenaran.

Berbagai  aktivitas positif ruhani maupun jasmani merupakan obat penyembuh penyakit-penyakit spiritual yang diderita manusia. Begitu pula takwa, pada masing-masing tingkatannya, merupakan pagar yang dapat melindungi jiwa dari berbagai bahaya spritual.

Maka tegak luruslah (menuju kepada-Nya) sabagaimana kamu diperintahkan,” (QS. Hud: 112)

 

 

YS/ IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *